“Ajarkan sastra pada anak-anakmu, agar anak pengecut jadi pemberani”
(Umar bin Khattab)
“Ajarkan anak-anakmu puisi” (Aisyah ra)
Ada yang menarik dari beberapa drama
korea bertema kerajaan yang pernah saya tonton, atau drama korea jepang dan cina yang bertema serupa. Apakah itu? Ada kesamaan yang ditampilkan dari drama
bertema kerajaan adalah anak-anak mereka, selalu belajar tentang karya sastra
masing-masing negeranya. Mereka, dari kecil sudah dibiasakan untuk menghafal
dan memahami dari tiap karya sastra yang mereka pelajari ditiap tingkatan kelas
yang mereka jalani.
Sebut saja misalnya drama korea “Jewel
in the Palace”. Sebelum Seo Jang Geum bergelut dengan buku-buku kesehatan, dia
terlebih dulu melahap buku sastra yang diberikan oleh Pengawal Min Jung Ho. Dari
kecilpun, Jang Geum sudah menghafal beberapa syair sastra sebelum ayahnya
terbunuh dalam sebuah pertempuran. Beda lagi kisah di “Sungkyunkwan Scandal”,
dimana seorang Kim Yoon Hee diajarkan tentang syair-syair sastra oleh ayahnya. Atau
drama yang terbaru adalah “The Moon That Embrace The Sun”, para sarjana di
drama ini adalah orang-orang yang menghafa bait-bait syair dan memahami
maknanya. Dulu, ada drama dari Hongkong yang berkisah tentang kerajaan,
tokoh-tokohnya dikatakan memiliki strata yang tinggi jika dia mampu menguasai
bait-bait puisi yang menjadi kewajiban untuk dihafalkan.
Jangan terburu menilai negatif
terhadap tulisan saya, karena contoh yang saya ambil di awal. Jika kita
meneliti kembali shirah, bukankah bangsa arab adalah bangsa yang kuat dalam hal
bersyair? Hingga ada pasar yang khusus diselenggarakan untuk menjadi tempat
beradu syair, yaitu pasar ukaz. Salah satu bintang di pasar ukaz tidak lain
adalah umar bin khattab, yang selalu memenangkan pertandingan saat beradu syair
dengan para penduduk Mekkah yang lain.
Atau kisah dari salah seorang imam
besar umat islam, yang pada usia 15 tahun beliau sudah memberikan fatwa pada
umat islam dan fatwanya diakui oleh ulama pada jamannya. Ya, beliau adalah
Muhammad bin Idris As Syafi’i atau lebih dikenal dengan Imam Syafi’i. Sejak masih
usia belia, beliau sudah mahir dalam menghafal bait-bait sastra, hingga ada
yang menegur, “kenapa tidak menghafal alqur’an saja?”
Saya kemudian bertanya, mengapa
orang-orang jaman dulu sangat kuat mengajarkan sastra pada anak-anaknya? Bukan seperti
orang tua sekarang yang selalu ingin anaknya mendapat nilai tinggi dalam matematika.
Apa yang menjadikan sastra begitu luar biasa?
Dari shirah kita mengenal bangsa arab
yang pandai bersyair. Umar bin Khattab yang merupakan juara di pasar Ukaz,
Aisyah dengan kepandaiannya dalam sastra seperti diungkap oleh seorang shahabat
:
Urwah Ibnu Zubair berkata: Saya tidak melihat seorang pun yang lebih pandai dalam masalah ilmu fiqih, kedokteran, dan sastra selain Aisyah RA.
Pun para shahabat yang lain, selalu
menyenandungkan syair ketika mereka mengungkapkan perasaan senang atau sedih. Seperti
saat Bilal rindu akan Madinah.
Dari beberapa hal yang saya temui, saya kemudian berkesimpulan bahwa ilmu yang penting didapatkan paling awal oleh seorang anak adalah sastra. Bukan matematika. Kenapa?
Dari beberapa hal yang saya temui, saya kemudian berkesimpulan bahwa ilmu yang penting didapatkan paling awal oleh seorang anak adalah sastra. Bukan matematika. Kenapa?
Sastra tidak mensyaratkan kemampuan
menulis. Jadi, anak usia dua tahun sudah bisa diajarkan tentang sastra dengan
membantunya menghafal. Sedangkan matematika, harus bisa dengan menulis, yang
pada usia dua tahun belum memungkin untuk dilakukan karena kemampuan motorik
yang masih belum sempurna.
Sastra, merupakan ilmu yang luar
biasa. Dia halus tapi memiliki kekuatan menghancurkan yang luar biasa. Lihat saja
sekarang. Bagaimana kekuatan media dengan tulisan-tulisannya? Bagaimana buku
bisa mengubah pemikiran orang? Ketika seorang anak sudah terbiasa dengan
bait-bait syair, dia akan memiliki banyak kosa kata, dan tinggal menunggu waktu
untuk dia menuangkan dalam sebuah tulisan. Saya pernah mendengar bahwa Roma, salah
satu kota yang dijanjikan Rasulullah saat perang Khandak, akan takluk di tangan
orang Islam, bukan dengan jihad qita, namun dengan jihad pena.
Dan bukankah mukjizat terbesar nabi
akhir jaman adalah karya sastra paling luar biasa yang pernah ada? Nah, inilah
mengapa penting untuk mengajari anak-anak sastra sebelum yang lainnya. Agar
mereka menjadi halus jiwanya, dan menjadi seorang pemberani seperti yang
disampaikan oleh umar bin khattab.
0 komentar:
Posting Komentar