Di timur matahari judul filmnya. Berkisah tentang anak-anak papua yang merindukan adanya pendidikan untuk mereka. Lima anak yang berasal dari suku yang berbeda, mereka adalah mazmur, agnes, Thomas, suryani, dan yongki, bersama teman-teman yang lain selalu menunggu kehadiran guru pengganti untuk mengajar mereka sementara hingga guru yang bertugas mengajar di sana kembali dari kota. Namun guru yang ditunggu tidak kunjung hadir. Selama menunggu kehadiran guru pengganti, banyak kisah yang terjadi, salah satunya perselisihan kecil yang akhirnya berujung pada perang antar suku dan meninggalnya orang-orang yang anak-anak itu kasihi. Namun perselisihan yang terjadi atas nama harga diri tidak menghalangi anak-anak untuk terus menjalani pertemanan, justru merakalah yang menjadi sebab perdamaian itu terwujud.
Film ini tidak begitu luar biasa dari jalan cerita. Namun ide yang diangkat akan membuat kita sadar bahwa ada bumi indah dan luar biasa yang masih hidup dalam kegelapan dalam arti sebenarnya. Kegelapan ilmu dan penerangan listrik. Papua, yang berada di timur indonesia adalah bagian wilayah indonesia yang akan mendapatkan sinar matahari terlebih dahulu, namun tidak untuk cahaya ilmu yang – banyak dari – anak-anak papua rindukan. Guru yang diharapkan membawa pelita itu tidak kunjung hadir. Jadilah mereka hanya bernyanyi, bermain, bahkan karena tidak ada yang dapat mereka kerjakan mereka meminta pekerjaan. Mereka lebih memilih berkeja dari pada sekolah. Di awal kisah ini, kita sudah disuguhkan dengan pemandangan pegunungan papua yang luar biasa indah. Apa lagi menontonnya dari layar datar selebar layar bioskop. Rasanya seperti berada di sana langsung. Agak berlebihan mungkin, maklum tidak pernah menonton film langsung di bioskop. Selama ini hanya menontok di TV atau di layar laptop. Inilah kelebihan film-film karya Alenia. Seperti halnya DENIAS, senandung di atas awan. Keindahan bumi papua tereksplor dengan baik. Sangat menakjubkan.
Banyak adegan berlari di film ini. saat mazmur memberitahukan bahwa guru pengganti tidak jadi mengajar, anak-anak berlarian sambil menyanyikan lagu hymne guru, saat mereka akan bermain menuju sungai mereka berlari, bahkan ada scene di mana mazmur dan Thomas harus melepaskan burung merpati jantan sejauh 10 km, kembalinya mereka berlari. saya tidak bisa bayangkan seberapa jauh itu, apalagi dengan kontur bumi papua yang pegunungan seperti itu. ya, jadi wajar jika orang papua banyak yang jago dalam bidang atletik.
Ada dialog yang menyentil di sini. Saat vina, istri Michael yang bukan orang papua berbelanja kaget dengan total harga belanjaan yang dibeli. Rp. 3.800.000,- total harganya. Vina kaget dan minta penjelasan.
“hah? 10 kg minyak goreng Rp. 300.000,-, dua karung beras Rp. 1.500.000. pantas pada minta merdeka.”
“ ya, kan barang di bawa pakai pesawat ke sini” begitu jawab pemilik warung.
Ya, begitulah kenyataan yang ada. Biaya hidup papua yang sangat mahal. Namun kondisi kehidupan yang jauh dari kata sejahtera. Karena minimnya sarana transportasi, harga bahan pokok di papua melonjak berkali-kali lipat.
Di film ini selain adegan lucu dari tingkah polos anak-anak, juga ada adegan menyedihkan dari mereka. Saat suryani memohon pada dokter Fatimah untuk merawat ayahnya yang terlukan akibat peperangan yang akhirnya mereka lakukan. Namun dokter Fatimah tidak mengobatinya dengan alasan tidak membawa obat, dia berlalu begitu saja. Dan saat Thomas juga memohon untuk menyembuhkan ayahnya – yang juga kena panah saat berperang. Namun, terlambat. Nyawanya ayahnya juga tidak dapat tertolong. Dari awal, ada adegan mengharukan. Saat Mazmur memberitahukan bahwa guru pengganti tidak datang, dan mereka menyanyikan lagu Hymne guru sambil berlari. Lirik lagu sangat pas dengan apa yang mereka butuhkan. Sebuah pelita. Namun, pelita itu tak kunjung datang.
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa
Pesan yang ingin disampaikan bagus. Namun ada hal yang sedikit mengganggu. Baiklah, ini memang settingnya di papua dengan mayoritas masyarakat Bergama nasrani. Maka jadilah banyak lagu-lagu kristiani, dan puji-pujian kristiani. Bahkan ketika perdamaian itu terjadi, mazmur dan kawan- kawan menyanyikan lagu kristiani dalam bahasa papua. Tokoh yang juga berpengaruh dalam film ini adalah sosok pendeta yang diperankan oleh lukman sardi. Nah, ketika ada adegan itu… sedikit tidak nyaman. Yang dapat diambil adalah, bahwa mereka membutuhkan agama untuk membuat mereka tidak berpikiran primitive lagi.
Lebih dari semua itu. senang ada film semacam ini. anak-anak itu memang harus mendapatkan konsumsi hiburan yang sesuai umur mereka. Tidak dipaksakan untuk menikmati apa yang hanya cocok untuk orang dewasa, sehingga mereka dewasa sebelum waktunya. Dan, awal yang saya temui adalah penonton film ini tidak banyak saat saya menonton. Tidak sampai separuh. Saya berpikir positif saja bahwa hari itu bukan saat libur. Sehingga tidak banyak orang yang ke bioskop. Setelah film ini, ada film anak-anak lagi yang didedikasikan untuk AT Mahmud. Semoga semakin banyak film sejenis. Yang mengesplor keindahan indonesia, bukan “keindahan” manusia indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar