Ini hari kedua ku di rumah sejak prosesi pelantikan
sebagai ners. Masih terasa kemeriahan prosesi pengukuhan itu, namun hatiku
masih merasakan ada kesepian yang menelisik halus dalam hatiku. Perasaan yang
seringkali muncul ketika diri ingin merenung, perasaan yang seringkali diikuti
dengan titik bening dalam sudut mataku yang akhirnya mengalir ibarat bendungan
yang sudah tidak kuat lagi menampung. Ya, perasan rindu itu masih ada, formasi
yang aku impikan tidak lagi dapat kutemui. Sudah lewat bahkan sejak tahun kedua
aku menginjakkan kan kaki di kota metropolitan ke dua di Indonesia.
Aku perhatikan setiap sisi kamar yang tidak luas namun
cukup menampung barang-barang yang seharusnya ada dalam sebuah kamar. Tempat
tidur, lemari baju, dan meja belajar masih dalam posisi yang sama. Hanya
bedanya dengan ketika dia masih menjadi “penguasa kamar ini adalah kasur yang
dulu langsung menyentuh ubin, kini tidak lagi. Jendela yang dulu menjadi jalan
sinar matahari ketika pagi, sekarang tidak lagi.
“sudah berubah, Dik. Jika kau masih ada, tentu dirimu
tidak akan terganggu oleh sinar matahari pagi itu” gumamku.
Aku perhatikan tempat tidur dengan sprei dengan warna
yang sama saat ketika ditinggal sang pemilik tempat tidur. Ungu. Bukan karena
kami begitu merasa kehilangan, tapi memang tidak mampu untuk membeli banyak
sprei. Aku perhatikan, dan aku seperti melihat tubuh tegap itu sedang tidur
dengan dada telanjang dan celana selutut. Ah, mengapa masih saja bayangmu
bermain dalam pelupukku? Sudah lewat hampir 4 tahun, namun tetap saja ketika
mengingatmu, air mata ini tetap saja jatuh.
Aku mencoba memeriksa kembali isi lemari meja belajar
yang dipakainya menyimpan buku-buku pelajaran sekolah. Aku hanya melihat tumpukan
LKS dan beberapa buku tulis tipis yang sudah lecek. Aku tidak akan pernah
menemukan buku paket tebal disini. Karena memang dia tidak pernah membelinya,
selain memang tidak diwajibkan punya, dia bukan tipe orang yang suka membaca
dan menyelesaikan banyak soal-soal sulit dari buku-buku itu. Ah, dia memang
tidak sama denganku, dengan masku, seharusnya aku tidak memperlakukan hal yang
sama kepadanya. Harusnya aku tidak egois untuk memaksakan bagaiman caraku
belajar pada nya.
Aku ambil salah satu LKS miliknya, aku buka lembar tiap
lembarnya, yang aku temukan tulisan cakar ayam yang menghias di tiap bagian
untuk menjawab. Dan… beberapa lembar kertas jatuh. Aku memungutnya. Disana
tertulis .
Surat untuk mbak ku
tercinta.
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Mbak, apa kabar? Aku terlalu kaku
ya? Salamku saja seperti itu. Kayak pelajaran bahasa indonesia di sekolah dulu.
Mbak, aku harap saat kau membacanya mbak sudah menjadi perawat, istilahnya apa
mbak? Aku lupa terlalu susah untuk otakku yang bebal ini mengingat.
Mbak, kalo sudah jadi perawat,
berapa banyak sudah pasien yang mbak sembuhkan? Oh ya, mbak bilang perawat
bukan untuk mengobati. Tapi merawat. Terserahlah. Aku tidak begitu memahami
itu.
Mbak, tahukah dirimu kalau aku
seringkali merasa kesepian sejak mbak pindah ke Surabaya? Tidak ada lagi mbak
yang merengek-rengek minta antar kesekolah, minta antar untuk pembinaan. Tidak
ada lagi mbak yang sering memplototi aku, tidak ada lagi mbak yang
membangunkanku ketika pagi hari. Semua
berbeda ketika mbak pergi.
Mbak, jauh sebelum ini aku sudah
merasakan kesepian itu. Aku merasakan sejak mbak sekolah ke kota, sejak mbak
sibuk dengan aktifitas di sekolah. Mbak, aku kesepian. Aku merindukan saat-saat
kita bermain bersama. Aku merasa kehilangan dirimu mbak.
Ada yang sesak
disini, didada kiriku. Aku mencoba merasakan kesepian yang menyerangnya. Oh,
adikku tahukah kau bahwa aku juga merasakan kesepian yang sama? Apa lagi sejak
kita semakin berjarak.
Aku menlanjutkan membaca suratnya.
Mbak, aku ingat
ketika mbak meminta ku untuk berhenti melakukannya. Aku melakukannya mbak. Tapi
maafkan aku tidak bisa selamanya melakukan itu. Aku sulit menghentikannya,
mbak. Berat. Jika ada mbak disini, mungkin itu akan membantuku. Tapi mbak hanya
datang satu bulan sekali, dan kadang tidak mengajakku bicara. Padahal aku
rindu. Aku ingin bercerita padamu. Aku sudah berhasil melakukannya, sesuai
permintaanmu, walau hanya sehari. Maaf kan aku untuk itu.
Aliran air
jernih ini semakin deras. Aku ingat saat itu. Saat kami masih lengkap, saat aku
baru meniti semester pertama di kota perantauan. Saat dimana aku baru
menjalankan aktivitas baruku sebagai panitia. Dan amanah pertamaku adalah
penanggung jawab acara hari bebas rokok sedunia. Dan karena itulah aku
mengiriminya pesan yang isinya:
“Dik, bisa minta tolong?”
“minta tolong apa mbak?”
“besok kan hari anti rokok sedunia, bisa tidak adik tidak
merokok besok, sehari saja. Kalo bisa seterusnya”
“ya, insyaallah.
“terimakasih”
Hanya itu yang mampu aku balas saat itu. Dan saat untukku
pulang, aku seperti baru mengenalnya. Sikapku amat canggung. Aku tidak langsung
menanyakan kepadanya, tapi aku menanyakan hal ini pada ibuku. Dan ternyata dia
memang melakukannya
*bersambung
0 komentar:
Posting Komentar