Jumat, 18 Mei 2012

Surat yang terlipat


            Ini hari kedua ku di rumah sejak prosesi pelantikan sebagai ners. Masih terasa kemeriahan prosesi pengukuhan itu, namun hatiku masih merasakan ada kesepian yang menelisik halus dalam hatiku. Perasaan yang seringkali muncul ketika diri ingin merenung, perasaan yang seringkali diikuti dengan titik bening dalam sudut mataku yang akhirnya mengalir ibarat bendungan yang sudah tidak kuat lagi menampung. Ya, perasan rindu itu masih ada, formasi yang aku impikan tidak lagi dapat kutemui. Sudah lewat bahkan sejak tahun kedua aku menginjakkan kan kaki di kota metropolitan ke dua di Indonesia.
            Aku perhatikan setiap sisi kamar yang tidak luas namun cukup menampung barang-barang yang seharusnya ada dalam sebuah kamar. Tempat tidur, lemari baju, dan meja belajar masih dalam posisi yang sama. Hanya bedanya dengan ketika dia masih menjadi “penguasa kamar ini adalah kasur yang dulu langsung menyentuh ubin, kini tidak lagi. Jendela yang dulu menjadi jalan sinar matahari ketika pagi, sekarang tidak lagi.
            “sudah berubah, Dik. Jika kau masih ada, tentu dirimu tidak akan terganggu oleh sinar matahari pagi itu” gumamku.
            Aku perhatikan tempat tidur dengan sprei dengan warna yang sama saat ketika ditinggal sang pemilik tempat tidur. Ungu. Bukan karena kami begitu merasa kehilangan, tapi memang tidak mampu untuk membeli banyak sprei. Aku perhatikan, dan aku seperti melihat tubuh tegap itu sedang tidur dengan dada telanjang dan celana selutut. Ah, mengapa masih saja bayangmu bermain dalam pelupukku? Sudah lewat hampir 4 tahun, namun tetap saja ketika mengingatmu, air mata ini tetap saja jatuh.
            Aku mencoba memeriksa kembali isi lemari meja belajar yang dipakainya menyimpan buku-buku pelajaran sekolah. Aku hanya melihat tumpukan LKS dan beberapa buku tulis tipis yang sudah lecek. Aku tidak akan pernah menemukan buku paket tebal disini. Karena memang dia tidak pernah membelinya, selain memang tidak diwajibkan punya, dia bukan tipe orang yang suka membaca dan menyelesaikan banyak soal-soal sulit dari buku-buku itu. Ah, dia memang tidak sama denganku, dengan masku, seharusnya aku tidak memperlakukan hal yang sama kepadanya. Harusnya aku tidak egois untuk memaksakan bagaiman caraku belajar pada nya.
            Aku ambil salah satu LKS miliknya, aku buka lembar tiap lembarnya, yang aku temukan tulisan cakar ayam yang menghias di tiap bagian untuk menjawab. Dan… beberapa lembar kertas jatuh. Aku memungutnya. Disana tertulis .
            Surat untuk mbak ku tercinta.
Assalamu’alaikum Wr. Wb
            Mbak, apa kabar? Aku terlalu kaku ya? Salamku saja seperti itu. Kayak pelajaran bahasa indonesia di sekolah dulu. Mbak, aku harap saat kau membacanya mbak sudah menjadi perawat, istilahnya apa mbak? Aku lupa terlalu susah untuk otakku yang bebal ini mengingat.
            Mbak, kalo sudah jadi perawat, berapa banyak sudah pasien yang mbak sembuhkan? Oh ya, mbak bilang perawat bukan untuk mengobati. Tapi merawat. Terserahlah. Aku tidak begitu memahami itu.
            Mbak, tahukah dirimu kalau aku seringkali merasa kesepian sejak mbak pindah ke Surabaya? Tidak ada lagi mbak yang merengek-rengek minta antar kesekolah, minta antar untuk pembinaan. Tidak ada lagi mbak yang sering memplototi aku, tidak ada lagi mbak yang membangunkanku ketika pagi hari.  Semua berbeda ketika mbak pergi.
            Mbak, jauh sebelum ini aku sudah merasakan kesepian itu. Aku merasakan sejak mbak sekolah ke kota, sejak mbak sibuk dengan aktifitas di sekolah. Mbak, aku kesepian. Aku merindukan saat-saat kita bermain bersama. Aku merasa kehilangan dirimu mbak.
            Ada yang sesak disini, didada kiriku. Aku mencoba merasakan kesepian yang menyerangnya. Oh, adikku tahukah kau bahwa aku juga merasakan kesepian yang sama? Apa lagi sejak kita semakin berjarak.
            Aku menlanjutkan membaca suratnya.
            Mbak, aku ingat ketika mbak meminta ku untuk berhenti melakukannya. Aku melakukannya mbak. Tapi maafkan aku tidak bisa selamanya melakukan itu. Aku sulit menghentikannya, mbak. Berat. Jika ada mbak disini, mungkin itu akan membantuku. Tapi mbak hanya datang satu bulan sekali, dan kadang tidak mengajakku bicara. Padahal aku rindu. Aku ingin bercerita padamu. Aku sudah berhasil melakukannya, sesuai permintaanmu, walau hanya sehari. Maaf kan aku untuk itu.
            Aliran air jernih ini semakin deras. Aku ingat saat itu. Saat kami masih lengkap, saat aku baru meniti semester pertama di kota perantauan. Saat dimana aku baru menjalankan aktivitas baruku sebagai panitia. Dan amanah pertamaku adalah penanggung jawab acara hari bebas rokok sedunia. Dan karena itulah aku mengiriminya pesan yang isinya:
            “Dik, bisa minta tolong?”
            “minta tolong apa mbak?”
            “besok kan hari anti rokok sedunia, bisa tidak adik tidak merokok besok, sehari saja. Kalo bisa seterusnya”           
            “ya, insyaallah.
            “terimakasih”
            Hanya itu yang mampu aku balas saat itu. Dan saat untukku pulang, aku seperti baru mengenalnya. Sikapku amat canggung. Aku tidak langsung menanyakan kepadanya, tapi aku menanyakan hal ini pada ibuku. Dan ternyata dia memang melakukannya 
*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar