Hari ahad kemarin, 12 mei 2012aku
kembali mendapatkan sebuah kesempatan untuk berinteraksi dengan polisi lalu lintas.
Tepatnya di bundaran ITS yang menuju kenjeran kesempatan itu aku dapatkan. Tanpa
ada perasaan bahwa aku akan dicegat, aku memilih jalan itu. aku pikir, dengan
helm yang aku pakai sudah standart, motor yang juga dalam kondisi lengkap
(walaupun pinjaman) aku merasa aman, eh tapi ternyata tetap saja diberhentikan.
Dan dimulailah kisah itu. motor
pinjaman yang STNK nya aku lupa untuk meminjam juga. Maka, ketika pak polisi memintanya,
aku hanya bilang
“ini motor pinjaman, Pak. Lupa tadi
tidak sekalian pinjam STNK.” Jawabku
“ SIM mu? Tanya pak polisi 1.
“ saya tidak punya SIM, pak.”
“kartu identitas, KTP, KTM?”
Dengan tangan yang gemetar aku
mengambil KTP yang ada di dalam dompet, untung masih di sana. Jika tidak, tidak
ada identitas apun yang aku bawa. KTM juga masih dalam proses pergantian NIM. Dengan
tangan bergetar aku serahkan KTP itu kepada pak polisi.
“kesini, mbak. Proses dulu. Kunci motornya
di bawa.”
Ehm, apa yang akan terjadi. Kena tilang
bayanganku sudah jelek. Mana kondisi keuangan sedang tidak baik. Aku pasrah
saja. Aku ikuti bapak polisi 1 yang menemuiku. Kemudian aku berurusan dengan
bapak polisi 2.
“mana STNK mu?”
“tidak bawa,pak. Motornya pinjaman,
lupa tadi.”
“motormu di sita ini.”
“lho? Bentar, pak. Ini saya masih
menelpon teman yang punya motor. Mana kuncinya, saya menunggu teman saya dulu.”
Kata saya. Jujur, saat itu saya ndredeg. Secara bukan motor milik sendiri,
seenaknya saja main sita.
“lho, kamu itu sudah tidak bawa
STNK, aturannya motormu di tahan.” Nada polisi 2 mulai meninggi.
“ya, pak. Ini masih diminta untuk antar. Nanti kalo sudah ada STNK nya bisa balik kan? Tanya ku
“ya, pak. Ini masih diminta untuk antar. Nanti kalo sudah ada STNK nya bisa balik kan? Tanya ku
“kena tilang, tapi. SIM mu mana?”
polisi 2 melanjutkan.
“saya belum punya SIM, pak” dengan
gaya bicara yang sedikit dipanjangkan di bagian Pak.
“sudah tidak bawa STNK, tidak punya
SIM. Seratus dua pulih lima ribu.” Polisi dua menyebutkan sejumlah angka.”
“berapa, pak? Tanya saya keheranan. “untuk
apa itu?’ polos saya bertanya.
“lha, kau itu melanggar. Ya harus di
proses.”
“lho, iya. Ini saya masih nunggu
teman.” Aku mulai gerah.
“sudah, jangan disini kalo mau
nunggu teman. Cari tempat lain” usir polisi 2
Akhirnya aku menyingkir ketempat
lain. Berusaha menghubungi yang punya motor. Gagal. Mengubungi teman yang lain,
Alhamdulillah bisa setelah beberapa kali. Tersambung, menjelaskan tentang apa
yang aku alami, yang di akhiri dengan minta tolong antarkan STNK milik teman
tadi. Sambil menunggu pertolongan datang, saya mencoba SMS teman yang sedikit
banyak tahu tentang prosedur ini. ternyata tidak sia-sia. Berdasarkan dialog,
jika kita mengakui apa kesalahan kita, dendanya tidak akan sebesar yang
disebutkan pak polisi 2 tadi.
“ehm,, baik-baik. Nanti aku coba. Tadi
aku langsung mengaku, kok. Dan jika memang seperti itu, aku tidak perlu terlalu
khawatir. “
Teman yang aku mintai tolong dengan
cepat membalas SMS dengan mengirimkan pasal yang mengatur pelanggaran lalu lintas
ini.
“dendanya
20rb karena g bwa STNK PASALNYA 57(2) Yo Psl. 14 (2) UULAJ Yo Psl 197 (1)
&(3) PP 44/93, sama 25rb krn g bwa SIM 59 (1) Yo Psl 18 (1) UULAJ..
ketentuan tilangnya UU 22/2009”
Begitu
SMS yang beberapa menit kemudian aku terima. Ehm, kalau segitu aku boleh lega. Tidak
terlalu besar, walaupun berat. Karena teman yang akan menolong tidak kunjung
datang, aku memutuskan untuk membuka dialog dengan pak polisi. Aku memilih
dengan pak polisi 1, selain dekat wajahnya lebih ramah dibanding yang lain.
“pak polisi” panggilku, ketika dia
sedang sibuk dengan “mangsa” yang baru.
“ya” pak polisi 1 akhirnya menoleh.
“pak, kalau buat SIM tidak bisa beda
kota ya?” aku memulai. “saya kan dari pamekasan, bisa tidak buat SIM di Surabaya?”
“tidak bisa, mbak” jawabnya.
“kenapa pak? Kalau tidak bisa, saya
tidak punya-punya SIM jika aturannya seperti itu”
“KTP sampean pamekasan, kan? Ya harus
di pamekasan.
“buka nya hanya di hari aktif saja?”
“sabtu buka, tapi hanya setengah hari”
“yah, susah pak bagi orang perantau
seperti saya. Saya kan masih sekolah, tidak berniat tinggal lama di Surabaya,
jadi tidak akan punya KTP Surabaya.”
“ya memang begitu, mbak”
“wah, saya bisa-bisa tidak punya SIM
ini pak”
“buat SIM kan tidak lama, mbak?”
Apa? tidak salah ini polisi1 ?
“hah? Apanya yang tidak lama, ada tes
tulis dan praktiknya. Tidak cukup sehari kan? Belum lagi antrinya”
“oh iya.” Sepertinya dia salah
omong.
“tuh kan,,, susah pak. Saya tidak
bisa pulang kecuali hari sabtu dan minggu. Diubah lah pak sistemnya.”
“heh, ya seharusnya begitu” sambil
tersenyum kecut.
“ya pak, biar mudah untuk semua.”
Pak polisi 1 sempurna membelakangiku
di akhir kalimat ku. Dan bersamaan dengan itu, temanku datang. Maka mulailah proses
itu.
“pak ini STNK nya. mana kuncinya.”
“sebentar lah. Di proses dulu.”
“ya, segera pak. Kan sudah sesuai
aturan.”
“apanya yang sesuai aturan? Melanggar
gini.
“sesuai aturan tilang maksudnya”
“delapan lima” tiba-tiba kalimat ini
yang keluar.
‘hah, apaan? Tidak sampai segitu
kalo kena denda.”
‘ya berapa?”
“dua puluh ribu tidak bawa STNK, dua
puluh lima ribu tidak punya SIM. “ cerocos ku.
“jadi semua?”
“empat puluh lima ribu”
“ya sudah, mana bayar.”
“tidak mau, saya bayar di bank saja”
“oh, kamu mau bayar di sana?’
“ya, mana surat tilangnya, dan
kuncinya.”
“selesaikan dulu urusanmu, baru
minta kunci. Sana ke bapak yang ini. “ sambil menunjuk pak polisi 3.
“pak, ini STNK saya, mana surat
tilangnya.” Kalimat ini bukan untuk menantang, tapi agar prosesnya segera
selesai.
“mana kunci motormu? Kunci motornya
dulu, baru tak proses.
“lho? Ya apa, sich? Tadi bilang
proses dulu, lha yang ini minta kunci. Ribet amat. “
“kalo sudah selesai tapi kuncimu
tidak ada?”
“Ada pak, itu di pak polisi yang
ini? aku menunjuk polisi 2.
“ambil dulu”
“aduh, bapak ini. suka sekali buat
ribet.” Aku berpindah untuk ambil kunci. Dan perdebatan itu tidak terhindarkan.
“pak, mana kunci saya.” Pintaku agak
ketus ke polisi 2.
*“apa sich, mbak ini. kok
terburu-buru. Selesai kan dulu prosesnya nanti kuncinya saya kasi.”
“tapi kata bapak yang satunya kunci
harus ada, mana buat saya tunjukkan ke dia. “ aku kemudian mengacungkan kunci
ke pak polisi 3. “ayolah pak, jangan dibuat repot. Saya terburu-buru ini.”
‘terburu-buru mau kemana memangnya?”
“Ada acara’
“acara apa?”
“organisasi”
“organisasi apa?
“bapak tidak perlu tahu organisasi
apa, mana kuncinya biar segera di proses.” Mulai tanda * sampai kalimat ini,
perbincangan berjalan secara ketus. Tidak ada ceritanya aku bermanis-manis
dengan mereka. Aku paling tidak betah.
Akhirnya kunci aku dapat dari pak
polisi 2 dan STNK di sodorkan oleh pak Polisi 3. Aku menerima keduanya. Karena masih
ada yang kurang, aku bertanya.
“mana suratnya?’
“katanya terburu-buru, ya sudah sana”
Dengan wajah penuh tanda tanya, aku
tinggalkan dua polisi yang sudah membuat tekanan darahku meningkat. Tidak perduli.
Aku hidupkan motor, dan mengucapkan terimakasih pada bapak polisi 1. Saat lewat
dekat pak polisi 2 dan 3, aku menyampaikan pesan,
“pak, system buat SIM nya di ubah
agar saya bisa segera punya SIM”
Ini kali kedua ku, dengan akhir yang
sama. Tidak jadi di tilang. Polisi membiarkan kami (saat pertama) begitu saja
setelah dialog yang membuatku memanas. Dan begitupun hari ini. yang awalnya
tremor, namun ditengah sudah mulai biasa, walaupun menyimpan ketidaksukaan yang
luar biasa. Pelajaran yang aku dapat, akui saja apa yang menjadi salah kita. Jika
nantinya di tilang, ya sudah. Karena kita salah. Tidak usahlah menuruti cara
mereka yang salah. Saat itu, disekitarku orang-orang yang juga melanggar
ramai-ramai memberikan uang pada pak polisi.
“karena kamu pelajar, 30 ribu sja”
ini salah satu kalimat yang aku dengar saat bersitegang dengan bapak polisi 3.
Ah, rugi sekali. Dan pelajaran
terpenting lain adalah… jangan lupakan sedekah. Apa yang memang bukan milik
kita, dengan cara apapun pasti akan meninggalkan kita. Kitalah penentu itu.
apakah menyakitkan,atau menyenangkan penuh pahala. Ehm, materi yang beberapa
jam sebelumya di singgung dalam lingkaran rutinan ku. Sepertinya kejadian ini
sebagai pengingatku yang lama tidak mengeluarkan sedekah. Terimakasih ya Allah,
Kau masih menyayangiku. Jujur dan apa adanya memang pilihan terbaik.
0 komentar:
Posting Komentar