Selasa, 15 Mei 2012

Jujur dan Apa Adanya Adalah Pilihan terbaik


            Hari ahad kemarin, 12 mei 2012aku kembali mendapatkan sebuah kesempatan untuk berinteraksi dengan polisi lalu lintas. Tepatnya di bundaran ITS yang menuju kenjeran kesempatan itu aku dapatkan. Tanpa ada perasaan bahwa aku akan dicegat, aku memilih jalan itu. aku pikir, dengan helm yang aku pakai sudah standart, motor yang juga dalam kondisi lengkap (walaupun pinjaman) aku merasa aman, eh tapi ternyata tetap saja diberhentikan.
            Dan dimulailah kisah itu. motor pinjaman yang STNK nya aku lupa untuk meminjam juga. Maka, ketika pak polisi memintanya, aku hanya bilang
            “ini motor pinjaman, Pak. Lupa tadi tidak sekalian pinjam STNK.” Jawabku
            “ SIM mu? Tanya pak polisi 1.
            “ saya tidak punya SIM, pak.”
            “kartu identitas, KTP, KTM?”
            Dengan tangan yang gemetar aku mengambil KTP yang ada di dalam dompet, untung masih di sana. Jika tidak, tidak ada identitas apun yang aku bawa. KTM juga masih dalam proses pergantian NIM. Dengan tangan bergetar aku serahkan KTP itu kepada pak polisi.
            “kesini, mbak. Proses dulu. Kunci motornya di bawa.”
            Ehm, apa yang akan terjadi. Kena tilang bayanganku sudah jelek. Mana kondisi keuangan sedang tidak baik. Aku pasrah saja. Aku ikuti bapak polisi 1 yang menemuiku. Kemudian aku berurusan dengan bapak polisi 2.
            “mana STNK mu?”
            “tidak bawa,pak. Motornya pinjaman, lupa tadi.”
            “motormu di sita ini.”
            “lho? Bentar, pak. Ini saya masih menelpon teman yang punya motor. Mana kuncinya, saya menunggu teman saya dulu.” Kata saya. Jujur, saat itu saya ndredeg. Secara bukan motor milik sendiri, seenaknya saja main sita.
            “lho, kamu itu sudah tidak bawa STNK, aturannya motormu di tahan.” Nada polisi 2 mulai meninggi.
            “ya, pak. Ini masih diminta untuk antar. Nanti kalo sudah ada STNK nya bisa balik kan? Tanya ku
            “kena tilang, tapi. SIM mu mana?” polisi 2 melanjutkan.
            “saya belum punya SIM, pak” dengan gaya bicara yang sedikit dipanjangkan di bagian Pak.
            “sudah tidak bawa STNK, tidak punya SIM. Seratus dua pulih lima ribu.” Polisi dua menyebutkan sejumlah angka.”
            “berapa, pak? Tanya saya keheranan. “untuk apa itu?’ polos saya bertanya.
            “lha, kau itu melanggar. Ya harus di proses.”
            “lho, iya. Ini saya masih nunggu teman.” Aku mulai gerah.
            “sudah, jangan disini kalo mau nunggu teman. Cari tempat lain” usir polisi 2
            Akhirnya aku menyingkir ketempat lain. Berusaha menghubungi yang punya motor. Gagal. Mengubungi teman yang lain, Alhamdulillah bisa setelah beberapa kali. Tersambung, menjelaskan tentang apa yang aku alami, yang di akhiri dengan minta tolong antarkan STNK milik teman tadi. Sambil menunggu pertolongan datang, saya mencoba SMS teman yang sedikit banyak tahu tentang prosedur ini. ternyata tidak sia-sia. Berdasarkan dialog, jika kita mengakui apa kesalahan kita, dendanya tidak akan sebesar yang disebutkan pak polisi 2 tadi.
            “ehm,, baik-baik. Nanti aku coba. Tadi aku langsung mengaku, kok. Dan jika memang seperti itu, aku tidak perlu terlalu khawatir. “
            Teman yang aku mintai tolong dengan cepat membalas SMS dengan mengirimkan pasal yang mengatur pelanggaran lalu lintas ini.
            “dendanya 20rb karena g bwa STNK PASALNYA 57(2) Yo Psl. 14 (2) UULAJ Yo Psl 197 (1) &(3) PP 44/93, sama 25rb krn g bwa SIM 59 (1) Yo Psl 18 (1) UULAJ.. ketentuan tilangnya UU 22/2009”
            Begitu SMS yang beberapa menit kemudian aku terima. Ehm, kalau segitu aku boleh lega. Tidak terlalu besar, walaupun berat. Karena teman yang akan menolong tidak kunjung datang, aku memutuskan untuk membuka dialog dengan pak polisi. Aku memilih dengan pak polisi 1, selain dekat wajahnya lebih ramah dibanding yang lain.
            “pak polisi” panggilku, ketika dia sedang sibuk dengan “mangsa” yang baru.
            “ya” pak polisi 1 akhirnya menoleh.
            “pak, kalau buat SIM tidak bisa beda kota ya?” aku memulai. “saya kan dari pamekasan, bisa tidak buat SIM di Surabaya?”
            “tidak bisa, mbak” jawabnya.
            “kenapa pak? Kalau tidak bisa, saya tidak punya-punya SIM jika aturannya seperti itu”
            “KTP sampean pamekasan, kan? Ya harus di pamekasan.
            “buka nya hanya di hari aktif saja?”
            “sabtu buka, tapi hanya setengah hari”
            “yah, susah pak bagi orang perantau seperti saya. Saya kan masih sekolah, tidak berniat tinggal lama di Surabaya, jadi tidak akan punya KTP Surabaya.”
            “ya memang begitu, mbak”
            “wah, saya bisa-bisa tidak punya SIM ini pak”
            “buat SIM kan tidak lama, mbak?”
            Apa? tidak salah ini polisi1 ?
            “hah? Apanya yang tidak lama, ada tes tulis dan praktiknya. Tidak cukup sehari kan? Belum lagi antrinya”
            “oh iya.” Sepertinya dia salah omong.
            “tuh kan,,, susah pak. Saya tidak bisa pulang kecuali hari sabtu dan minggu. Diubah lah pak sistemnya.”
            “heh, ya seharusnya begitu” sambil tersenyum kecut.
            “ya pak, biar mudah untuk semua.”
            Pak polisi 1 sempurna membelakangiku di akhir kalimat ku. Dan bersamaan dengan itu, temanku datang. Maka mulailah proses itu.
            “pak ini STNK nya. mana kuncinya.”
            “sebentar lah. Di proses dulu.”
            “ya, segera pak. Kan sudah sesuai aturan.”
            “apanya yang sesuai aturan? Melanggar gini.
            “sesuai aturan tilang maksudnya”
            “delapan lima” tiba-tiba kalimat ini yang keluar.
            ‘hah, apaan? Tidak sampai segitu kalo kena denda.”
            ‘ya berapa?”
            “dua puluh ribu tidak bawa STNK, dua puluh lima ribu tidak punya SIM. “ cerocos ku.
            “jadi semua?”
            “empat puluh lima ribu”
            “ya sudah, mana bayar.”
            “tidak mau, saya bayar di bank saja”
            “oh, kamu mau bayar di sana?’
            “ya, mana surat tilangnya, dan kuncinya.”
            “selesaikan dulu urusanmu, baru minta kunci. Sana ke bapak yang ini. “ sambil menunjuk pak polisi 3.
            “pak, ini STNK saya, mana surat tilangnya.” Kalimat ini bukan untuk menantang, tapi agar prosesnya segera selesai.
            “mana kunci motormu? Kunci motornya dulu, baru tak proses.
            “lho? Ya apa, sich? Tadi bilang proses dulu, lha yang ini minta kunci. Ribet amat. “
            “kalo sudah selesai tapi kuncimu tidak ada?”
            “Ada pak, itu di pak polisi yang ini? aku menunjuk polisi 2.
            “ambil dulu”
            “aduh, bapak ini. suka sekali buat ribet.” Aku berpindah untuk ambil kunci. Dan perdebatan itu tidak terhindarkan.
            “pak, mana kunci saya.” Pintaku agak ketus ke polisi 2.
            *“apa sich, mbak ini. kok terburu-buru. Selesai kan dulu prosesnya nanti kuncinya saya kasi.”
            “tapi kata bapak yang satunya kunci harus ada, mana buat saya tunjukkan ke dia. “ aku kemudian mengacungkan kunci ke pak polisi 3. “ayolah pak, jangan dibuat repot. Saya terburu-buru ini.”
            ‘terburu-buru mau kemana memangnya?”
            “Ada acara’
            “acara apa?”
            “organisasi”
            “organisasi apa?
            “bapak tidak perlu tahu organisasi apa, mana kuncinya biar segera di proses.” Mulai tanda * sampai kalimat ini, perbincangan berjalan secara ketus. Tidak ada ceritanya aku bermanis-manis dengan mereka. Aku paling tidak betah.      
            Akhirnya kunci aku dapat dari pak polisi 2 dan STNK di sodorkan oleh pak Polisi 3. Aku menerima keduanya. Karena masih ada yang kurang, aku bertanya.
            “mana suratnya?’
            “katanya terburu-buru, ya sudah sana”
            Dengan wajah penuh tanda tanya, aku tinggalkan dua polisi yang sudah membuat tekanan darahku meningkat. Tidak perduli. Aku hidupkan motor, dan mengucapkan terimakasih pada bapak polisi 1. Saat lewat dekat pak polisi 2 dan 3, aku menyampaikan pesan,
            “pak, system buat SIM nya di ubah agar saya bisa segera punya SIM”
            Ini kali kedua ku, dengan akhir yang sama. Tidak jadi di tilang. Polisi membiarkan kami (saat pertama) begitu saja setelah dialog yang membuatku memanas. Dan begitupun hari ini. yang awalnya tremor, namun ditengah sudah mulai biasa, walaupun menyimpan ketidaksukaan yang luar biasa. Pelajaran yang aku dapat, akui saja apa yang menjadi salah kita. Jika nantinya di tilang, ya sudah. Karena kita salah. Tidak usahlah menuruti cara mereka yang salah. Saat itu, disekitarku orang-orang yang juga melanggar ramai-ramai memberikan uang pada pak polisi.
            “karena kamu pelajar, 30 ribu sja” ini salah satu kalimat yang aku dengar saat bersitegang dengan bapak polisi 3.
            Ah, rugi sekali. Dan pelajaran terpenting lain adalah… jangan lupakan sedekah. Apa yang memang bukan milik kita, dengan cara apapun pasti akan meninggalkan kita. Kitalah penentu itu. apakah menyakitkan,atau menyenangkan penuh pahala. Ehm, materi yang beberapa jam sebelumya di singgung dalam lingkaran rutinan ku. Sepertinya kejadian ini sebagai pengingatku yang lama tidak mengeluarkan sedekah. Terimakasih ya Allah, Kau masih menyayangiku. Jujur dan apa adanya memang pilihan terbaik.

0 komentar:

Posting Komentar