Jumat, 11 Mei 2012

Ketika Aku Merawat Luka-Luka Mereka

Tulisan ini kelanjutan tulisan-tulisan sebelumnya. Tulisan tentang pengalamanku selama di rumah sakit kusta sumberglagah. Kali ini, aku ingin bercerita tentang pengalamanku merawat luka-luka penderita kusta. Luka yang tidak lagi terasa sakit, namun jika dibiarkan akan membahayakan diri mereka.
Penderita dengan kusta yang sudah mengalami kecacatan derajat satu bahkan derajat dua, sudah tidak mengalami rasa sakit. Terkena apapun, mereka tidak akan merasakan apa-apa. Hal ini disebabkan karena microbacterium leparae hidup di saraf tepi dan berkembang biak di sana. Akibatnya adalah saraf mengalami penebalan bahkan peradangan, sehingga merusak fungsi sensorik, motorik, dan otonom nya. Fungsi sensorik ini lah yang menjadi penyebab hilangnya rasa pada ekstremitas yang sarafnya sudah terkena. Sedangkan fungsi motorik akan membuat kelemahan pada ekstremitas. Jika fungsi otonom yang terkena, maka kulit akan mengalami pengelupasan, dan perlahan-lahan terjadi absorbsi jari-jari. Maka wajar ketika penderita kusta datang dengan luka di kaki, tangan atau bagian lain yang rawan terkena benda berbahaya di sekitarnya.
          Dan hari rabu kemarin aku berkesampatan untuk bertugas di unit rawat jalan. Di sana aku memiliki tugas untuk melayani penderita yang datang untuk medapatkan perawatan terhadap luka yang mereka derita. Cerita-cerita lucu aku dapatkan selama melakukan perawatan sehingga pekerjaan melayani penderita yang lebih dari lima orang tidak terasa. Penyebab luka mereka biasanya karena mereka ceroboh dalam melakukan perlindungan diri, karena hal ini lah yang ditekankan pada penderita kusta yang sudah sembuh namun menderita kecacatan tingkat dua. Mereka tidak akan datang karena reaksi, namun datang ke RSK karena luka yang dideritanya. Bisa karena tertusuk paku, terkena knalpot, atau kecelakaan di tempat kerja. Namun, ada kisah lucu dari seorang nenek yang aku rawat saat itu.
          “lukanya karena apa, mbah? Kok posisinya disitu?
          “kecucuk pitik, nak. Ping kaleh.” Kata si mbah. Sontak seisi ruangan tertawa. Aku pun ikut tertawa, jarang ada kasus seperti ini. Jika karena terkena paku biasanya kami akan mengingatkan untuk lebih hati-hati. tapi untuk yang ini?
          “wah, pitik e nakal ya, mbak...” canda temanku.
“emboh iki. Iki wis suwi mas. Susah sembuhnya.” Lapor si mbah.
          Luka pada penderita kusta memang tidak sama dengan luka pada orang normal. Luka pada penderita kusta susah sembuhnya. Bahkan saking lamanya, bisa bermutasi menjadi kanker. Jadi jangan heran ketika ditanya kapan mereka mendapatkan luka tersebut. Rata-rata akan menjawab, “sudah lama, lupa kapan tepatnya. Bahkan ada penderita yang rawat inap yang menderita luka di kakinya (ulkus pedis) yang sudah 15 tahun. Dan karena sudah menjadi kanker, maka direncanakan untuk menjalankan amputasi.   
          Aku menikmati proses merawat luka-luka itu. Sebesar apapun lukanya, ini yang membedakand engan ulkus pada penderita DM. Luka pada penderita kusta tidak berbau. Dan sensasi ketika menggunting jaringan kulit yang sudah menebal itu yang paling aku suka. Saat proses itulah seorang bapak yang sedang menunggu giliran untuk dirawat bertanya.
          “sampean tidak jijik ta, mbak?”
          “tidak, pak. Sudah terbiasa. Luka-luka seperti ini kan tidak bau, jadi biasa saja. Saya sudah pernah merawat luka orang dengan kencing manis. Lebih besar dan bau dari ini.”
          “soalnya kalo di puskesmas tidak mau merawat luka seperti ini.” Jelas si bapak.
          “ya, mbak ini termasuk kendel, cara megang guntingnya beda. Tidak ragu-ragu.”
          “hehe, saya tidak begitu khawatir dengan apa yang akan saya gunting, pak. Bapak kan tidak merasakan sakit, jadi saya lebih berani.” Jawab ku.
          Jika apa yang dikatakan bapak itu benar, sungguh kasihan orang-orang yang tinggal nya jauh dari rumah sakit ini. Dan ketika aku kroscek ke perawat rumah sakit, ternyata memang benar. Ada pasien lama yang dipulangkan setelah luka nya mengecil, dengan harapan di sana ada yang melanjutkan perawatan, eh ternyata dia kembali lagi karena lukanya kembali membesar karena tidak mendapatkan perawatan.
          Padahal beban ini harus dibagi. Tugas menangani penderita kusta tidak hanya di rumah sakit ini. Kasihan penderita kusta yang jauh dari sini. Mereka tidak mendatkan perawatan yang semestinya. Apa susahnya? Semua biaya terkait perawatan penderita ditanggung. Maka tak heran ketika ada yang bilang, “enak kalo di sini, bahan banyak dan alatnya lengkap”. Ya, aku akui. Penderita bebas meminta apa yang mereka perlukan. Minta kasa, plester, mereka akan diberi sesuai permintaannya.
          Aku bersyukur dengan kesempatan ini. Mendengar banyak dari mereka. Harapan, pinta, dan do’a yang mereka tujukan untuk kami sebagai bentuk terimakasihnya. Ini yang aku suka. Selama melayani, aku seringkali mendapatkan do’a dari pasien. Semoga sukses, sering aku dengar. Dan aku sangat berterimakasih untuk itu.

0 komentar:

Posting Komentar