Tulisan ini kelanjutan tulisan-tulisan sebelumnya. Tulisan
tentang pengalamanku selama di rumah sakit kusta sumberglagah. Kali ini, aku
ingin bercerita tentang pengalamanku merawat luka-luka penderita kusta. Luka
yang tidak lagi terasa sakit, namun jika dibiarkan akan membahayakan diri
mereka.
Penderita dengan kusta yang sudah mengalami kecacatan derajat
satu bahkan derajat dua, sudah tidak mengalami rasa sakit. Terkena apapun,
mereka tidak akan merasakan apa-apa. Hal ini disebabkan karena microbacterium
leparae hidup di saraf tepi dan berkembang biak di sana. Akibatnya adalah saraf
mengalami penebalan bahkan peradangan, sehingga merusak fungsi sensorik,
motorik, dan otonom nya. Fungsi sensorik ini lah yang menjadi penyebab
hilangnya rasa pada ekstremitas yang sarafnya sudah terkena. Sedangkan fungsi
motorik akan membuat kelemahan pada ekstremitas. Jika fungsi otonom yang
terkena, maka kulit akan mengalami pengelupasan, dan perlahan-lahan terjadi
absorbsi jari-jari. Maka wajar ketika penderita kusta datang dengan luka di
kaki, tangan atau bagian lain yang rawan terkena benda berbahaya di sekitarnya.
Dan hari rabu
kemarin aku berkesampatan untuk bertugas di unit rawat jalan. Di sana aku
memiliki tugas untuk melayani penderita yang datang untuk medapatkan
perawatan terhadap luka yang mereka derita. Cerita-cerita lucu aku dapatkan selama
melakukan perawatan sehingga pekerjaan melayani penderita yang lebih dari lima
orang tidak terasa. Penyebab luka mereka biasanya karena mereka ceroboh dalam
melakukan perlindungan diri, karena hal ini lah yang ditekankan pada penderita
kusta yang sudah sembuh namun menderita kecacatan tingkat dua. Mereka tidak
akan datang karena reaksi, namun datang ke RSK karena luka yang dideritanya.
Bisa karena tertusuk paku, terkena knalpot, atau kecelakaan di tempat kerja.
Namun, ada kisah lucu dari seorang nenek yang aku rawat saat itu.
“lukanya karena
apa, mbah? Kok posisinya disitu?
“kecucuk pitik,
nak. Ping kaleh.” Kata si mbah. Sontak seisi ruangan tertawa. Aku pun ikut
tertawa, jarang ada kasus seperti ini. Jika karena terkena paku biasanya kami
akan mengingatkan untuk lebih hati-hati.
tapi untuk yang ini?
“wah, pitik e
nakal ya, mbak...” canda temanku.
“emboh iki. Iki wis suwi mas. Susah
sembuhnya.” Lapor si mbah.
Luka pada
penderita kusta memang tidak sama dengan luka pada orang normal. Luka pada
penderita kusta susah sembuhnya. Bahkan saking lamanya, bisa bermutasi menjadi
kanker. Jadi jangan heran ketika ditanya kapan mereka mendapatkan luka
tersebut. Rata-rata akan menjawab, “sudah lama, lupa kapan tepatnya. Bahkan ada
penderita yang rawat inap yang menderita luka di kakinya (ulkus pedis) yang
sudah 15 tahun. Dan karena sudah menjadi kanker, maka direncanakan untuk
menjalankan amputasi.
Aku menikmati
proses merawat luka-luka itu. Sebesar apapun lukanya, ini yang membedakand
engan ulkus pada penderita DM. Luka pada penderita kusta tidak berbau. Dan
sensasi ketika menggunting jaringan kulit yang sudah menebal itu yang paling
aku suka. Saat
proses itulah seorang bapak yang sedang menunggu giliran untuk dirawat
bertanya.
“sampean
tidak jijik ta, mbak?”
“tidak,
pak. Sudah terbiasa. Luka-luka seperti ini kan tidak bau, jadi biasa saja. Saya
sudah pernah merawat luka orang dengan kencing manis. Lebih besar dan bau dari
ini.”
“soalnya
kalo di puskesmas tidak mau merawat luka seperti ini.” Jelas si bapak.
“ya,
mbak ini termasuk kendel, cara megang
guntingnya beda. Tidak ragu-ragu.”
“hehe,
saya tidak begitu khawatir dengan apa yang akan saya gunting, pak. Bapak kan
tidak merasakan sakit, jadi saya lebih berani.” Jawab ku.
Jika apa
yang dikatakan bapak itu benar, sungguh kasihan orang-orang yang tinggal nya
jauh dari rumah sakit ini. Dan ketika aku kroscek ke perawat rumah sakit,
ternyata memang benar. Ada pasien lama yang dipulangkan setelah luka nya
mengecil, dengan harapan di sana ada yang melanjutkan perawatan, eh ternyata
dia kembali lagi karena lukanya kembali membesar karena tidak mendapatkan
perawatan.
Padahal
beban ini harus dibagi. Tugas menangani penderita kusta tidak hanya di rumah
sakit ini. Kasihan penderita kusta yang jauh dari sini. Mereka tidak mendatkan
perawatan yang semestinya. Apa susahnya? Semua biaya terkait perawatan
penderita ditanggung. Maka tak heran ketika ada yang bilang, “enak kalo di
sini, bahan banyak dan alatnya lengkap”. Ya, aku akui. Penderita bebas meminta
apa yang mereka perlukan. Minta kasa, plester, mereka akan diberi sesuai
permintaannya.
Aku bersyukur
dengan kesempatan ini. Mendengar banyak dari mereka. Harapan, pinta, dan do’a
yang mereka tujukan untuk kami sebagai bentuk terimakasihnya. Ini yang aku
suka. Selama melayani, aku seringkali mendapatkan do’a dari pasien. Semoga sukses,
sering aku dengar. Dan aku sangat berterimakasih untuk itu.
0 komentar:
Posting Komentar