Kamis, 10 Mei 2012

Dialog antara aku dan dia


          Ternyata butuh satu hari dan penjelasan lebih detail untuk aku bisa menemui dan mengajaknya bicara. Melakukan pendekatan untuk kemudian mengajaknya mengobrol demi data yang aku butuhkan untuk mengisi form pengkajian. Seharusnya ini tidak terjadi. Ini bukan pengalaman pertamaku melakukan anamnesa, namun entah mengapa ada keraguan ketika pasien yang aku hadapai adalah pasien lama dengan kejadian berulang, khawatir tidak ada masalah keperawatan yang akan aku dapatkan. Beberapa alasan yang melatarbelakangi, karena sudah sering ditanyai, kedua karena pasien yang sudah masuk rumah sakit untuk kesekian kalinya, mereka sudah pintar tentang penyakitnya. Dan aku akan minder.
          Namun, hari kedua ini aku memberanikan diri untuk menemuinya. Dua kali tidak mendapatkan di tempat tidur, aku bertanya pada teman sekamar, eh ternyata dia ada di tempat tidur yang lain karena suatu urusan. Aku memulai dialog itu.
          “pak, saya Asih mahasiswa praktik yang mulai senin kemarin sampai jum’at praktik di sini. Dan setiap mahasiswa mendapat satu pasien kelolaan, nah pasien saya kelola bapak. Jadi, saya akan menanyakan tentang kondisi bapak, boleh ya?” gaya to the point ku masih aku berlakukan dalam hal ini.
          “ ya, mbak. Silahkan. “ jawabnya.
          Mulailah dialog itu, pertanyaan standard. Mulai asal dari mana, kapan sakit, masuk rumah sakit kapan, hingga  apa yang menyebabkan bapak mengalami reaksi ini sampai kali ketiga. Ya, dia masuk rumah sakit sudah kali ketiga. Pada reaksi ketiga. Nah, disinilah yang penting aku ketahui. Mengapa dia sampai mengalami reaksi untuk ketiga kalinya.
          “bapak sudah menikah?” pertanyaan standard lain aku ajukan.
          “sudah, tapi cerai.”
          “dan itu yang membuat bapak stress lalu mengalami reaksi hingga tiga kali?” 
          “ ya tidak, sudah tidak memikirkan itu lagi. Itu yang menjadi penyebab reaksi pertama, tapi tidak yang kedua dan ketiga.”
          “lalu?”
          Dan berceritalah dia dengan masalah yang tengah di alaminya. Aku tidak mampu bercerita di sini. Tapi, ada pelajaran dari pasien ini. bahwa, walaupun dia memiliki penyakit yang banyak orang jijik dengan dirinya, dia masih memiliki harga diri dan tidak ingin melakukan apa yang Allah telah larang. Ya, dia masih memiliki keimanan itu. aku tidak tahu harus bilang apa. aku hanya tanya apakah dia sudah bercerita dengan orang rumah sakit untuk masalah ini? karena jika tidak, reaksi akan terus berulang. Aku hanya bilang untuk tidak memikirkan itu, ya aku tahu hal itu tidak mudah, apalagi bagi orang yang memang tipe pemikir. Tapi demi kesehatannya, dia harus bisa melakukan itu.
          “susah, mbak. Saya kepikiran terus.”
          “bapak harus bisa.”
          Dia hanya tersenyum. Aku tidak ingin melanjutkannya lagi. Dia kemudia bertanya.
          “mbaknya tidak takut tertular?”
          Aku tersenyum, lalu menjawab “awalnya sebelum ke sini memang pikiran saya jelek. Pasti di sana menakutkan. Eh, ternyata waktu hari pertama, biasa saja. Apalagi setelah dapat penjelasan tentang bagaimana penularannya. Saya kan dalam kondisi sehat, jadi kemungkinan tertular kecil, lagian bapak kan sudah mendapatkan pengobatan, dan orang yang sudah berobat selama dua minggu sudah tidak dapat menulari lagi.”
          “maaf, pak. Saya bisa cek lengan bapak?” aku minta ijin untuk mengecek dan sekaligus menggunakan sarung tangan.
          “ya silahkan.
          “masih terasa, pak?”
          “tidak,”
          “sudah tidak berasa semua”
          Ya, aku hanya merasakan kulit yang menebal dan keras.
          “kita ini orang-orang “sakti”, mbak. Orang yang sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi.” Orang sebelah nyeletuk. Dan pasien depanku hanya tersenyum. Aku pun ikut tersenyum.
“makanya harus hati-hati biar tidak luka” aku mengingatkan.
          “nanti kalau sudah kembali, jangan lupa kasi penjelasan ke orang-orang, mbak ya.” Pasien di sebelah ku menyela.
          “ya pak, InsyaAllah”
          Sampai saat ini memang informasi itu tidak berimbang. Masih banyak berita yang miring tentang penderita kusta. Begitupun yang aku dapat sebelum ini. dan itulah tugasku untuk meluruskan informasi ini. apalagi pamekasan masih menjadi kota dengan kejadian kusta yang tinggi.
          Aku sudahi dialog kali ini. aku beruntung karena pasien ini kooperatif. Yang menjadi penyebab dia mengalami reaksipun aku ketahui. aku sangat bersyukur.


0 komentar:

Posting Komentar