This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 20 Agustus 2012

Imunisasi Antara Pro dan Kontra


          Imunisasi, sudah seringkali perdebatan seputar boleh atau tidak menggunakannya. Pro dan kontra istilahnya. Yang pro memiliki alasan begitu juga yang kontra. Dan tulisan ini ada karena ingin menyampaikan tentang bagaimana saya bersikap terhadap imunisasi. Sebagai seorang perempuan yang nantinya akan menjadi ibu (InsyaAllah) masalah seputar imunisasi harus diketahui sejak dini. Alhamdulillah, sebagai mahasiswa keperawatan saya mendapatkan info imunisasi apa saja yang harus di dapatkan anak. Namun yang jelas tidak sampai pada bagaimana bahan imunisasi itu dibuat dan karena sebagai calon tenaga medis, kami ditempatkan untuk menyetujui tentang pentingnya imunisasi bagi anak-anak kita nantinya. Dan alhamdulillahnya, saya menyepakati pentingnya imunisasi.
          Bagi kalangan umum, informasi seputar imunisasi banyak yang membingungkan. Apakah imunisasi boleh? Bagaimana terkait kehalalannya? Karena katanya dibuat dari plasenta bayi atau babi? Efek samping yang ditimbulkan, dan sebagainya. Jika informasi yang tidak berimbang, maka kebingunganlah yang akan muncul. Terkadang tidak menutup kemungkinan memojokkan suatu hal. Nah, disini saya ingin sedikit membahas tentang itu. maaf, jika saya tidak menyertakan data-data konkrit. Saya hanya sekedar menulis dari apa yang pernah saya dapat dibangku kuliah dan apa yang saya lihat di lapangan.
          Imunisasi boleh atau tidak? Pertanyaan ini menyangkut kepastian kehalalan dari bahan imunisasi itu sendiri. Hal ini disebabkan informasi yang mengatakan bahwa imunisasi itu dibuat dari plasenta bayi atau diambil dari salah satu organ babi. Saya tidak ingin membahas terlalu detail terkait ini, karena saya bukan farmasis yang mengetahui asal muasal pembuatan suatu obat. Vaksin imunisasi saya samakan seperti obat yang sering kali kita pakai untuk menyembuhkan penyakit yang kita derita. Yang saya tahu, banyak dari obat-obatan itu tidak ada label halalnya, lalu apa bedanya dengan vaksin imunisasi? Sebagai orang yang awam tentang pembuatan, tapi mengetahui apa yang dijadikan sebagai vaksin, saya jadi bertanya sebenarnya plasenta atau bahan dari babi itu untuk apa? sedikti berbagi. Vaksin dibuat dari bakteri yang sudah dilemahkan bahkan dimatikan. Penggunaan sarana yang menjadikan vaksin itu (katanya) tidak halal adalah media pertumbuhannnya. Dan tentang ini ada beberapa pendapat, yang salah satunya adalah tidaklah masalah karena media itu tidak turut serta. Itu yang saya sedikit ketahui. dalam hal ini, saya memporsisikan diri sebagai orang yang sepakat terhadap penggunaan vaksin imunisasi.
          Imunisasi dapat menyebabkan anak autis, cacat mental, dan lain-lain. Maka saya mau tanya, berapa bayi yang diberi imunisasi dan dari jumlah itu berapa banyak yang menjadi autis jika dibandingkan dengan anak yang tidak terjadi efek samping? Dan ini belum saya temukan. Jika ada yang tahu, ayo dibagi. Yang saya ketahui adalah sekian anak yang diimunisasi menjadi cacat mental, tapi tidak pernah disertai perbandingan. Ini yang akhirnya menimbulkan kebingungan. Saya, adalah anak yang mendapatkan imunisasi lengkap (BCG, DPT, Hepatitis A, polio, campak) begitu juga dengan dua saudara saya, dan Alhamdulillah saya tumbuh dengan sehat tanpa kurang satu apapun. Kecerdasan juga lumayan walaupun tidak dikatakan jenius. Begitu juga dengan orang-orang disekitar saya. Yang saya tahu dan pahami, efek samping dari vaksin tidak dapat seketika muncul, ada jangka waktu yang cukup lama untuk hal itu dapat diketahui. Dan disinilah manfaat itu lebih banyak dari pada mudhorat. Mengapa?
          Bayi memiliki system pertahanan tubuh yang lemah, sedangkan kuman penyakit disekitar begitu banyak tanpa kita sadari. Nah, dari sini baya mudah sakit. Adalah suatu yang baik memang, karena dengan begitu mereka akan menjadi kuat. Tapi, jika yang terjadi sebaliknya, maka seringnya seorang bayi sakit akan mengganngu pertumbuhan dan perkembangan dari bayi tersebut. Dan apa akibatnya? Perkembangan fisik, psikologis, dan sosial akan terganggu. Lebih bahaya mana? Dan disinilah fungsi vaksin itu. untuk memperkuat imun bayi dan anak selama dia tidak mampu membuatnya sendiri. Kita tahu, bahwa ancaman kesakitan ganda masih menghantui indonesia. Tetanus, pertusis, TBC, penyakit-penyakit tersebut masing sering terjadi. ketika saya bertemu dengan pasien anak yang menderita tetanus, sangat kasihan. Dalam kondisi tidak sadarkan diri, pernapasan dibantu ventilator, dan mengalami kejang setiap 10 menit. Riwayatnya, dia tidak pernah mendapat imunisasi tetanus. Tetanus dapat mengenai siapapun, tapi akan diperparah oleh mereka yang tidak pernah mendapatkan vaksin. Pertusis, batuk rejan selama 100 hari. Pada bayi yang sudah mendapat vaksin, hal ini lebih mudah diatasi. Tapi bagi yang tidak, sulit disembuhkan dan menular kebanyak orang. Lebih sering lagi ketika bertemu dengan bayi yang mengalamai spondilitsi TB. Kuman TB yang sudah menyerang sumsum tulang belakang. Sangat kasihan. Dan lagi-lagi hal itu karena tidak mendapatkan imunisasi.
          Guyonan yang sempat saya lontarkan pada seorang teman tadi pagi: silahkan tidak imunisasi jika dirimu sangat kaya. Sehingga bisa memenuhi kebutuhan nutrisi anak-anak melalui makanan yang bergizi.

Jangan Lupa untuk Meminta yang Terbaik



        Pernahkan kita menggugat takdir yang jatuh pada kita? Sehingga keluar pertanyaan, “mengapa hal ini menimpa saya?” atau kita menerima suatu kejadian sebagai sebuah takdir yang memang harus kita jalankan karena itu datangnya dari Allah, karena kita meyakini aka nada hikmah dari kejadian yang kita alami.
          Tahukah kawan, apa yang “menimpa” kita bisa jadi itu adalah suatu bentuk dikabulkannya do’a kita oleh Allah? Namun, sering kali kita melupakan hal tersebut, kita hanya melihat sebuah peristiwa dari lahirnya saja, cobalah sesekali menganalisa secara lebih jelas, mencari makna dari setiap kejadian yang rasanya tidak menyenangkan bagi kita, yang ternyata, hal itu adalah permintaan dari kita sendiri. Namun, kita melupakannya.
          Ide dari tulisan ini berasal dari beberapa kejadian yang secara berturut-turut saya alami. Sedikit kaget, dan selebihnya merasa biasa dan wajar, karena memang – setelah – saya analisa, itulah permintaan saya dalam setiap do’a yang saya panjatkan. Entah saat sholat, atau ketika bertemu dengan kejadian yang tidak menyenangkan, dan hal itu sangat saya ingini. Dan saya menyadari, saya tidak pernah meminta sebab atau bagaimana hal itu akan saya dapatkan, semua saya serahkan kepada Allah.
          Bermula ketika meninggalnya Ramah, karena stroke haemoraghic yang menyebabkan beliau tidak sadarkan diri hingga tiga hari sebelum akhirnya meninggal dunia. Sedih tentu saja, karena ditinggal orang tua adalah hal yang sangat saya takuti, apa lagi dengan kondisi yang seperti ini. namun, begitu banyak hikmah yang saya ambil dari kejadian ini, dan syukur yang tidak terhingga saya panjatkan padaNya. Dan yang dapat saya ambil adalah, bahwa Allah mengabulkan do’a saya dan ibuk selama ini. tentang do’a yang terkabul, mau tahu apa do’a saya selama ini? saya selalu berdo’a agar ramah berhenti merokok. dalam setiap kesempatan berbicara dengan beliau ketika sore atau malam hari, sering kita menyinggung kebiasaan ramah yang sudah melampaui batas wajar tentang merokok. bukannya kami tidak terbiasa, hampir 20 tahun hidup dengan ibuk, ramah merokok. namun memang, beberapa tahun sebelum beliau meninggal, aku dan ibuk sangat rewel, sering kali menyindir.
“coba lah dikurangi sedikit rokoknya, jangan setelah mati, bakar lagi, habis, bakar lagi. Berapa habis nya dalam sehari? Kalo sudah bisa dikurangi kan nanti bisa berhenti” begitu rayu ibuk suatu ketika.
“nanti kalau sudah saatnya, ya akan berhenti” begitu jawab ramah.
‘saatnya kapan?” kejar ibuk.
“lihat nanti ,lah. Sudah sana, nonton TV saja.” Jawab ramah, sambil mengusir ibuk untuk menyingkir agat tidak merecoki kesenangan ramah merokok.
“nanti saja kalau sudah saatnya”, ini kalimat yang selalu aku ingat. Saatnya kapan? Tidak jelas. Do’aku pun hanya “Ya Allah, aku berharap ramah bisa berhenti merokok, dan tidak ada lagi orang yang merokok di rumag”. Itu llah do’aku. Dan tahukah, do’a saya dikabulkan tiga hari sebelum beliau meninggal. Ya, karena memang tidak sadarkan diri. Lalu, apakah kita akan menggugat Allah?
Tidak ada yang salah sebenernya. Karena tidak pernah minta proses bagaimana do’a kita akan dikabulkan, yang jelas itu saja. Padahal, bisa saja apa yang kita minta di do’a-do’a kita, prosesnya tidak kita harapkan. Yang hal itu kadang melupakan kita pada apa yang pernah kita minta. Ramah meninggal, memang itu sudah Allah tetapkan. Yang juga bertepatan dengan dikabulkannya do’aku. Pun hanya tiga hari aku melihat ramah tanpa rokok, dan bagiku itu sudah cukup.
          Peristiwa ke dua, yaitu ketika Ikhwan – adik saya – menyusul Ramah, dua tahun kemudian, adik saya juga meninggal. Tidak jelas kenapa, hanya sakit kepala selama satu pekan penyebabnya. Adik saya sama seperti ramah, dia perokok aktif. Sejak saya tahu dia merokok, saya  selalu berdo’a, semoga dia segera sadar dan berhenti, dan do’a saya yang lain adalah semoga tidak aka nada lagi perokok dalam keluarga ini saya. Ibuk pernah mengatakan kalau ramah, sangat mirip kakek. Dan ternyata itu “terwariskan” pada ibu. Dan saya tidak menginginkan itu terjadi pada saya. Cukup ramah, dan adik. Tidak boleh ad alai perokok dalam keluarga ini. yang terjadi, Allah telah mengabulkan do’a saya. Sekarang tidak ada lagi perokok di rumah, tidak ada lagi abu rokok tiap pagi ketika membersihkan rumah, dan yang jelas udara rumah bersih dari asap rokok.
          Butuh beberapa waktu untuk saya menyadari hikmah itu, menyadari bahwa itu adalah salah satu bentuk terkabulnya do’a-do’a saya. Karena saya tidak pernah meminta dan terpikir bagaimana do’a itu terkabul. Maka sekarang, selain do’a-do’a yang spesifik saya minta, saya meminta yang terbaik. Jika memang apa yang didapatkan bukan apa yang diminta,selama itu baik tidak lah masalah.

Marilah menjadi Bintang Penunjuk yangTidak Menyesatkan



         “ … Magdalia memang cantik jelita, ia seperti Aphrodite bagi Septimus. Kurasa kakakmu sangat mencintainya, bahkan memujanya. Namun, Magdalia tak suka mengasah otak dan kemampuannya sehingga ia tak mampu menjadi lentera yang menerangi saat perahu Septimus kehilangan arah. Seperti apa nakhoda yang tidak memiliki bintang penunjuk?”
          Penggalan kalimat ini saya dapatkan dalam karya Sinta Yudisia yang berjudul Armanusa, kala hati terbelah. Sebuah novel lama yang saya dapatkan dalam tumpukan buku-buku terbitan Mizan di sekre akhwat UKMKI. tanpa berpikir panjang, saya memutuskan untuk membeli buku tersebut. Tema sejarah yang diangkat membuat saya tertarik untuk memilikinya. Setelah membaca Takhta awan yang luar biasa, saya pikir karya inipun tidak jauh berbeda. Namun dalam tulisan kali ini, saya tidak sedang ingin membahas tentang novel tersebut, melainkan kalimat yang saya jadikan awal tulisan ini.
          Sebagaimana judulnya, ketika mendapatkan pengandaian bahwa perempuan adalah bintang penunjuk bagi laki-laki, berbagai peristiwa seakan memaksa saya untuk menjadikannya dalam satu tema cerita sendiri. Kawan-kawan pasti tahu dengan kalimat “didiklah para perempuan, maka kau juga mendidik bangsa secara keseluruhan” (saya lebih suka menggunakan kata perempuan dari pada wanita). Ya, karena perempuan adalah sekolah pertama yang akan didapatkan oleh generasi penerus bangsa ini, anak-anak – yang dalam buku Pukat karya Tere Liye – merupakan harta berharga yang dimiliki sebuah bangsa. Bagaimana anak-anak itu di masa depan, tergantung pada bagaimana mereka mendapatkan pendidikan dari para ibu.
          Namun berita yang kita baca akhir-akhir ini, tentang kasus korupsi – yang memang penyakit kronis bangsa – yang tersangkanya tidak hanya para bapak melainkan juga para ibu. Saya miris mendapatkan kenyataan ini. bagaimana anak-anak yang tumbuh dalam pendidikan ibu yang dia sendiri melakukan pekerjaan nista tersebut? Ingat kisah Nabi Nuh yang anaknya tidak mau menerima seruan beliau? Penyebab dari ketidakpatuhan anak Nabi Nuh terhadap seruan ayahnya karena – berdasarkan analisis saya – dia sudah mendapatkan pendidikan untuk menentang ayahnya sebagaimana ibu nya yang tidak mempercayai apa yang dibawa suaminya..
          Kembali pada kasus korupsi yang sudah mengakar dalam bangsa ini. anak-anak yang tumbuh besar dalam keluarga yang ayahnya melakukan korupsi masih dapat terlindungi jika ibu, yang merupakan orang terdekat dengan anak-anak mampu mencegah uang haram itu tidak masuk dalam tubuh anak-anaknya. Ada satu hal yang saya yakini, seorang laki-laki tidak akan melakukan korupsi jika tidak ada sebab yang kuat untuk dia melakukannya. Sebab disini banyak. bisa langsung dari istrinya yang terus menerus menuntut penghidupan yang lebih dari apa yang suaminya mampu sediakan untuknya, atau bisa juga karena laki-laki tersebut melakukan penyimpangan. Tentang kisah pertama, saya ingat apa yang terjadi pada orang tua saya. Ketika itu Ramah dipromosikan untuk menjadi pengawas sekolah, namun tawaran yang “menggiurkan” tersebut ditolak begitu saja. Ada perasaan mangkel dalam diri saya ketika tahu Ramah menolak tawaran yang diinginkan banyak orang tersebut. Perasaan itu wajar saja. Walau saya masih SD, memiliki bapak yang mendapatkan posisi prestisius tentu saja membanggakan dari pada sekedar menjadi guru SD biasa. Fasilitas kenaikan gaji karena golongan kepegawaian yang otomatis naik, fasilitas kendaraan untuk memudahkan tugas pengawasan. Namun Ramah menolak itu semua. Tapi, jawaban yang singkat saya dapat dari ibu. “ Ramah mu tidak mau menerima posisi yang terlalu beresiko itu”. tentu saja tidak pusa dengan jawaban tersebut. Beresiko bagaimana? Tidak maukah ibu menerima uang belanja lebih besar dari yang biasanya? Tidak maukah ibu lebih sering diajak jalan-jalan dengan motor? Itu pikiran simple saya. Namun, akhirnya Ramah mau menjawab. “ menjadi pengawas sekolah adalah tugas yang sangat beresiko, Ramah akan sering mendapatkan uang yang tidak berhak dari sekolah yang melakukan penyimpangan tapi mereka mampu membayar. Lagian, motor yang nantinya akan Ramah terima bukan milik Ramah, jadi kita tidak bisa menggunakannya untuk urusan pribadi”. Oh, akhirnya aku paham. Dan ibu tidak menuntut. Disinilah peran seorang perempuan. Ketika dia tidak menuntut apa yang menjadi keputusan suaminya, seorang suami tidak akan melakukan penyimpangan untuk memenuhi keinginannya yang tidak terpenuhi dari jalan yang benar.
          Kisah lain yang membuat saya percaya bahwa perempuan adalah bintang penunjuka bagi laki-laki adalah kisah seorang pegawai pajak – entah ini nyata atau fiksi – yang secara tidak dia sadari terjebak dalam kasus korupsi atasannya. Uang bagian pegawai tersebut diberikan dengan mengatasnamakan uang jajan untuk anaknya. Setiap berkunjung kerumahnya, atasannya selalu menitipkan uang dalam amplop untuk diberikan keanaknya sebagai uang jajan. Tanpa menaruh curiga, pegawai tersebut menerimanya. Namun, uang itu tidak langsung diserahkan ke anaknya, tapi diberikan melalui sang istri. Bulan demi bulan berlalu, hingga kasus yang menjerat atasan itu terungkap kepermukaan. Ancaman itu juga menimpa dirinya. Ketika masalah itu diceritakan pada istrinya, istrinya dengan tenang menunjukkan tumpukan amplop yang selama ini tidak pernah dia buka. Dan keesokan harinya dengan bangga pegawai tersebut menumpahkan tumpukan amplop itu dihadapan atasannya.
          Perempuan, merupakan kelemahan sekaligus kekuatan kaum laki-laki. Kelemahan, sebagaimana dalam lagu chancuters – walaupun saya tidak suka dengan ungkapan ini – adalah racun dunia.  Perempuan dapat membawa laki-laki melakukan kesalahan-kesalahan karena pesona dan rajukannya yang merupakan senjata utama. Tangisan perempuan adalah kelemahan laki-laki. Maka, jika ada kasus korupsi yang menimpa seorang pajabat laki-laki dan istrinya ikut serta menjadi tersangka – seperti kasus gayus – hal itu membuktikan bahwa laki-laki tidak akan melakukan hal itu jika tidak karena perempuannya.
                    Tulisan ini mungkin melantur kemana-mana. Selain karena hanya bagian permukaan saja yang saya ulas, juga karena saya sendiri belum mengalami bagaimana menjadi bintang penunjuk tersebut. Tapi, yang ingin saya bagi adalah mari bersiap untuk menjadi bintang penunjuk untuk nakhoda yang akan mengawal perahu kehidupan yang akan kawan-kawan naiki. Ilmu yang kita dapat dibangku kuliah tidak akan pernah sia-sia. Baik yang formal maupun non formal. Persiapkan diri sebaik-baiknya hingga nakhoda itu menjemput dan meminta kita untuk menjadi bintang yang akan menunjukkan arah yang akan ditujunya. Bagi yang sudah menikah, selamat menjadi bintang penunjuk itu. bawalah perahu kalian menuju kearah yang benar. Pastikan untuk tidak menjadi bintang penunjuk yang akan menyesatkan.

Minggu, 19 Agustus 2012

Perjalanan yang memberikan Pelajaran


          Tahta mahameru berkisah tentang Faras yang merupakan penduduk asli Ranu Pane yang menjalin persahabatan “aneh” dengan pendaki yang berasal dari Jakarta bernama Raja Ikhsan. Faras di pusingkan oleh tiga pertanyaan yang diajukan Ikhsan dalam tiga kali kesempatan mereka bertemu di Ranu pane. Tiga pertanyaan yang membuat faras cemas dan akhirnya melakukan perjalanan untuk mencari Ikhsan setelah pertemuan yang ketiga, Ikhsan tidak pernah muncul lagi, dan hanya menyisakan email yang ikhsan kirimkan untuk Faras. Dan perjalanan Faras menemui ikhsan juga hanya berbekal informasi dari email tentang objek foto di mana ikhsan singgah dalam tiap petualangannya. Raja Ikhsan, orang yang membuat faras melakukan perjalanan adalah seorang pendaki gunung dari Jakarta yang memiliki permasalahan pelik dengan keluarganya. Dia melakukan pendakian untuk dapat menemukan ketenangan jiwa. Dan disanalah dia bertemu dengan Faras yang bersikap tidak seperti orang kebanyakan.
          Dalam perjalanan itu, Faras bertemu dengan Mareta yang ternyata adik seayah Ikhsan. Awal kebersamaan mereka di awali dari percakapan Mareta dengan temannya yang menyebut nama raja ikhsan yang akhirnya membuat faras penasaran. Dan akhirnya perjalanan itu mereka jalani bersama. Dari kebersamaan itulah cerita demi cerita tentang keluarga mareta dan ikhsan terkuak. Saling menyimpan tujuan pada awalnya, namun akhirnya faras bertanya apakah raja ikhsan yang disebutkan mareta adalah raja ikhsan yang dicari faras selama ini. bersama melakukan perjalanan tersebut, banyak fakta baru yang mereka temui. Fakta tentang fikri yang merupakan teman ikhsan dan faras yang ternyata telah meninggal, fakta tentang perubahan ikhsan yang akhirnya membuat faras memutuskan untuk berhenti dalam melakukan pencariannya.
          Dalam novel ini, terdapat tokoh yang hanya sekali muncul namun memiliki pengaruh pada perubahan tokoh utama. Seperti Fikri, yang tidak pernah ikhsan anggap sebagai sahabat namun kisah yang ikhsan temukan saat melakukan petualangan membuat ikhsan melakukan hal yang selama ini tidak pernah dia lakukan. Yusuf, yang hanya sekali muncul dalam bab, namun dapat merubah cara berpikir seorang ikhsan. Tokoh singkat tersebut juga turut ambil bagian selain tokoh Faras yang menjadi rujukan ikhsan selama ini.
          Penggunaan sudut pandang bercerita dari ketiga pihak, Faras, Ikhsan, dan Mareta membuat kisah dapat diterima secara utuh bagi pembaca. Alur maju mundur yang dipilih dapat diterima dengan baik dengan model penceritaan seperti itu. tidak terkesan tokoh utama sok tahu karena setiap tokoh yang berkepentingan menceritakan bagiannya. Setting tempat yang tereksplor dengan baik sangat informative. Mulai dari lereng gunung semeru dengan Ranu Pane,  Jogjakarta dengan borobudurnya, Tanjung bira dan bulu kumba yang merupakan tempat di mana Faras menemukan fakta baru tentang seorang Raja Ikhsan, Makasar dan Surabaya yang merupakan akhir petulangan mereka bertiga. Tidak lupa proses pendakian ke puncak mahameru dengan Ranu kumbolo yang indah, kalimati, dan trek pasir yang berbahaya terbahasakan dengan baik. Pembaca dapat membayangkan bagaimana indahnya tempat-tempat itu. tidak hanya tentang keindahan tempat, tapi keindahan budaya juga penulis ceritakan. Nah, inilah mengapa saya menyukai fiksi petualangan. Karena dengan hanya membaca satu buku,, kita dapat mendapatkan banyak informasi tentang suatu tempat dengan bahasa indah dan mudah diingat.
Setiap karya pasti memiliki kurang, begitu juga dengan novel ini. penggunaan gue yang digunakan untuk kata ganti orang pertama tunggal ketika sudut penceritaan dariri sisi Mareta, sedikit mengganggu kenyamanan. Dan ketidak tersedianya pembatas buku, juka mengurangi nilai dari buku ini. namun dari semua itu, membaca novel ini, serasa kitalah yang melakukan perjalanan secara langsung. Kata-kata indah dan puitis, walaupun di sadur dari beberapa karya orang lain, membuat indah karya ini. sya’ir kahlil Gibran yang sering Faras kutip, lirik lagu yang menggambarkan suasana perjalanan, dan puisi turut menghiasi karya ini. walaupun dalam beberapa kesempatan, terasa terlalu kebetulan, namun saya menyukai kisah ini. perjalanan selalu memiliki kisah yang menarik untuk diceritakan.
"Di gunung, kamu akan melihat setiap orang dalam wujud aslinya. karakter orang akan tampak jelas, degan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala kebaikan dan keegoisannya, kuat atau tidaknya dia, mandiri atau manjanya dia, rewel atau tegarnya. Semua akan tampak di gunung."
Bila Kita berpisah
ke mana kau aku tak tahu, sahabat
atau turuti kelok-kelok jalan
atau tinggalkan kota penuh merah flamboyan
hanya bila kau lupa

Ingat...
pernah aku dan kau
sama-sama daki gunung-gunung tinggi
hampir kaki kita patah-patah
napas kita putus-putus
tujuan esa, tujuan satu:
Pengabdian dan pengabdian kepada...
...Yang Maha Kuasa...

~Puisi Idhan Lubis ~
"Betapa tidak pedulinya dirimu ketika kamu menginginkan orang-orang terbang dengan sayapmu dan kamu bahkan tidak memberi mereka bulu"
~ Kahlil Gibran ~

Senin, 16 Juli 2012

Sehari di Rumatan Metadon


            Hari senin tanggal 16 Juli 2012 ini, aku bertugas di Instalasi Rawat Jalan Poliklinik Rumatan Metadon RSUD Dr. Soetomo atau sering disingkat Rumatan Metadon. Tugas jaga ini bagian dari praktik klinik profesi nersku yang sudah memasuki gerbong jiwa. Aku sudah dapat menduga orang seperti apa pasien yang akan aku temui dan layani nantinya. Bagi yang belum tahu apa itu Rumatan Metadon, sedikit aku akan bahas di sini.
            Program rumatan metadon (PRM) adalah suatu bentuk terapi bagi pencandu narkoba khususnya putaw atau opioid. Program ini sama seperti jenis program lain seperti terapi detoksifikasi, terapi kegamaan dan lain-lain yang tujuannya melepaskan ketergantungan seseorang terhadap narkoba. Metadon sendiri adalah obat sintetis opioid yang memiliki efek sama dengan opioid hanya saja efeknya tidak setinggi opioid. Pemakaian metadon lebih aman dan tentu saja legal karena ini adalah program dari pemerintah. Pengguna terapi ini mendapatkan fasilitas konsultasi dengan dokter ahli berapa dosis metadon yang dapat diterima oleh setiap pasien. Tiap pasien mendapatkan dosis metadon yang berbeda tergantung seberapa parah ketergantungan pasien terhadap narkotik tersebut. Terapi ini bergantung minimal 6 bulan hingga 2 tahun bahkan lebih. Dosis yang didapat selama terapi dapat naik dan dapat pula diturunkan tergantung kondisi pasien.
            Kelebihan dari penggunaan metadon ini adalah pasien tetap mendapatkan efek sebagaimana yang didapatkan ketika mengkonsumsi opioid, namun lama kelamaan ketergantungan itu akan diturunkan sesuai dengan respon yang diberikan tubuh hingga akhirnya pasien berhenti. Metadon jauh lebih murah dari pada opioid, dan dalam program ini metadon diberikan secara gratis. Peserta PRM dikenai biaya retribusi sebesar 10.000 tiap kali datang terapi. Kelemahan dari terapi ini adalah pasien harus datang tiap hari ke klinik dan jika akan melakukan perjalanan jauh, harus berkonsultasi dulu dan melakukan perencanaan secara tepat agar tidak terjadi putus obat dan menyebabkan dosis kembali ke awal atau terjadi reaksi akibat dari putus obat.
            Sedikit penjelasan tentang PRM. Dan sekarang aku ingin bercerita tentang apa saja yang aku lakukan selama di sana. Ya, aku memberikan pelayanan sebaik-baiknya pada pasien. Mencatat di daftar pengunjung, mendokumentasikan terapi keberapa yang sudah didapatkan, dan memberikan metadon sesuai dosis yang sudah didapatkan. Dan pada hal ini tidak boleh salah karena efek samping yang akan didapatkan pasien akan membahayakan pasien. Bagaimana wujud dari metadon? Cairan metadon warnanya bening, dan warna merah yang kebanyakan kita lihat itu karena sudah dicampur dengan sirop cocopandan. Hal ini – mungkin -  bertujuan agar rasa pahit dari metadon tidak begitu terasa. Pahit? Ya, metadon rasanya pahit. Bagaimana aku tahu? Pasti tanya pasien. Oh, tidak. Aku tahu bagaimana rasanya karena aku mencicipinya sendiri. Mencicipi? Ya, mencicipi setetes di ujung lidah yang segera aku hapus setelah tahu bagaimana rasanya. Rasanya benar-benar pahit.
            Bagaimana dengan karakter pasien-pasiennya? Rata-rata mereka adalah laki-laki yang bertato. Agak seram melihatnya. Dan ketika aku buka-buka status mereka, rata-rata mereka mulai memakai diusia belasan tahun. Bahkan ada yang sudah memulai memakai di usia 11 tahun. Awal dari semuanya adalah merokok. setahun dua tahun kemudian baru mereka menggunakan zat-zat aditif yang lain. Mereka tidak hanya menggunakan satu jenis zat aditif, tapi beberapa. Ada yang ganja, ditambah opioid, tambah benzodeazepin. Padahal, rata-rata mereka bukanlah dari keluarga kaya. Kebanyakan malah dari keluarga menengah ke bawah. Dan bagaimana mereka memenuhi ketergantungan saat masih menggunakan obat-obatan itu? dari acara Speak Up SBO TV yang aku tonton saat berjaga – para pasien yang memutarnya – mereka memenuhi kebutuhan itu dengan melakukan tindakan kriminalitas di jalanan. Baik mencopet, mencuri, bahkan menjambret. Ah, betapa menakutkan. Namun, kini mereka semua sudah bertobat. Terbukti dengan kesadaran diri untuk mengikuti program metadon ini. semoga apa yang mereka usahakan berhasil dan akhirnya mereka benar-benar terbebas dari ketergantungan atas obat-obatan itu.

Jumat, 18 Mei 2012

Surat yang terlipat


            Ini hari kedua ku di rumah sejak prosesi pelantikan sebagai ners. Masih terasa kemeriahan prosesi pengukuhan itu, namun hatiku masih merasakan ada kesepian yang menelisik halus dalam hatiku. Perasaan yang seringkali muncul ketika diri ingin merenung, perasaan yang seringkali diikuti dengan titik bening dalam sudut mataku yang akhirnya mengalir ibarat bendungan yang sudah tidak kuat lagi menampung. Ya, perasan rindu itu masih ada, formasi yang aku impikan tidak lagi dapat kutemui. Sudah lewat bahkan sejak tahun kedua aku menginjakkan kan kaki di kota metropolitan ke dua di Indonesia.
            Aku perhatikan setiap sisi kamar yang tidak luas namun cukup menampung barang-barang yang seharusnya ada dalam sebuah kamar. Tempat tidur, lemari baju, dan meja belajar masih dalam posisi yang sama. Hanya bedanya dengan ketika dia masih menjadi “penguasa kamar ini adalah kasur yang dulu langsung menyentuh ubin, kini tidak lagi. Jendela yang dulu menjadi jalan sinar matahari ketika pagi, sekarang tidak lagi.
            “sudah berubah, Dik. Jika kau masih ada, tentu dirimu tidak akan terganggu oleh sinar matahari pagi itu” gumamku.
            Aku perhatikan tempat tidur dengan sprei dengan warna yang sama saat ketika ditinggal sang pemilik tempat tidur. Ungu. Bukan karena kami begitu merasa kehilangan, tapi memang tidak mampu untuk membeli banyak sprei. Aku perhatikan, dan aku seperti melihat tubuh tegap itu sedang tidur dengan dada telanjang dan celana selutut. Ah, mengapa masih saja bayangmu bermain dalam pelupukku? Sudah lewat hampir 4 tahun, namun tetap saja ketika mengingatmu, air mata ini tetap saja jatuh.
            Aku mencoba memeriksa kembali isi lemari meja belajar yang dipakainya menyimpan buku-buku pelajaran sekolah. Aku hanya melihat tumpukan LKS dan beberapa buku tulis tipis yang sudah lecek. Aku tidak akan pernah menemukan buku paket tebal disini. Karena memang dia tidak pernah membelinya, selain memang tidak diwajibkan punya, dia bukan tipe orang yang suka membaca dan menyelesaikan banyak soal-soal sulit dari buku-buku itu. Ah, dia memang tidak sama denganku, dengan masku, seharusnya aku tidak memperlakukan hal yang sama kepadanya. Harusnya aku tidak egois untuk memaksakan bagaiman caraku belajar pada nya.
            Aku ambil salah satu LKS miliknya, aku buka lembar tiap lembarnya, yang aku temukan tulisan cakar ayam yang menghias di tiap bagian untuk menjawab. Dan… beberapa lembar kertas jatuh. Aku memungutnya. Disana tertulis .
            Surat untuk mbak ku tercinta.
Assalamu’alaikum Wr. Wb
            Mbak, apa kabar? Aku terlalu kaku ya? Salamku saja seperti itu. Kayak pelajaran bahasa indonesia di sekolah dulu. Mbak, aku harap saat kau membacanya mbak sudah menjadi perawat, istilahnya apa mbak? Aku lupa terlalu susah untuk otakku yang bebal ini mengingat.
            Mbak, kalo sudah jadi perawat, berapa banyak sudah pasien yang mbak sembuhkan? Oh ya, mbak bilang perawat bukan untuk mengobati. Tapi merawat. Terserahlah. Aku tidak begitu memahami itu.
            Mbak, tahukah dirimu kalau aku seringkali merasa kesepian sejak mbak pindah ke Surabaya? Tidak ada lagi mbak yang merengek-rengek minta antar kesekolah, minta antar untuk pembinaan. Tidak ada lagi mbak yang sering memplototi aku, tidak ada lagi mbak yang membangunkanku ketika pagi hari.  Semua berbeda ketika mbak pergi.
            Mbak, jauh sebelum ini aku sudah merasakan kesepian itu. Aku merasakan sejak mbak sekolah ke kota, sejak mbak sibuk dengan aktifitas di sekolah. Mbak, aku kesepian. Aku merindukan saat-saat kita bermain bersama. Aku merasa kehilangan dirimu mbak.
            Ada yang sesak disini, didada kiriku. Aku mencoba merasakan kesepian yang menyerangnya. Oh, adikku tahukah kau bahwa aku juga merasakan kesepian yang sama? Apa lagi sejak kita semakin berjarak.
            Aku menlanjutkan membaca suratnya.
            Mbak, aku ingat ketika mbak meminta ku untuk berhenti melakukannya. Aku melakukannya mbak. Tapi maafkan aku tidak bisa selamanya melakukan itu. Aku sulit menghentikannya, mbak. Berat. Jika ada mbak disini, mungkin itu akan membantuku. Tapi mbak hanya datang satu bulan sekali, dan kadang tidak mengajakku bicara. Padahal aku rindu. Aku ingin bercerita padamu. Aku sudah berhasil melakukannya, sesuai permintaanmu, walau hanya sehari. Maaf kan aku untuk itu.
            Aliran air jernih ini semakin deras. Aku ingat saat itu. Saat kami masih lengkap, saat aku baru meniti semester pertama di kota perantauan. Saat dimana aku baru menjalankan aktivitas baruku sebagai panitia. Dan amanah pertamaku adalah penanggung jawab acara hari bebas rokok sedunia. Dan karena itulah aku mengiriminya pesan yang isinya:
            “Dik, bisa minta tolong?”
            “minta tolong apa mbak?”
            “besok kan hari anti rokok sedunia, bisa tidak adik tidak merokok besok, sehari saja. Kalo bisa seterusnya”           
            “ya, insyaallah.
            “terimakasih”
            Hanya itu yang mampu aku balas saat itu. Dan saat untukku pulang, aku seperti baru mengenalnya. Sikapku amat canggung. Aku tidak langsung menanyakan kepadanya, tapi aku menanyakan hal ini pada ibuku. Dan ternyata dia memang melakukannya 
*bersambung

Selasa, 15 Mei 2012

Jujur dan Apa Adanya Adalah Pilihan terbaik


            Hari ahad kemarin, 12 mei 2012aku kembali mendapatkan sebuah kesempatan untuk berinteraksi dengan polisi lalu lintas. Tepatnya di bundaran ITS yang menuju kenjeran kesempatan itu aku dapatkan. Tanpa ada perasaan bahwa aku akan dicegat, aku memilih jalan itu. aku pikir, dengan helm yang aku pakai sudah standart, motor yang juga dalam kondisi lengkap (walaupun pinjaman) aku merasa aman, eh tapi ternyata tetap saja diberhentikan.
            Dan dimulailah kisah itu. motor pinjaman yang STNK nya aku lupa untuk meminjam juga. Maka, ketika pak polisi memintanya, aku hanya bilang
            “ini motor pinjaman, Pak. Lupa tadi tidak sekalian pinjam STNK.” Jawabku
            “ SIM mu? Tanya pak polisi 1.
            “ saya tidak punya SIM, pak.”
            “kartu identitas, KTP, KTM?”
            Dengan tangan yang gemetar aku mengambil KTP yang ada di dalam dompet, untung masih di sana. Jika tidak, tidak ada identitas apun yang aku bawa. KTM juga masih dalam proses pergantian NIM. Dengan tangan bergetar aku serahkan KTP itu kepada pak polisi.
            “kesini, mbak. Proses dulu. Kunci motornya di bawa.”
            Ehm, apa yang akan terjadi. Kena tilang bayanganku sudah jelek. Mana kondisi keuangan sedang tidak baik. Aku pasrah saja. Aku ikuti bapak polisi 1 yang menemuiku. Kemudian aku berurusan dengan bapak polisi 2.
            “mana STNK mu?”
            “tidak bawa,pak. Motornya pinjaman, lupa tadi.”
            “motormu di sita ini.”
            “lho? Bentar, pak. Ini saya masih menelpon teman yang punya motor. Mana kuncinya, saya menunggu teman saya dulu.” Kata saya. Jujur, saat itu saya ndredeg. Secara bukan motor milik sendiri, seenaknya saja main sita.
            “lho, kamu itu sudah tidak bawa STNK, aturannya motormu di tahan.” Nada polisi 2 mulai meninggi.
            “ya, pak. Ini masih diminta untuk antar. Nanti kalo sudah ada STNK nya bisa balik kan? Tanya ku
            “kena tilang, tapi. SIM mu mana?” polisi 2 melanjutkan.
            “saya belum punya SIM, pak” dengan gaya bicara yang sedikit dipanjangkan di bagian Pak.
            “sudah tidak bawa STNK, tidak punya SIM. Seratus dua pulih lima ribu.” Polisi dua menyebutkan sejumlah angka.”
            “berapa, pak? Tanya saya keheranan. “untuk apa itu?’ polos saya bertanya.
            “lha, kau itu melanggar. Ya harus di proses.”
            “lho, iya. Ini saya masih nunggu teman.” Aku mulai gerah.
            “sudah, jangan disini kalo mau nunggu teman. Cari tempat lain” usir polisi 2
            Akhirnya aku menyingkir ketempat lain. Berusaha menghubungi yang punya motor. Gagal. Mengubungi teman yang lain, Alhamdulillah bisa setelah beberapa kali. Tersambung, menjelaskan tentang apa yang aku alami, yang di akhiri dengan minta tolong antarkan STNK milik teman tadi. Sambil menunggu pertolongan datang, saya mencoba SMS teman yang sedikit banyak tahu tentang prosedur ini. ternyata tidak sia-sia. Berdasarkan dialog, jika kita mengakui apa kesalahan kita, dendanya tidak akan sebesar yang disebutkan pak polisi 2 tadi.
            “ehm,, baik-baik. Nanti aku coba. Tadi aku langsung mengaku, kok. Dan jika memang seperti itu, aku tidak perlu terlalu khawatir. “
            Teman yang aku mintai tolong dengan cepat membalas SMS dengan mengirimkan pasal yang mengatur pelanggaran lalu lintas ini.
            “dendanya 20rb karena g bwa STNK PASALNYA 57(2) Yo Psl. 14 (2) UULAJ Yo Psl 197 (1) &(3) PP 44/93, sama 25rb krn g bwa SIM 59 (1) Yo Psl 18 (1) UULAJ.. ketentuan tilangnya UU 22/2009”
            Begitu SMS yang beberapa menit kemudian aku terima. Ehm, kalau segitu aku boleh lega. Tidak terlalu besar, walaupun berat. Karena teman yang akan menolong tidak kunjung datang, aku memutuskan untuk membuka dialog dengan pak polisi. Aku memilih dengan pak polisi 1, selain dekat wajahnya lebih ramah dibanding yang lain.
            “pak polisi” panggilku, ketika dia sedang sibuk dengan “mangsa” yang baru.
            “ya” pak polisi 1 akhirnya menoleh.
            “pak, kalau buat SIM tidak bisa beda kota ya?” aku memulai. “saya kan dari pamekasan, bisa tidak buat SIM di Surabaya?”
            “tidak bisa, mbak” jawabnya.
            “kenapa pak? Kalau tidak bisa, saya tidak punya-punya SIM jika aturannya seperti itu”
            “KTP sampean pamekasan, kan? Ya harus di pamekasan.
            “buka nya hanya di hari aktif saja?”
            “sabtu buka, tapi hanya setengah hari”
            “yah, susah pak bagi orang perantau seperti saya. Saya kan masih sekolah, tidak berniat tinggal lama di Surabaya, jadi tidak akan punya KTP Surabaya.”
            “ya memang begitu, mbak”
            “wah, saya bisa-bisa tidak punya SIM ini pak”
            “buat SIM kan tidak lama, mbak?”
            Apa? tidak salah ini polisi1 ?
            “hah? Apanya yang tidak lama, ada tes tulis dan praktiknya. Tidak cukup sehari kan? Belum lagi antrinya”
            “oh iya.” Sepertinya dia salah omong.
            “tuh kan,,, susah pak. Saya tidak bisa pulang kecuali hari sabtu dan minggu. Diubah lah pak sistemnya.”
            “heh, ya seharusnya begitu” sambil tersenyum kecut.
            “ya pak, biar mudah untuk semua.”
            Pak polisi 1 sempurna membelakangiku di akhir kalimat ku. Dan bersamaan dengan itu, temanku datang. Maka mulailah proses itu.
            “pak ini STNK nya. mana kuncinya.”
            “sebentar lah. Di proses dulu.”
            “ya, segera pak. Kan sudah sesuai aturan.”
            “apanya yang sesuai aturan? Melanggar gini.
            “sesuai aturan tilang maksudnya”
            “delapan lima” tiba-tiba kalimat ini yang keluar.
            ‘hah, apaan? Tidak sampai segitu kalo kena denda.”
            ‘ya berapa?”
            “dua puluh ribu tidak bawa STNK, dua puluh lima ribu tidak punya SIM. “ cerocos ku.
            “jadi semua?”
            “empat puluh lima ribu”
            “ya sudah, mana bayar.”
            “tidak mau, saya bayar di bank saja”
            “oh, kamu mau bayar di sana?’
            “ya, mana surat tilangnya, dan kuncinya.”
            “selesaikan dulu urusanmu, baru minta kunci. Sana ke bapak yang ini. “ sambil menunjuk pak polisi 3.
            “pak, ini STNK saya, mana surat tilangnya.” Kalimat ini bukan untuk menantang, tapi agar prosesnya segera selesai.
            “mana kunci motormu? Kunci motornya dulu, baru tak proses.
            “lho? Ya apa, sich? Tadi bilang proses dulu, lha yang ini minta kunci. Ribet amat. “
            “kalo sudah selesai tapi kuncimu tidak ada?”
            “Ada pak, itu di pak polisi yang ini? aku menunjuk polisi 2.
            “ambil dulu”
            “aduh, bapak ini. suka sekali buat ribet.” Aku berpindah untuk ambil kunci. Dan perdebatan itu tidak terhindarkan.
            “pak, mana kunci saya.” Pintaku agak ketus ke polisi 2.
            *“apa sich, mbak ini. kok terburu-buru. Selesai kan dulu prosesnya nanti kuncinya saya kasi.”
            “tapi kata bapak yang satunya kunci harus ada, mana buat saya tunjukkan ke dia. “ aku kemudian mengacungkan kunci ke pak polisi 3. “ayolah pak, jangan dibuat repot. Saya terburu-buru ini.”
            ‘terburu-buru mau kemana memangnya?”
            “Ada acara’
            “acara apa?”
            “organisasi”
            “organisasi apa?
            “bapak tidak perlu tahu organisasi apa, mana kuncinya biar segera di proses.” Mulai tanda * sampai kalimat ini, perbincangan berjalan secara ketus. Tidak ada ceritanya aku bermanis-manis dengan mereka. Aku paling tidak betah.      
            Akhirnya kunci aku dapat dari pak polisi 2 dan STNK di sodorkan oleh pak Polisi 3. Aku menerima keduanya. Karena masih ada yang kurang, aku bertanya.
            “mana suratnya?’
            “katanya terburu-buru, ya sudah sana”
            Dengan wajah penuh tanda tanya, aku tinggalkan dua polisi yang sudah membuat tekanan darahku meningkat. Tidak perduli. Aku hidupkan motor, dan mengucapkan terimakasih pada bapak polisi 1. Saat lewat dekat pak polisi 2 dan 3, aku menyampaikan pesan,
            “pak, system buat SIM nya di ubah agar saya bisa segera punya SIM”
            Ini kali kedua ku, dengan akhir yang sama. Tidak jadi di tilang. Polisi membiarkan kami (saat pertama) begitu saja setelah dialog yang membuatku memanas. Dan begitupun hari ini. yang awalnya tremor, namun ditengah sudah mulai biasa, walaupun menyimpan ketidaksukaan yang luar biasa. Pelajaran yang aku dapat, akui saja apa yang menjadi salah kita. Jika nantinya di tilang, ya sudah. Karena kita salah. Tidak usahlah menuruti cara mereka yang salah. Saat itu, disekitarku orang-orang yang juga melanggar ramai-ramai memberikan uang pada pak polisi.
            “karena kamu pelajar, 30 ribu sja” ini salah satu kalimat yang aku dengar saat bersitegang dengan bapak polisi 3.
            Ah, rugi sekali. Dan pelajaran terpenting lain adalah… jangan lupakan sedekah. Apa yang memang bukan milik kita, dengan cara apapun pasti akan meninggalkan kita. Kitalah penentu itu. apakah menyakitkan,atau menyenangkan penuh pahala. Ehm, materi yang beberapa jam sebelumya di singgung dalam lingkaran rutinan ku. Sepertinya kejadian ini sebagai pengingatku yang lama tidak mengeluarkan sedekah. Terimakasih ya Allah, Kau masih menyayangiku. Jujur dan apa adanya memang pilihan terbaik.