Dalam lingkungan dimana aku lahir dan tumbuh, mahar yang
diminta calon istri adalah uang, seperangkat alat sholat, atau paling banter
perhiasan. Dan bagiku itu suatu hal yang biasa. Sedangkan aku sendiri ingin
suatu hal yang jarang diminta sebagai mahar dalam pernikahan-pernikahan yang
selama ini aku temui di lingkungan rumah. Namun, ketika tinggal di Surabaya,
dan menghadiri beberapa pernikahan senior, ada hal baru yang aku temui. Mahar tidak
lagi “hanya” uang atau perhiasan, tapi buku. Sepaket buku.
Mahar buku? Ada yang mengatakan berat ketika menerima
mahar berupa buku, terlebih bukan buku sembarang buku, tapi kitab tafsir
misalnya. Berat karena jika kita tidak memanfaatkan buku tersebut, atau minimal
tidak membacanya. Memang mahar harus begitu ya? Sama halnya ketika mendapat
seperangkat alat sholat plus al qur’an, akan menjadi suatu beban ketika istri
tidak menggunakan mahar itu dengan sebaik-baiknya. Lalu, bagaimana jika mahar
berbentuk uang? Bukankah biasanya uang tersebut hanya disimpan?
Terserahlah, apapun alasannya. Tapi mahar buku tetaplah
menarik buatku. Sebagai seorang pencinta buku, aku sangat senang ketika
mendapat hadiah buku – apapun – dibandingkan mendapatkan hadiah yang lain, pun
ketika memberi hadiah, sedapat mungkin aku akan memberikan hadiah buku. Akan lebih
bermanfaat. Karena buku apapun itu, selama isinya tidak menyimpang, akan
memberikan ilmu bagi yang membaca isinya. Namun buku sebagai mahar, ada makna
lain yang aku temukan.
Saat membaca lagi tulisan ustadzah Robi’ah al ‘adawiyah
dalam buku “Diary Pengantin”, mahar yang beliau minta adalah cincin dan sepaket
buku. Tapi bagiku, buku yang diminta sebagai mahar akan lebih bermakna ketika
itu berasal dari koleksi sang calon suami. Kenapa? karena dari sana kita bisa
mengenal lebih jauh bagaimana karakter dan pemikiran yang dimiliki suami kita. Bagaimana
bisa?
Teringat tulisan Mohammad Afifuddin, mahasiswa
Pascasarjana Sosiologi FISIPOL UGM Jojakarta dalam rubrik di balik buku yang
berjudul PEMIMPIN DAN BUKU SASTRA YANG MEREKA BACA, ketika Yann Martel ditanya
mengapa Martel susah-susah mengirim copy an buku sastra beserta komentar
singkat tentang buku itu pada seorang Perdana Mentri, jawabannya sangat brilian
“karena saya ingin tahu bagaimana imajinasi PM tersebut”.
Ya, bagaimana karakter seseorang, bagaimana dia mengambil
kebijakan, bagaimana pemikirannya, bisa kita lihat apa yang menjadi bahan
bacaannya. Baik fiksi maupun non fiksi. Nah, ketika yang diminta menjadi mahar
adalah buku yang selama ini menjadi koleksinya, bahkan ada buku yang menjadi
favoritnya yang mempengaruhi dirinya dalam berpikir dan bertindak. Dari sana,
dapat dijadikan sarana untuk mengenal pasangan kita lebih jauh. Apalagi ketika
menikah dengan orang yang benar-benar belum pernah kita kenal sebelumnya. Buku-buku
yang dia miliki dapat kita jadikan sarana untuk mengenalnya secara lebih jauh.
berarti mahar buku bekas dr suami??? :D
BalasHapusya begitulah... ditambah buku baru juga boleh :D
BalasHapustanya dulu,mau ngasih gak calon suaminya?
BalasHapusjika itu diminta sebagai mahar, masak ga mau kasi.... kan wajib.
BalasHapus