Selasa, 14 Mei 2013

Apa Mahar yang Ingin diminta dari Calon Suami Kelak?



           
Tiba-tiba terpikir untuk menulis tentang Mahar. Suatu hal yang harus diberikan pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Dalam diskusi-diskusi ringan dengan teman-teman, selalu saja tidak mendapatkan jawaban yang pas ketika ditanya “dirimu ingin minta mahar apa ketika menikah nanti?” adanya selalu ditanya balik “anti minta mahar apa?”
            Dalam lingkungan dimana aku lahir dan tumbuh, mahar yang diminta calon istri adalah uang, seperangkat alat sholat, atau paling banter perhiasan. Dan bagiku itu suatu hal yang biasa. Sedangkan aku sendiri ingin suatu hal yang jarang diminta sebagai mahar dalam pernikahan-pernikahan yang selama ini aku temui di lingkungan rumah. Namun, ketika tinggal di Surabaya, dan menghadiri beberapa pernikahan senior, ada hal baru yang aku temui. Mahar tidak lagi “hanya” uang atau perhiasan, tapi buku. Sepaket buku.
            Mahar buku? Ada yang mengatakan berat ketika menerima mahar berupa buku, terlebih bukan buku sembarang buku, tapi kitab tafsir misalnya. Berat karena jika kita tidak memanfaatkan buku tersebut, atau minimal tidak membacanya. Memang mahar harus begitu ya? Sama halnya ketika mendapat seperangkat alat sholat plus al qur’an, akan menjadi suatu beban ketika istri tidak menggunakan mahar itu dengan sebaik-baiknya. Lalu, bagaimana jika mahar berbentuk uang? Bukankah biasanya uang tersebut hanya disimpan?
            Terserahlah, apapun alasannya. Tapi mahar buku tetaplah menarik buatku. Sebagai seorang pencinta buku, aku sangat senang ketika mendapat hadiah buku – apapun – dibandingkan mendapatkan hadiah yang lain, pun ketika memberi hadiah, sedapat mungkin aku akan memberikan hadiah buku. Akan lebih bermanfaat. Karena buku apapun itu, selama isinya tidak menyimpang, akan memberikan ilmu bagi yang membaca isinya. Namun buku sebagai mahar, ada makna lain yang aku temukan.
            Saat membaca lagi tulisan ustadzah Robi’ah al ‘adawiyah dalam buku “Diary Pengantin”, mahar yang beliau minta adalah cincin dan sepaket buku. Tapi bagiku, buku yang diminta sebagai mahar akan lebih bermakna ketika itu berasal dari koleksi sang calon suami. Kenapa? karena dari sana kita bisa mengenal lebih jauh bagaimana karakter dan pemikiran yang dimiliki suami kita. Bagaimana bisa?
            Teringat tulisan Mohammad Afifuddin, mahasiswa Pascasarjana Sosiologi FISIPOL UGM Jojakarta dalam rubrik di balik buku yang berjudul PEMIMPIN DAN BUKU SASTRA YANG MEREKA BACA, ketika Yann Martel ditanya mengapa Martel susah-susah mengirim copy an buku sastra beserta komentar singkat tentang buku itu pada seorang Perdana Mentri, jawabannya sangat brilian “karena saya ingin tahu bagaimana imajinasi PM tersebut”.
            Ya, bagaimana karakter seseorang, bagaimana dia mengambil kebijakan, bagaimana pemikirannya, bisa kita lihat apa yang menjadi bahan bacaannya. Baik fiksi maupun non fiksi. Nah, ketika yang diminta menjadi mahar adalah buku yang selama ini menjadi koleksinya, bahkan ada buku yang menjadi favoritnya yang mempengaruhi dirinya dalam berpikir dan bertindak. Dari sana, dapat dijadikan sarana untuk mengenal pasangan kita lebih jauh. Apalagi ketika menikah dengan orang yang benar-benar belum pernah kita kenal sebelumnya. Buku-buku yang dia miliki dapat kita jadikan sarana untuk mengenalnya secara lebih jauh.

4 komentar:

  1. berarti mahar buku bekas dr suami??? :D

    BalasHapus
  2. ya begitulah... ditambah buku baru juga boleh :D

    BalasHapus
  3. tanya dulu,mau ngasih gak calon suaminya?

    BalasHapus
  4. jika itu diminta sebagai mahar, masak ga mau kasi.... kan wajib.

    BalasHapus