Ikhwan, ikhwan setiawan nama lengkapnya. Sebuah nama yang sangat mencerminkan kepribadiannya. Dia sangat setia kawan. Tidak jarang dia mengorbankan apa yang dia miliki untuk kawan-kawannya. Jika dia sendiri tidak memiliki apa yang dibutuhkan kawan-kawannya, maka dia akan berusaha untuk mencari pertolongan kepada orang lain. Entah orang tuanya atau kawannya yang lain yang lebih mampu. Dia tidak akan membiarkan kawannya bingung sendiri.
Umurnya baru 19 tahun ketika dia dipanggil Rabb nya untuk kembali. Banyak yang kaget dengan kejadian ini. Tidak sedikit pula yang heran bahwa pemuda dengan badan tegap itu telah pergi. Hanya satu pekan dia tidak keluar rumah, dan itu sudah merupakan hal sangat luar bisa bagi orang-orang yang sering berinteraksi dengannya. Dari tempat kerjanya, dia ijin sakit. Ya, sakit kepala yang tak terikira lah yang membuatnya harus tidak masuk kerja. Dan itu pulalah penyebab dia akhirnya menghembuskan nafas terahir. Sakit kepala yang tidak diketahui sebab nya karena tidak pernah diperiksakan.
Dalam umurnya yang masih tergolong muda, dia telah memberikan banyak hal yang bisa diambil sebagai pelajaran. Termasuk juga aku. Dari dirinya aku bisa belajar tentang banyak hal yang tidak aku dapatkan diproses pendidikanku melalui jalur formal.
a. Darinya aku tahu arti kecerdasan social
Dalam dunia pendidikan, kecerdasan digolongkan dalam beberapa hal. Ada kecerdasan matematis, kecerdasan linguistic, dan kecerdasan social. Tapi seringkali yang mendapat porsi lebih dan dianggap cerdas jika seorang anak memiliki kecerdasan matematis lebih dari yang lain. Cerdas jika nilai matematika atau nilai pelajaran eksak yang lain mendapatkan nilai tinggi. Sedangkan jika seorang anak mendapatkan nilai jelek dalam mata pelajaran tersebut, dikatakan bodoh walaupun pergaulannya sangat luas dan hubungan dengan orang lain tergolong baik. Hal ini jarang sekali diakui, bahkan oleh orang tua dari anak sendiri. Anak yang mendapatkan nilai jelek di sekolah dan terlihat nakal langsung di cap nakal.
Begitu juga dengan diriku. aku sempat menilai dia tidak pintar hanya karena nilainya tidak pernah bagus, cenderung selalu ada dalam batas minimal. Lebih-lebih, malasnya dia belajar untuk matapelajaran yang dia tidak unggul disana. Tapi, ketika melihat lebih jauh lagi, aku tahu dia memiliki kelebihan lain, tidak dikemampuan matematis atau ilmu eksak yang lain. Keunggulannya adalah dibidang social dan olahraga. Dia akan betah berlama-lama membaca buku sejarah dibandingkan harus menghadapai lima soal matematika. Berbeda dengan diriku yang (dulu) alergi dengan sejarah. Nilai olahraganya bagus, jabatan sebagai komandan pasukan gerak jalan mulai dari SD sampai SMA selalu dia dapatkan. Suatu hal yang tidak pernah aku miliki padahal aku sangat mengidamkannya walaupun hanya sebagai pasukan.
Tapi yang terpenting dari semua itu adalah kecerdasan sosialnya yang diatas rata-rata. Jika ada tes untuk kecerdsan social sama seperti adanya tes IQ, aku pikir dia akan mendapatkan nilai excellent. Bagaimana tidak, seperti yang aku paparkan di atas, dia tidak pernah bisa menolak permintaan tolong kawan-kawannya. Pernah suatu ketika dia minta sepeda onthel, tujuan awalnya agar dia lebih mudah kesekolah dan main ke desa sebelah. Lama-kelamaan, dia bosan. Padahal sepeda yang awalnya masih original sudah dia ganti beberapa kali disana sini. Mulai dari ban, setir, sampai cat. Tapi karena sifat bosan itu, akhirnya sepeda itu hanya teronggok di rumah. Sampai beberapa waktu dia menemui ayahnya. “Ramah, adik dari temanku minta sepeda, sedangkan orangtuanya tidak punya uang untuk membelikan sepeda. Boleh aku berikan sepeda itu untuk dia?” begitulah dia melakukannya. Dia sadar apa yang akan dia berikan untuk temannya bukanlah miliknya. Itulah salah satu kejadian yang membuatku takjub padanya. Meskipun awalnya jujur aku akui, aku merasa tindakan itu adalah bodoh. Sepeda itu masih bisa dia pakai sendiri atau dijual tapi dia tidak melakukannya.
Dengan seperti itu, siapa yang akan memberikan nilai terhadap kecerdasan sosial yang dia miliki? Bahkan sampai saat inipun hal itu masih sulit aku wujudkan.
b. Darinya aku belajar pengorbanan
Dia seperti bank atau gudang yang penuh logistic bagi kawan-kawannya. Permasalahan apapun yang kawan-kawannya hadapi, hampir semua bisa dia bantu. Mulai dari kawannya yang kehabisan bensin ketika ke kota. Karena rumahnya dekat dengan kota dan seringkali dilalui oleh kawannya, jadilah dia tujuan. Lalu apa yang dia lakukan, dia sedotkan bensin dari sepeda motornya sejumlah yang dibutuhkan temannya untuk mencapai kota dan balik sampai dirumah. Saat itu dia memang baru saja mengisi motornya.
Beda lagi ketika disuatu siang yang terik, saat dia baru pulang sekolah seorang kawan yang lain datang ke rumahnya dengan kondisi bagian depan motor rusak. Sang kawan cerita bahwa dia tadi mengalami kecelakaan dengan orang. Dan kawannya tidak berani pulang dalam keadaan motor yang tidak lagi bagus. Apa yang ikhwan lakukan? Dia menemani kawannya kebengkel terdekat untuk memperbaiki dengan uang yang dia dapat setelah melakukan pendekatan pada ibunya. Dia selalu ada ketika kawannya butuh bantuannya. Dari sanalah aku belajar arti sebuah pengorbanan saat kesempitan, saat kita sendiri butuh untuk dibantu. Yang (lagi) diri ini masih sulit untuk melakukannya.
c. Darinya aku melihat praktik bertetangga sesungguhnya
Kemanapun dia pergi, selalu ada yang menyapa. Baik hanya dengan menganggukkan kepala, sampai memanggil nama. Padahal ketika ditanya siapa yang tadi menyapanya, tidak semua dia tahu siapa mereka. Lalu kenapa hal itu terjadi? Karena setiap kali dia melewati daerah padat penduduk, dia akan menganggukkan kepala yang berarti dia mohon ijin untuk lewat. Meskipun dua kali dia pindah rumah, dia bisa mengenal dengan cepat siapa tentangganya yang baru. Tidak hanya tetangga kiri kanan depan belakang, tapi tetangga yang rumahnya beberapa meter dari tempat dia tinggal dia mengenalnya. Ketika tetangganya butuh bantuan? Dialah yang akan menjadi wakil dari keluarganya.
Selain tiga hal itu, masih banyak hal lain yang bisa aku pelajari darinya. Bagaimana bersikap, berbicara aku pelajari darinya. Dalam waktu 19 tahun dia banyak meninggalkan kenangan yang sangat berharga. Tidak hanya bagiku, tapi bagi kawan-kawannya.
Ketika kabar duka itu datang, banyak telpon menyakan kabarnya. Ya, banyak dari kawan-kawannya yang belum tahu bahwa dia telah dipanggilNya. Bahkan dihari keenam, masih ada yang menanyakan kabarnya. Ada yang menelpon karena rindu sudah lama tidak bertemu, ada yang karena semalam memimpikannya, ada yang memang hanya ingin bertanya kabar. Dan yang mebuatku takjub adalah kawan-kawan yang menelponnya adalah orang yang tidak kenal baik. Dalam artian kawannya itu tidak tahu ikhwan anak mana, rumahnya di mana. Yang mereka tahu hanya dia bernama ikhwan, itu saja. Mereka bukanlah orang-orang yang satu kampung dengannya. Ada yang bahkan jaraknya jauh yang ibunya pun heran, dari mana mereka mengenal putranya?
Ya, begitulah sekelumit kisah yang bisa aku ceritakan tentang seorang ikhwan yang aku kenal. Meskipun kebersamaan kami 19 tahun, tapi aku baru merasa benar-benar bersama dirinya hanya satu bulan sebelum akhirnya dia dipanggilNya.
Aku baru sempat membacanya...
BalasHapusterimakasih sudah menyempatkan membaca
BalasHapusAdik kandung mbk Aisya???
BalasHapusSakit apa mbk???
Ya Allah...knp dia tidak pernah merasakan sakitnya hingga akhirnya terlambat?
mungkin Ikhwan terlalu menikmati manisnya berbagi hingga ia tak ada waktu utk memikirkan sakitnya yg pastinya sudah lama ia rasakan itu...
Semoga dia mendapatkan tempat terindah di sisi NYa! AmiiN.
ya, adik kandung. diagnosa medis tidak diketahui, karena memang tidak pernah diperiksakan.
BalasHapusIkhwan tidak mati. Ia hidup disisi Robnya
BalasHapus