Umur kami hanya berjarak 1,5 tahun. Tapi
secara angkatan, beliau tiga tahun di atas ku. Mungkin karena jarak angkatan
itu, aku selalu seperti anak kecil di depannya, selalu gagal untuk bersikap
dewasa. Aku seperti anak SD dengan kakak yang sudah SMA. Maklum, aku juga tidak
punya kakak perempuan, jadinya mendapati dirinya di awal masa perkuliahan, ada
rasa tersendiri yang tidak bisa aku ungkapkan.
Pertemuan kami berawal dari depan
cermin di tempat wudhu’ masjid fakultas di mana aku dan beliau, Allah
pertemukan. Saat sama-sama memperbaik kerudung sehabis wudhu’, obrolan ringan
terjadi. Dari obrolan itu, berlanjut ke pertemuan-pertemuan formal dan
informal. Kos-kosan kami yang tidak jauh, menambah intensitas pertemuan kami. Hingga
akhirnya kami dipertemukan dalam forum melingkar dengan teman-teman seangkatan
yang lain, makin dekatlah aku dengan dirinya.
Sifat ngemong nya, membuatku nyaman. Perhatian, ungkapan sayang yang
tidak segan beliau sampaikan ke padaku, membuatku nyaman dan diperhatikan. Meskipun
di awal aku risih karena tidak terbiasa dari rumah, perhatian, ungkapan sayang
itu sering kali aku rindukan. Terlebih, ketika aku bertanya ke pada temanku
yang lain apakah mereka mendapatkan SMS yang sama?, mereka menjawab tidak. Di spesialkan,
adalah salah satu sisi lemahku.
Sebagai orang yang “bertanggung
jawab” terhadapku, tidak hanya perhatian yang beliau berikan, namun juga
memiliki hak untuk keinginanku aktif dalam
organisasi kampus. Dari awal aku tergabung dalam kelompok lingkaran ini,
aku menyerahkan sepenuhnya di mana aku akan beramanah... untuk urusan ini,
sikap yang sangat berbeda beliau tunjukkan padaku. Jika teman yang lain
dibiarkan sesuai keinginannya, aku tidak. Ketika di awal aku ingin aktif dalam
depertemen syiar, tanpa mengatakan apa-apa padaku, beliau meminta sekdep KD
untuk memasukkanku dalam departemennya. Saat aku menolak untuk mendapat binaan
di tahun ke dua aku kuliah, dia mengatakan kalimat yang membuatku cukup kaget: “biarkan
saja dia “mati” jika tidak mau membina”... dan akhirnya aku berusaha untuk
menerima amanah itu.
Dan baru akhir-akhir aku sadari,
itulah cara beliau membentukku. Ketika sekarang aku ada pada posisinya dulu,
aku masih mengingat bagaimana cara beliau. Namun, aku sadari tidak bisa sama
seperti yang beliau terapkan padaku. Karena aku dengan beliau beda, dan aku dengan
adik-adik yang aku tangani juga beda.
Ketika ada kesempatan yang sekiranya
masih dapat mempertemukanku dengan dirinya, aku selalu mengaharapkannya. Maklum,
sejak tidak lagi menjadi anak didiknya, beliau pindah keluar kota. Pertemuan yang
walaupun sebentar, sangat aku harapkan. Seperti halnya kemarin, dalam sebuah
forum yang sangat istimewa.
Aku selalu berterimakasih pada Allah
telah mempertemukan aku dengan mu,,, sebuah nikmat yang sangat luar biasa. Terlebih,
efek dari pertemuan itu yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata. Terimakasih untuk
bimbinganmu selama tiga tahun pertama masa kuliahku, untuk SMS perhatian, dan
telponmu dalam dua situasi sulitku...
0 komentar:
Posting Komentar