This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 28 Desember 2013

Betang, Cinta yang Tumbuh dalam Diam (review)


          
Danum lahir dan besar di rumah Betang (rumah adat Kalimantan). Dia jatuh cinta pada dayung sejak pertama kali memilikinya. Tumbuh besar di rumah Betang membuat dirinya berat untuk meninggalkan rumah Betang dan Kakek yang dia panggil Kai, pun untuk menjemput masa depan yang indah bersama dayung yang dia cintai.
          Dehen, sahabat kecil Danum. Bersama mereka menyusuri sungai-sungai,beradu kecepatan dengan dayung pertama mereka. Dehen pindah dari rumah Betang dan menjemput impian menjadi pedayung profesional. Atlet nasional! Keliling dunia! Dan mengibarkan merah putih di negeri orang! keinginan Dehen menular pada Danum.
          Jika Dehen mudah melenggang hingga tingkat nasional, tidak dengan Danum yang berkali-kali gagal. Namun, dukungan dari Kai dan Arba kakaknya membuatnya terus berusaha, juga apa yang pernah dia jalani bersama Dehen.
          Kisah yang klise sebenarnya,namun dengan pengemasan yang manis dengan penuturan yang juga indah, membuat kisah Dehen dan Danum tetap betah diikuti hingga akhir. Walaupun tanpa konflik yang meledak-ledak. Sosok Arba, memberikan warna tersendiri dalam novel ini. quote-quote indah yang tersebar di sepanjang kisah juga menambah keindahan kisah cinta masa kecil ini.
          Selain mengisahkan tentang atlet dayung, cabang olahraga yang tidak populer di Indonesia, namun telah memberikan sebuah prestasi yang membanggakan bagi Indonesia. Dengan membaca novel ini saya jadi tahu tentang olahraga dayung. Konservasi lingkungan di tunjukkan melalui kepeduilan Kai menanam kayu ulin kemudian menyemainya. Tentang kepedulian budaya dayak, digambarkan melalui aktivitas Arba yang menjadi pemandu wisata untuk rumah Betang dan agenda-agenda yang ada di daerah mereka tinggal.

          “Tidak ada kata terlambat, selama kita masih bisa bergerak dan berusaha.” (Arba)

          “tidak ada yang lebih menakutkan daripada kehilangan keberanian!” (Arba)

“tak masalah kamu duduk di haluan atau buritan, asal kamu tetap menggerakkan dayungmu” (Dehen)

“Karena pertandingan tidak melulu tentang kalah dan menang” (Kai)

“Mimpi boleh setinggi yang kau bisa, asal kau tak lupa bangun untuk mewujudkannya” (Arba)

“kau dan aku mungkin berberda, tapi kau dan aku sama-sama sempurna sebagai diri kita” (hal. 5)

“Kadang apa yang terlihat di luar, tidak benar-benar menggambarkan apa yang di dalam” (arba)

“kalah itu perlu, agar kau tahu dunia bukan milikmu” (hal. 52)

“sejauh apapun kau pergi, keluarga tetap menjadi rumah yang indah untuk kembali” (hal. 62)

“tak ada yang salah dengan cinta, selama kau tahu bagaimana menempatkannya” (hal.72)

“ada aturan yang seakan mengekang, tapi percayalah dengan peraturan itu, hidup manusia menjadi lebih mudah” (Arba)

“kadang orang bicara hanya menutupi ketidakmampuannya dalam berusaha” (Arba)

“Ada hal-hal yang tidak perlua menunggu kita sempurna untuk melakukannya” (Dehen)

“Dunia memang sering menyilaukan, tetapi hidup membuat kita menjadi cukup” (hal. 107)

“harapan bisa menjelma kekuatan, tapi bisa berubah menjadi beban, tergantung dari sudut mana kita memandang” (hal. 120)

Gambar-gambar yang saya cari dari google. ingin lebih tahu tentang apa-apa yang disampaikan dalam novel ini.


Bunga Bakung


Bunga Karamunting

Anggrek Hitam

Buah Keledang

Buah Tangkuhis

Kue Lumpang

Batik Batang Garing

Rasau









Minggu, 22 Desember 2013

Menunjukkan Rasa Cinta pada Buku

         
Sejak kecil, saya sudah diajarkan gemar membaca. Buku, koran, majalah, pun banner yang terpampang di jalan-jalan tidak luput untuk saya baca. Hingga kini, setiap bulan selalu saja ada yang ingin diselesaikan untuk dibaca. Ketika jaman SD dulu, akrab dengan buku-buku yang tersedia di perpustakaan sekolah yang tidak seberapa banyak, menginjak SMP, karya Enid Blyton, R.L Stine, dan Boim Lebon dengan Lupus nya menjadi teman di akhir pekan. Saat SMA, saya baru berkenalan dengan karya penulis dari FLP dengan penerbit MIZAN.
          Selama itu, tidak satupun buku yang saya punya, kecuali tentu saja buku paket pelajaran yang setiap awal semester selalu saya miliki. Dengan buku-buku paket itu, saya sudah bertekad untuk tetap menjaga dalam kondisi baik, pengalaman kehujanan hingga merusak buku tidak ingin saya alami lagi. Maka jadilah tiap mendapatkan buku baru, saya selalu menyampulnya terlebih dahulu. Jaman SMA dulu, saya masih belum berkenalan dengan sampul plastik mika kecuali sampul plastik tipis yang biasa digunakan untuk buku tulis, maka buku paket saya lapisi dengan plester bening besar di seluruh bagiannya. Dan hal ini cukup efektif menjaga buku paket tetap baik selama satu semester bahkan masih layak untuk dipinjamkan ke adik kelas.
         
Sekarang, ketika sudah bisa memiliki buku sendiri, kecintaan terhadap buku lebih leluasa untuk diekspresikan. Bagi saya, mencintai buku tidak hanya dengan membaca apa yang tertulis, namun ada beberapa hal lain yang harus dilakukan oleh seorang yang mencintai buku.



1.     Membeli produk asli
Lapak Buku Bekas dan Bajakan
Di indonesia, apa produk yang tidak ada barang bajakannya? Pun dengan buku, kita bisa menemukan produk bajakan ini dengan mudah, terlebih jika buku tersebut memiliki label “Best Seller”, tentu kita bisa mendapatkannya dengan harga yang jauh dari harga aslinya.
Tapi bagi saya, membaca buku bajakan mengurangi keasyikan dan keberkahan dalam mengambil apa yang ada dalam buku. Namanya bajakan, tentu saja kualitasnya jauh di bawah buku asli, mudah lepas, kertas tidak bagus, dan halaman yang bisa saja tidak lengkap. Entah, untuk saya pribadi, membaca buku bajakan membuat saya tidak paham dengan apa yang disampaikan buku. Jika tidak ingin membeli, saya lebih memilih meminjam buku yang saya ingin baca daripada membeli buku bajakan.
2.    Menyampulnya
Setelah buku yang diinginkan terbeli, hal pertama yang biasa saya lakukan adalah menyampulnya. Sejak tinggal di Surabaya, saya sudah mengenal yang namanya sampul plastik. Jadi, awal membeli buku juga sekalian membeli sampul plastiknya.
Saya sering gregetan dengan teman-teman yang membiarkan bukunya tidak tersampul. Tidak masalah jika buku itu dalam format hardcover, tapi yang bersampul softcover sunggu disayangkan jika tidak dalam kondisi tersampul, apalagi buku itu berpotensi untuk dipinjam banyak orang.
3.    Menyediakan pembatas
Pembatas buku biasa
Menggaris bawahi atau memberi catatan pada halaman buku tidak masalah bagi saya, karena hal itu akan mempermudah untuk mencari ulang kalimat ketika ingin meresensinya. Tapi, yang tidak bisa saya tolelir adalah jika halaman buku dilipat. Bukan apa-apa, melipat halaman buku bisa merusak buku. Jika ingin menandai halaman yang kita baca, alangkah lebih baiknya jika menggunakan pembatas buku. Sekarang buku-buku banyak yang disertai dengan pembatas buku, kadang pembatas bukunya juga unik.
Namun jika tidak ada pembatas buku dari penerbit, kita bisa menyiasati sendiri. Menggunakan pembatas buku yang dijual di toko-toko buku, baik yang biasa atau yang magnetik. Atau hanya dengan menggunakan kertas bekas, yang penting buku kita memiliki pembatas dan tidak terlipat.
Pembatas Buku Magnetik
Terkait pembatas buku, pengalaman yang sering terjadi adalah pembatas buku sering hilang karena terjatuh saat membaca buku di tempat-tempat umum. Nah,untuk menghindari ini bisa menggunakan pembatas buku magnetik yang bisa kita lekatkan pada halaman lain saat kita sedang membaca buku.
4.    Meresensi
Meresensi atau memberikan ulasan pada buku, adalah salah satu wujud kecintaan pada buku. Memberikan kesan dan masukan terhadap buku yang kita baca, akan membantu secara tidak langsung mempromosikan buku tersebut. Mengajak orang lain untuk juga ikut membaca buku yang sedang kita baca. Selain itu, membantu kita dalam mengikat ilmu yang kita dapatkan dari apa yang kita baca.


5.    Memberi identitas
Dan yang tidak boleh tertinggal adalah memberikan identitas pada buku yang kita punyai. Hal ini akan mudah ketika buku kita dipinjam. Sayangkan jika buku kita dipinjam lalu tidak kembali? Identitas bisa ditulis lengkap seperti pada identitas buku di perpustakaan, atau hanya nama kita saja di awal halaman buku.


Itu beberapa hal yang saya lakukan pada buku-buku yang saya punyai. Satu-persatu buku-buku bisa saya miliki sendiri, hingga memiliki kesempatan untuk berbagi dengan yang lain, tanpa harus khawatir buku yang dipinjamkan rusak.

My Avilla: Tentang Sebuah Pencarian


Judul                : My Avilla
Penulis             : Ifa Avianty
Penerbit           : AFRA Publishing
Tebal buku      : 184; 20 cm
ISBN               : 602-8277-49-5
Harga              : Rp. 26.000,-

            Margriet dan Trudy, adalah kakak adik yang saling mengagumi satu sama lain. Margriet mengagumi Trudy karena kecantikan yang dia miliki, kemampuan bersosialisasi dengan teman-temannya, tidak bisa dilakukan oleh Margriet yang memiliki karakter tertutup dan pemalu. Sedangkan Trudy mengagumi Margriet dengan segala keahlian dalam segala bidang yang Margriet miliki. Cantik, cerdas, terampil, atlit, dan juga sosok anggun dengan jilbabnya.
            Adalah Fajar, teman sekelas Trudy yang juga mengagumi Margriet dan akhirnya jatuh cinta karena diskusi tentang pencarian Fajar akan Tuhan. Kegamangan, kebingungan, dan kegelisahan Fajar, mendapatkan tempat ketika Margriet bersedia menjadi tempat curahan hati atas semua yang Fajar rasakan. Dan rasa kagum yang Fajar rasakan perlahan berubah menjadi rasa suka seorang laki-laki terhadap seorang wanita. Hingga ada panggilan sayang yang Fajar sematkan untuk Margriet “My Avilla”.
            Phil, sosok lain yang kemudian hadir dalam kehidupan Margriet paska kepergian Fajar. Sosok yang juga mencari Tuhan. Jatuh hati pada Margriet yang pada akhirnya mereka menikah. Kehidupan rumah tangga yang membahagiakan sebelum akhirnya sebuah musibah terjadi dan kembali mempertemukan Trudy, Fajar, dan Margriet dalam kisah cinta segitiga mereka.
            Bagaimana akhir dari kisah ini? Bisa dengan mudah diketahui dari sinopsis di sampul belakang. Namun, yang membuat betah membaca novel ini hingga akhir adalah penuturan yang indah dari tiap tokohnya tentang kegelisahan mereka akan pencarian terhadap Tuhan. Mengikuti tiap kegelisahan yang dirasakan oleh tiap tokoh akan membuat kita tidak akan menghentikan membaca hingga akhir kisah.
            Sudut pandang orang pertama dari tiap tokohnya membuat kita mengenal secara detail masing-masing tokoh yang ada dalam kisah ini. Namun, ada yang agak aneh ketika mencoba mengenali sosok Fajar masa SMA. Bagi saya, dia terlalu dewasa sebagai siswa SMA kelas 1. Fajar seperti seusia Magriet yang merupakan mahasiswa tingkat dua. Dan proses yang dialami Phil yang terasa sangat cepat dari seorang atheis menjadi penganut islam yang taat, yang sangat mencinta agamanya.
            Beberapa kalimat indah yang dapat dikutip dari novel ini;
“Kecewalah kita jika berharap kepada manusia. Hanya Allah lah sebaik-baik tempat kita melabuhkan harap. Dan Dialah sebaik-baik Penolong” (hal. 81)
“Mencintai seseorang yang akhirnya tak bisa kita miliki memang hanya akan membuat kita merasa menjadi pecundang yang bahkan mengangkat wajahpun tak sanggup” (hal. 85)

Dari seorang Trudy, kita belajar bahwa; “Kebahagiaan itu sederhana. Dia ada di dalam hati yang bersyukur, dan ketulusan mencintai serta memaafkan.” (hal. 182)

The coffe memory : Tentang Wangi dan Pahitnya Sebuah Kenangan


Penulis: Riawani Elyta
Penerbit: Bentang Pustaka (Pustaka Populer)
Jumlah Halaman: 232 halaman
Harga: Rp.39.000
ISBN: 9786027888203

     “secangkir kopi adalah jembatan kenangan dan komunikasi yang paling hangat. Dan, bersamanya, kita bisa menciptakan momen-momen special dalam secercah perjalanan hidup”
.
The coffee memory, novel yang berkisah tentang Dania dengan kenangan terhadap mendiang suaminya, Andro, yang merupakan barista sekaligus pemilik “Katjoe Manis Cafe”. Kepergian Andro meninggalkan kesan yang mendalam bagi Dania, hingga dalam beberapa waktu, Dania tidak sanggup melanjutkan apa yang sudah dirintis Andro pada “Katjoe Manis Cafe”. Hingga ibunya menyadarkannya akan tanggung jawab yang masih Dania tanggung terhadap anak dan para pegawai yang masih menunggu kelanjutan dari usaha yang sudah dirintis oleh mendiang suaminya tersebut.
Seiring berjalannya roda bisnis Cafe, konflik demi konflik hadir bersama hadirnya sosok laki-laki yang mulai mengusik hidup Dania paska meninggalnya Andro. Kakak almarhum Andro, yang sering menteror Dania untuk menjual Katjoe Manis Cafe pada dirinya. Danu, teman dekat masa SMA yang juga pemilik Cafe yang bertetangga dengan Dania, mulai melakukan pendekatan secara intens sejak tahu Dania berstatus janda. Namun, Dania mencoba bergeming dan bertahan dengan prinsipnya, bahwa tidak akan ada yang bisa menggantikan Andro dalam hidupnya. Dania mencoba kuat menghadapi segala cobaan yang satu persatu datang menghampiri usaha Cafe yang coba dia rintis kembali. Untunglah, usaha yang dilakukan Dania sedikit berkurang bebannya karena ada Ratih yang selalu setia membantu, dan sosok Barista baru bernama Barry yang memberikan perhatian lebih dari hanya sekedar sebagai Barista di cafe yang dikelola Dania.
Novel ini, tidak hanya menyajikan cerita yang menarik, dengan konflik yang wajar dan ending yang tidak mudah ditebak, namun pula menyajikan inspirasi usaha dari cafe yang menjadi latar kisahnya. Info tentang jenis-jenis kopi serta produk olahan kopi juga tersaji dalam tiap kisahnya. Macchiato, espresso, dan capuccino dengan latte art nya, hot smores choco, dan kopi tiam adalah jenis-jenis produk kopi yang disebutkan dalam novel ini, tidak hanya nama, tapi juga bahan dan cara membuat juga dijelaskan.
Dari sekian hal yang membuat novel ini menarik, ada sedikit yang menjadi “penganggu”. Di bab pertama, paragraf pertama, ada kesalahan dalam pendeskripsian.
   “aroma yang membuat gerak diafragmaku sedikit melambat saat mengambang dan mengempis.”
Yang mengembang dan mengempis saat proses bernapas adalah paru-paru, bukan diafragma. Jika nanti novel ini cetak ulang, harapannya kalimat itu sudah berganti. Juga penggunakan kata “akut” yang sepertinya menjadi kesalahan sebagian besar orang. “akut” adalah istilah yang digunakan pada sesuatu yang sifatnya baru dan sementara. Jika ini berkaitan dengan suatu hal yang berlangsung lama, istilah yang benar adalah “kronik/kronis”. Dan satu hal lagi yang saya temukan, mungkin ini kurang ketelitian dari editor atau penulis. Pemakaian Bookafeholic pada awal cerita, berubah jadi Bookholicafe paragraf menjelang akhir cerita.
Terlepas dari semua kejanggalan itu, novel ini begitu inspiratif, dan mudah dicerna. Inspirasi usaha yang dihadirkan memberikan gambaran bagaimana sebuah usaha dirintis. Info tentang kopi berhasil membuat saya penasaran tentang jenis-jenis produk kopi dan cara membuatnya. Tidak ada salahnya bagi penggemar kopi atau yang mencoba menggemari kopi untuk membaca novel ini. Siapa tahu juga terinspirasi untuk menjalankan bisnis coffee shop. (kalau saya mupeng dengan konsep kafe plus perpustakannya J )

tambahan : suka dengan sampul yang ada di balik sampul ini... J


Selasa, 17 Desember 2013

Belajar Tentang Kearifan Kampung Dari Serial Anak-Anak Mamak


          
  Eliana, Pukat, Burlian, dan Amelia adalah anak-anak dari Mamak Nurmas dan Bapak Syahdan. Mereka lahir dan besar di sebuah perkampungan di lereng bukit barisan. Sebuah kampung yang masih sangat kuat memegang tradisi nenek moyang untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan dan syari’at agama. Sebuah kampung yang masih kaya dengan hutannya yang lebat beserta flora dan fauna yang berada di dalamnya, ladang milik penduduk yang diolah dengan cara tradisional, dan sungai yang menyimpan ikan dan batu-batu indah.
            Mereka berempat dan teman-teman sepermainan tumbuh dalam kearifan kampung yang masih sangat terjaga. Dijaga oleh para tetua kampung yang berperan melalui profesinya masing-masing.
Pak Bin yang dengan setia dan sabar mengajar para murid di satu-satunya SD di desa itu. Pak Bin benar-benar menjadi guru yang disegani, tidak hanya oleh para murid, namun juga oleh para orang tua. Pak Bin, yang dengan sabar mengajar anak-anak kampungnya mulai dari kelas satu hingga kelas enam seorang diri, terus mengajar walaupun janji untuk pengangkatan menjadi PNS tidak jelas kapan akan terlaksana. Berusaha keras, agar para murid menyelesaikan pendidikan dasar, karena tiap tahun selalu saja ada muridnya yang putus sekolah untuk membantu orang tuanya di ladang. Pak Bin yang setiap tahun ajaran baru memberi penjelasan pada para orang tua murid pentingnya sebuah pendidikan.
Nek Kiba, tetua kampung yang setiap malam mengajar anak-anak mengaji. Melalui kisah yang sering Nek Kiba ceritakan pada anak-anak, mereka diperkenalkan dengan sejarah islam dan hikmah yang berada di baliknya. Nek Kiba, orang yang paling disegani di kampung, menjadi orang yang selalu menjadi orang pertama ketika penyimpangan syari’at terjadi di kampung itu. Dari Nek Kiba anak-anak belajar tentang kejujuran, kedisiplinan, dan pentingnya pengetahuan agama.

Wak Yati,yang merupakan kakak dari Bapak Syahdan. Dengan pengalaman masa muda yang sarat dengan pelajaran dari perjalanan masa muda yang telah dijalani, banyak hal yang anak-anak mamak dapatkan dari beliau. Eliana dan Amelia bahkan tidak hanya belajar dari kisah yang seringkali Wak Yati ceritakan pada mereka, namun juga tentang keterampilan yang sudah semakin banyak ditinggalkan anak-anak muda, menenun. Ya, Eliana dan Amelia belajar menenun dari Wak Yati. Sedangkan Pukat dan Burlian diingatkan tentang harta berharga yang masih dimiliki kampung mereka, ketika mereka melakukan kenakalan yang dianggap keterlaluan.
Paman Unus, yang merupakan adik dari Mamak Nurmas. Paman tersayangnya anak-anak. Bersama Paman Unus, tiap bulan secara bergantian, anak-anak selalu diajak mengalami petualangan yang selalu tidak bisa mereka prekdisikan. Selain itu juga selalu sesuai dengan kegemaran mereka. Bersama Paman Unus, mereka menemukan apa yang menjadi passion mereka ketika dewasa nanti.
Dan tokoh yang paling penting dari semua itu tentu saja Bapak Syahdan dan Mamak Nurmas. Bukankah sekolah pertama adalah keluarga? Melalui sikap tegas dan cerewetnya Mamak kepada anak-anaknya, Mamak telah mendidik anak-anak menjadi orang yang bertanggung jawab dan menghargai arti kerja keras. Walaupun kadang kecerewetan Mamak dan ketegasannya membuat anak-anak – kecuali  Amelia – menganggap Mamak tidak menyayangi mereka. Namun, selalu ada Bapak yang mengajarkan kepada mereka tentang hikmah hidup melalui cerita masa lalu dan pelajaran dari kehidupan yang mereka temui sehari-hari. Bapak mengingatkan tentang kasih sayang Mamak yang begitu besar kepada mereka berempat, hingga mereka sadar bahwa apa yang telah dan akan mereka lakukan untuk kebahagiaan Mamak tidaklah seberapa dibanding dengan apa yang telah Mamak lakukan untuk mereka. Dari mereka berempat, hanya Amel yang paham bagaimana Mamak sangat menyayangi mereka, sehingga tidak ada rasa sakit hati ketika harus dimarahi oleh Mamak.
Tumbuh dalam suasana kampung yang masih alami, dengan warga yang saling menjaga, anak-anak mamak menjadi pribadi yang luar biasa. Eliana menjadi anak yang pemberani, dia berani menentang perusahaan tambang yang akan mengeruk pasir sungai kampungnya. Pukat menjadi anak yang jenius, yang bisa memecahkan persoalan dalam bidang teknologi. Burlian menjadi anak yang spesial, yang beruntung bisa pergi ke Jepang dan berbagai dunia yang lain karena hubungan baik dengan pimpinan kontraktor asal jepang yang dia kenal. Dan Amelia, menjadi anak yang paling kuat.bukan kuat secara fisik, namun kuat secara pemahaman. Amelia memang anak bungsu, tapi dia paling dewasa dibanding semuanya.
Dari kisah anak-anak Mamak, saya mendapatkan sebuah pelajaran, bahwa pendidikan anak yang sempurna, tidak cukup hanya rumah yang terkondisikan, tapi juga lingkungan dimana anak-anak berinteraksi tiap harinya. Dan sekolah, bukanlah tempat pendidikan utama untuk membentuk karakter, rumah tetaplah menjadi sekolah utama dan pertama untuk membentuk karakter anak di masa depan. Dengan ungkapan yang sering diucapkan orang tua. Seperti Mamak Nurmas dan bapak syahdan pada anak-anaknya.
Eliana, kau adalah anak pemberani!
Pukat, kau memang anak yang jenius!
Burlian, kau adalah anak yang spesial!
Amel, kau memang anak yang paling kuat!
Dan julukan itu diikuti oleh orang disekitar mereka, hingga mereka tumbuh seperti apa yang mereka dapat selama ini.

            Apa harta paling berharga sebuah negara? Seperti teka-teki yang diberikan Wak yati pada Pukat, harta paling berharga dari kampung ini, bagi negara ini adalah anak-anak. Sungguh beruntung jika masih ada kampung seperti dalam kisah ini. Tidak seperti sekarang yang racun bagi anak-anak ada di mana-mana. Lingkungan yang tidak terkondisikan penuh, media yang setiap hari menyuguhkan acara-acara yang membahayakan perkembangan anak-anak. Baik media cetak, elektronik maupun media internet. Melalui media itu, harta paling berharga dari negara ini secara perlahan-lahan dihancurkan. Ketika anak-anak hancur, apalagi yang masih negara ini miliki?

Senin, 09 Desember 2013

Perjalanan Hati: Menapaki Jejak Rasa (Sebuah Resensi)



Judul: Perjalanan Hati
Penulis : Riawani Elyta
Penerbit : Rak Buku
Tebal buku : 194+iii
Harga buku : Rp. 43.000,-

Ini cerita tentang aku
Aku yang menapaktilasi masa lalu, mencoba menari rasa yang terserak untuk menetapkan hati
Aku yang berjalan mengitari hatinya, mencoba mencari getaran itu kembali
Ketika semua rasa terasa hampa, apakah kau masih mau berdiri di sana...
Menungguku pulang dan memelukku erat

            Kisah tentang Maira yang secara tiba-tiba meminta ijin Yudha – suaminya – untuk mengikuti agenda backpacker ke anak gunung krakatau yang diaadakan oleh agensi milik adiknya, Ibra. Permintaan yang terkesan mendadak, paska kedatangan Donna - seseorang dari masa lalu Yudha - untuk menemui Maira beberapa waktu sebelumnya. Donna menceritakan tentang kisah mala lalunya dengan Yudha dan “dosa” yang pernah mereka buat. Kepergian Maira terkesan janggal bagi Yudha, terlebih dengan komitmen yang dibuat Maira dua tahun lalu sebelum Maira dan Yudha melangsungkan pernikahan, menimbulkan pertanyaan di benak Yudha terkait alasan kepergian Maira melakukan hobi lamanya.
            Di perjalanan, Maira bertemu dengan Andri, seseorang yang pernah menempati ruang hatinya. Yang juga menjadi salah satu alasan Maira mengikuti agenda perjalanan ini. Pertemuan selama menuju destinasi wisata mau tidak mau kembali menimbulkan kenangan manis kebersamaan mereka. Sejenak melupakan apa yang tengah terjadi dengan rumah tangganya bersama Yudha, sambil menetapkan hatinya kemanakah hatinya akan berlabuh paska perjalanan ini? Menjauh pada kenyataan tentang masa lalu Yudha dan bersama Andri, atau mengubur kenangan manis kebersamaan bersama Andri dan kembali menerima Yudha?
            Permasalahan yang simple, namun dikemas dengan cara yang menarik. Melakukan perjalanan untuk menemukan sebuah jawaban dari permasalahan yang tengah dihadapi. Dengan jumlah halaman yang tidak banyak, penyelesaian dari masalah ini juga tidak bertele-tele. Namun tetap bisa membawa pembaca terlibat dalam pergolakan emosi yang dialami para tokohnya.
            Beberapa quote mewarnai kisah Maira dan Yudha, setiap di awal chapter selalu diawali dengan kalimat kunci. Beberapa quote tersebut;
“terkadang, cara kerja takdir memang unik dan baru dipahami manusia saat peristiwa itu telah berlalu” (hal. 7)
“cara kerja jodoh, terkadang memang unik dan tak terbaca, bukan? Saat berada pada dimensi yang sama, kita justru seperti tidak saling mengenal. Tetapi saat telah terpisah dan mengisi dimensi hidup yang berbeda, barulah kita kembali dipertemukan dan mengalami pertautan hati.” (hal. 26)
“tentang sebuah rasa yang terus tumbuh da terpelihara. Jika tidak pada tempatnya, maka ia tak ubahnya ilalang kering” (hal. 73)
“pernikahan nggak selamanya menjadi gembok besar yang menghalangi kesempatan orang lain untuk memasukinya selama yang empunya juga selalu alpa memasang gembok itu rapat-rapat” (hal. 53)
 Rintangan ada untuk kita hadapi dan taklukkan, bukan untuk dihindari apalagi sampai mencari pelampiasan jika merasa tak sanggup menghadapinya” (Hal. 117)
Namun, ada beberapa hal yang membuat saya terganggu membaca kisah ini. Di halaman 56, terdapat kata “kibor” yang maksudnya ada keyboard laptop atau komputer. Kenapa tidak ditulis sebagaimana harusnya? Jadi terlihat aneh. Dan di halaman 59, katan “napsu” yang seharusnya”nafsu” atau dimiringkan jika memang itu bahasa tidak baku. Dihalaman 59 juga, perubahan tiba-tiba kata sapaan yang digunakan Surya dan Yudha dalam percakapan mereka terkesan janggal. Ada beberapa kalimat yang menurut saya janggal, misalnya:“Maira menangkupkan kedua tangannya ke atas topinya
            Terlepas dari kekurangan-kekurangan itu, saya tetap enjoy menikmati novel ini. Ada info baru yang saya dapatkan. Dan selipan penyakit yang jarang diangkat oleh kisah-kisah pada umumnya, menjadi kejutan di novel ini. Kualitas kertas sesuai dengan harga yang dibuat untuk novel ini, walaupun bagi saya tetap tergolong mahal jika dibandingkan dengan ketebalan novel yang tidak seberapa.
            Demikian review singkat dari saya, selamat membaca dan semoga bermanfaat.