This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 18 Mei 2012

Surat yang terlipat


            Ini hari kedua ku di rumah sejak prosesi pelantikan sebagai ners. Masih terasa kemeriahan prosesi pengukuhan itu, namun hatiku masih merasakan ada kesepian yang menelisik halus dalam hatiku. Perasaan yang seringkali muncul ketika diri ingin merenung, perasaan yang seringkali diikuti dengan titik bening dalam sudut mataku yang akhirnya mengalir ibarat bendungan yang sudah tidak kuat lagi menampung. Ya, perasan rindu itu masih ada, formasi yang aku impikan tidak lagi dapat kutemui. Sudah lewat bahkan sejak tahun kedua aku menginjakkan kan kaki di kota metropolitan ke dua di Indonesia.
            Aku perhatikan setiap sisi kamar yang tidak luas namun cukup menampung barang-barang yang seharusnya ada dalam sebuah kamar. Tempat tidur, lemari baju, dan meja belajar masih dalam posisi yang sama. Hanya bedanya dengan ketika dia masih menjadi “penguasa kamar ini adalah kasur yang dulu langsung menyentuh ubin, kini tidak lagi. Jendela yang dulu menjadi jalan sinar matahari ketika pagi, sekarang tidak lagi.
            “sudah berubah, Dik. Jika kau masih ada, tentu dirimu tidak akan terganggu oleh sinar matahari pagi itu” gumamku.
            Aku perhatikan tempat tidur dengan sprei dengan warna yang sama saat ketika ditinggal sang pemilik tempat tidur. Ungu. Bukan karena kami begitu merasa kehilangan, tapi memang tidak mampu untuk membeli banyak sprei. Aku perhatikan, dan aku seperti melihat tubuh tegap itu sedang tidur dengan dada telanjang dan celana selutut. Ah, mengapa masih saja bayangmu bermain dalam pelupukku? Sudah lewat hampir 4 tahun, namun tetap saja ketika mengingatmu, air mata ini tetap saja jatuh.
            Aku mencoba memeriksa kembali isi lemari meja belajar yang dipakainya menyimpan buku-buku pelajaran sekolah. Aku hanya melihat tumpukan LKS dan beberapa buku tulis tipis yang sudah lecek. Aku tidak akan pernah menemukan buku paket tebal disini. Karena memang dia tidak pernah membelinya, selain memang tidak diwajibkan punya, dia bukan tipe orang yang suka membaca dan menyelesaikan banyak soal-soal sulit dari buku-buku itu. Ah, dia memang tidak sama denganku, dengan masku, seharusnya aku tidak memperlakukan hal yang sama kepadanya. Harusnya aku tidak egois untuk memaksakan bagaiman caraku belajar pada nya.
            Aku ambil salah satu LKS miliknya, aku buka lembar tiap lembarnya, yang aku temukan tulisan cakar ayam yang menghias di tiap bagian untuk menjawab. Dan… beberapa lembar kertas jatuh. Aku memungutnya. Disana tertulis .
            Surat untuk mbak ku tercinta.
Assalamu’alaikum Wr. Wb
            Mbak, apa kabar? Aku terlalu kaku ya? Salamku saja seperti itu. Kayak pelajaran bahasa indonesia di sekolah dulu. Mbak, aku harap saat kau membacanya mbak sudah menjadi perawat, istilahnya apa mbak? Aku lupa terlalu susah untuk otakku yang bebal ini mengingat.
            Mbak, kalo sudah jadi perawat, berapa banyak sudah pasien yang mbak sembuhkan? Oh ya, mbak bilang perawat bukan untuk mengobati. Tapi merawat. Terserahlah. Aku tidak begitu memahami itu.
            Mbak, tahukah dirimu kalau aku seringkali merasa kesepian sejak mbak pindah ke Surabaya? Tidak ada lagi mbak yang merengek-rengek minta antar kesekolah, minta antar untuk pembinaan. Tidak ada lagi mbak yang sering memplototi aku, tidak ada lagi mbak yang membangunkanku ketika pagi hari.  Semua berbeda ketika mbak pergi.
            Mbak, jauh sebelum ini aku sudah merasakan kesepian itu. Aku merasakan sejak mbak sekolah ke kota, sejak mbak sibuk dengan aktifitas di sekolah. Mbak, aku kesepian. Aku merindukan saat-saat kita bermain bersama. Aku merasa kehilangan dirimu mbak.
            Ada yang sesak disini, didada kiriku. Aku mencoba merasakan kesepian yang menyerangnya. Oh, adikku tahukah kau bahwa aku juga merasakan kesepian yang sama? Apa lagi sejak kita semakin berjarak.
            Aku menlanjutkan membaca suratnya.
            Mbak, aku ingat ketika mbak meminta ku untuk berhenti melakukannya. Aku melakukannya mbak. Tapi maafkan aku tidak bisa selamanya melakukan itu. Aku sulit menghentikannya, mbak. Berat. Jika ada mbak disini, mungkin itu akan membantuku. Tapi mbak hanya datang satu bulan sekali, dan kadang tidak mengajakku bicara. Padahal aku rindu. Aku ingin bercerita padamu. Aku sudah berhasil melakukannya, sesuai permintaanmu, walau hanya sehari. Maaf kan aku untuk itu.
            Aliran air jernih ini semakin deras. Aku ingat saat itu. Saat kami masih lengkap, saat aku baru meniti semester pertama di kota perantauan. Saat dimana aku baru menjalankan aktivitas baruku sebagai panitia. Dan amanah pertamaku adalah penanggung jawab acara hari bebas rokok sedunia. Dan karena itulah aku mengiriminya pesan yang isinya:
            “Dik, bisa minta tolong?”
            “minta tolong apa mbak?”
            “besok kan hari anti rokok sedunia, bisa tidak adik tidak merokok besok, sehari saja. Kalo bisa seterusnya”           
            “ya, insyaallah.
            “terimakasih”
            Hanya itu yang mampu aku balas saat itu. Dan saat untukku pulang, aku seperti baru mengenalnya. Sikapku amat canggung. Aku tidak langsung menanyakan kepadanya, tapi aku menanyakan hal ini pada ibuku. Dan ternyata dia memang melakukannya 
*bersambung

Selasa, 15 Mei 2012

Jujur dan Apa Adanya Adalah Pilihan terbaik


            Hari ahad kemarin, 12 mei 2012aku kembali mendapatkan sebuah kesempatan untuk berinteraksi dengan polisi lalu lintas. Tepatnya di bundaran ITS yang menuju kenjeran kesempatan itu aku dapatkan. Tanpa ada perasaan bahwa aku akan dicegat, aku memilih jalan itu. aku pikir, dengan helm yang aku pakai sudah standart, motor yang juga dalam kondisi lengkap (walaupun pinjaman) aku merasa aman, eh tapi ternyata tetap saja diberhentikan.
            Dan dimulailah kisah itu. motor pinjaman yang STNK nya aku lupa untuk meminjam juga. Maka, ketika pak polisi memintanya, aku hanya bilang
            “ini motor pinjaman, Pak. Lupa tadi tidak sekalian pinjam STNK.” Jawabku
            “ SIM mu? Tanya pak polisi 1.
            “ saya tidak punya SIM, pak.”
            “kartu identitas, KTP, KTM?”
            Dengan tangan yang gemetar aku mengambil KTP yang ada di dalam dompet, untung masih di sana. Jika tidak, tidak ada identitas apun yang aku bawa. KTM juga masih dalam proses pergantian NIM. Dengan tangan bergetar aku serahkan KTP itu kepada pak polisi.
            “kesini, mbak. Proses dulu. Kunci motornya di bawa.”
            Ehm, apa yang akan terjadi. Kena tilang bayanganku sudah jelek. Mana kondisi keuangan sedang tidak baik. Aku pasrah saja. Aku ikuti bapak polisi 1 yang menemuiku. Kemudian aku berurusan dengan bapak polisi 2.
            “mana STNK mu?”
            “tidak bawa,pak. Motornya pinjaman, lupa tadi.”
            “motormu di sita ini.”
            “lho? Bentar, pak. Ini saya masih menelpon teman yang punya motor. Mana kuncinya, saya menunggu teman saya dulu.” Kata saya. Jujur, saat itu saya ndredeg. Secara bukan motor milik sendiri, seenaknya saja main sita.
            “lho, kamu itu sudah tidak bawa STNK, aturannya motormu di tahan.” Nada polisi 2 mulai meninggi.
            “ya, pak. Ini masih diminta untuk antar. Nanti kalo sudah ada STNK nya bisa balik kan? Tanya ku
            “kena tilang, tapi. SIM mu mana?” polisi 2 melanjutkan.
            “saya belum punya SIM, pak” dengan gaya bicara yang sedikit dipanjangkan di bagian Pak.
            “sudah tidak bawa STNK, tidak punya SIM. Seratus dua pulih lima ribu.” Polisi dua menyebutkan sejumlah angka.”
            “berapa, pak? Tanya saya keheranan. “untuk apa itu?’ polos saya bertanya.
            “lha, kau itu melanggar. Ya harus di proses.”
            “lho, iya. Ini saya masih nunggu teman.” Aku mulai gerah.
            “sudah, jangan disini kalo mau nunggu teman. Cari tempat lain” usir polisi 2
            Akhirnya aku menyingkir ketempat lain. Berusaha menghubungi yang punya motor. Gagal. Mengubungi teman yang lain, Alhamdulillah bisa setelah beberapa kali. Tersambung, menjelaskan tentang apa yang aku alami, yang di akhiri dengan minta tolong antarkan STNK milik teman tadi. Sambil menunggu pertolongan datang, saya mencoba SMS teman yang sedikit banyak tahu tentang prosedur ini. ternyata tidak sia-sia. Berdasarkan dialog, jika kita mengakui apa kesalahan kita, dendanya tidak akan sebesar yang disebutkan pak polisi 2 tadi.
            “ehm,, baik-baik. Nanti aku coba. Tadi aku langsung mengaku, kok. Dan jika memang seperti itu, aku tidak perlu terlalu khawatir. “
            Teman yang aku mintai tolong dengan cepat membalas SMS dengan mengirimkan pasal yang mengatur pelanggaran lalu lintas ini.
            “dendanya 20rb karena g bwa STNK PASALNYA 57(2) Yo Psl. 14 (2) UULAJ Yo Psl 197 (1) &(3) PP 44/93, sama 25rb krn g bwa SIM 59 (1) Yo Psl 18 (1) UULAJ.. ketentuan tilangnya UU 22/2009”
            Begitu SMS yang beberapa menit kemudian aku terima. Ehm, kalau segitu aku boleh lega. Tidak terlalu besar, walaupun berat. Karena teman yang akan menolong tidak kunjung datang, aku memutuskan untuk membuka dialog dengan pak polisi. Aku memilih dengan pak polisi 1, selain dekat wajahnya lebih ramah dibanding yang lain.
            “pak polisi” panggilku, ketika dia sedang sibuk dengan “mangsa” yang baru.
            “ya” pak polisi 1 akhirnya menoleh.
            “pak, kalau buat SIM tidak bisa beda kota ya?” aku memulai. “saya kan dari pamekasan, bisa tidak buat SIM di Surabaya?”
            “tidak bisa, mbak” jawabnya.
            “kenapa pak? Kalau tidak bisa, saya tidak punya-punya SIM jika aturannya seperti itu”
            “KTP sampean pamekasan, kan? Ya harus di pamekasan.
            “buka nya hanya di hari aktif saja?”
            “sabtu buka, tapi hanya setengah hari”
            “yah, susah pak bagi orang perantau seperti saya. Saya kan masih sekolah, tidak berniat tinggal lama di Surabaya, jadi tidak akan punya KTP Surabaya.”
            “ya memang begitu, mbak”
            “wah, saya bisa-bisa tidak punya SIM ini pak”
            “buat SIM kan tidak lama, mbak?”
            Apa? tidak salah ini polisi1 ?
            “hah? Apanya yang tidak lama, ada tes tulis dan praktiknya. Tidak cukup sehari kan? Belum lagi antrinya”
            “oh iya.” Sepertinya dia salah omong.
            “tuh kan,,, susah pak. Saya tidak bisa pulang kecuali hari sabtu dan minggu. Diubah lah pak sistemnya.”
            “heh, ya seharusnya begitu” sambil tersenyum kecut.
            “ya pak, biar mudah untuk semua.”
            Pak polisi 1 sempurna membelakangiku di akhir kalimat ku. Dan bersamaan dengan itu, temanku datang. Maka mulailah proses itu.
            “pak ini STNK nya. mana kuncinya.”
            “sebentar lah. Di proses dulu.”
            “ya, segera pak. Kan sudah sesuai aturan.”
            “apanya yang sesuai aturan? Melanggar gini.
            “sesuai aturan tilang maksudnya”
            “delapan lima” tiba-tiba kalimat ini yang keluar.
            ‘hah, apaan? Tidak sampai segitu kalo kena denda.”
            ‘ya berapa?”
            “dua puluh ribu tidak bawa STNK, dua puluh lima ribu tidak punya SIM. “ cerocos ku.
            “jadi semua?”
            “empat puluh lima ribu”
            “ya sudah, mana bayar.”
            “tidak mau, saya bayar di bank saja”
            “oh, kamu mau bayar di sana?’
            “ya, mana surat tilangnya, dan kuncinya.”
            “selesaikan dulu urusanmu, baru minta kunci. Sana ke bapak yang ini. “ sambil menunjuk pak polisi 3.
            “pak, ini STNK saya, mana surat tilangnya.” Kalimat ini bukan untuk menantang, tapi agar prosesnya segera selesai.
            “mana kunci motormu? Kunci motornya dulu, baru tak proses.
            “lho? Ya apa, sich? Tadi bilang proses dulu, lha yang ini minta kunci. Ribet amat. “
            “kalo sudah selesai tapi kuncimu tidak ada?”
            “Ada pak, itu di pak polisi yang ini? aku menunjuk polisi 2.
            “ambil dulu”
            “aduh, bapak ini. suka sekali buat ribet.” Aku berpindah untuk ambil kunci. Dan perdebatan itu tidak terhindarkan.
            “pak, mana kunci saya.” Pintaku agak ketus ke polisi 2.
            *“apa sich, mbak ini. kok terburu-buru. Selesai kan dulu prosesnya nanti kuncinya saya kasi.”
            “tapi kata bapak yang satunya kunci harus ada, mana buat saya tunjukkan ke dia. “ aku kemudian mengacungkan kunci ke pak polisi 3. “ayolah pak, jangan dibuat repot. Saya terburu-buru ini.”
            ‘terburu-buru mau kemana memangnya?”
            “Ada acara’
            “acara apa?”
            “organisasi”
            “organisasi apa?
            “bapak tidak perlu tahu organisasi apa, mana kuncinya biar segera di proses.” Mulai tanda * sampai kalimat ini, perbincangan berjalan secara ketus. Tidak ada ceritanya aku bermanis-manis dengan mereka. Aku paling tidak betah.      
            Akhirnya kunci aku dapat dari pak polisi 2 dan STNK di sodorkan oleh pak Polisi 3. Aku menerima keduanya. Karena masih ada yang kurang, aku bertanya.
            “mana suratnya?’
            “katanya terburu-buru, ya sudah sana”
            Dengan wajah penuh tanda tanya, aku tinggalkan dua polisi yang sudah membuat tekanan darahku meningkat. Tidak perduli. Aku hidupkan motor, dan mengucapkan terimakasih pada bapak polisi 1. Saat lewat dekat pak polisi 2 dan 3, aku menyampaikan pesan,
            “pak, system buat SIM nya di ubah agar saya bisa segera punya SIM”
            Ini kali kedua ku, dengan akhir yang sama. Tidak jadi di tilang. Polisi membiarkan kami (saat pertama) begitu saja setelah dialog yang membuatku memanas. Dan begitupun hari ini. yang awalnya tremor, namun ditengah sudah mulai biasa, walaupun menyimpan ketidaksukaan yang luar biasa. Pelajaran yang aku dapat, akui saja apa yang menjadi salah kita. Jika nantinya di tilang, ya sudah. Karena kita salah. Tidak usahlah menuruti cara mereka yang salah. Saat itu, disekitarku orang-orang yang juga melanggar ramai-ramai memberikan uang pada pak polisi.
            “karena kamu pelajar, 30 ribu sja” ini salah satu kalimat yang aku dengar saat bersitegang dengan bapak polisi 3.
            Ah, rugi sekali. Dan pelajaran terpenting lain adalah… jangan lupakan sedekah. Apa yang memang bukan milik kita, dengan cara apapun pasti akan meninggalkan kita. Kitalah penentu itu. apakah menyakitkan,atau menyenangkan penuh pahala. Ehm, materi yang beberapa jam sebelumya di singgung dalam lingkaran rutinan ku. Sepertinya kejadian ini sebagai pengingatku yang lama tidak mengeluarkan sedekah. Terimakasih ya Allah, Kau masih menyayangiku. Jujur dan apa adanya memang pilihan terbaik.

Jumat, 11 Mei 2012

Ketika Aku Merawat Luka-Luka Mereka

Tulisan ini kelanjutan tulisan-tulisan sebelumnya. Tulisan tentang pengalamanku selama di rumah sakit kusta sumberglagah. Kali ini, aku ingin bercerita tentang pengalamanku merawat luka-luka penderita kusta. Luka yang tidak lagi terasa sakit, namun jika dibiarkan akan membahayakan diri mereka.
Penderita dengan kusta yang sudah mengalami kecacatan derajat satu bahkan derajat dua, sudah tidak mengalami rasa sakit. Terkena apapun, mereka tidak akan merasakan apa-apa. Hal ini disebabkan karena microbacterium leparae hidup di saraf tepi dan berkembang biak di sana. Akibatnya adalah saraf mengalami penebalan bahkan peradangan, sehingga merusak fungsi sensorik, motorik, dan otonom nya. Fungsi sensorik ini lah yang menjadi penyebab hilangnya rasa pada ekstremitas yang sarafnya sudah terkena. Sedangkan fungsi motorik akan membuat kelemahan pada ekstremitas. Jika fungsi otonom yang terkena, maka kulit akan mengalami pengelupasan, dan perlahan-lahan terjadi absorbsi jari-jari. Maka wajar ketika penderita kusta datang dengan luka di kaki, tangan atau bagian lain yang rawan terkena benda berbahaya di sekitarnya.
          Dan hari rabu kemarin aku berkesampatan untuk bertugas di unit rawat jalan. Di sana aku memiliki tugas untuk melayani penderita yang datang untuk medapatkan perawatan terhadap luka yang mereka derita. Cerita-cerita lucu aku dapatkan selama melakukan perawatan sehingga pekerjaan melayani penderita yang lebih dari lima orang tidak terasa. Penyebab luka mereka biasanya karena mereka ceroboh dalam melakukan perlindungan diri, karena hal ini lah yang ditekankan pada penderita kusta yang sudah sembuh namun menderita kecacatan tingkat dua. Mereka tidak akan datang karena reaksi, namun datang ke RSK karena luka yang dideritanya. Bisa karena tertusuk paku, terkena knalpot, atau kecelakaan di tempat kerja. Namun, ada kisah lucu dari seorang nenek yang aku rawat saat itu.
          “lukanya karena apa, mbah? Kok posisinya disitu?
          “kecucuk pitik, nak. Ping kaleh.” Kata si mbah. Sontak seisi ruangan tertawa. Aku pun ikut tertawa, jarang ada kasus seperti ini. Jika karena terkena paku biasanya kami akan mengingatkan untuk lebih hati-hati. tapi untuk yang ini?
          “wah, pitik e nakal ya, mbak...” canda temanku.
“emboh iki. Iki wis suwi mas. Susah sembuhnya.” Lapor si mbah.
          Luka pada penderita kusta memang tidak sama dengan luka pada orang normal. Luka pada penderita kusta susah sembuhnya. Bahkan saking lamanya, bisa bermutasi menjadi kanker. Jadi jangan heran ketika ditanya kapan mereka mendapatkan luka tersebut. Rata-rata akan menjawab, “sudah lama, lupa kapan tepatnya. Bahkan ada penderita yang rawat inap yang menderita luka di kakinya (ulkus pedis) yang sudah 15 tahun. Dan karena sudah menjadi kanker, maka direncanakan untuk menjalankan amputasi.   
          Aku menikmati proses merawat luka-luka itu. Sebesar apapun lukanya, ini yang membedakand engan ulkus pada penderita DM. Luka pada penderita kusta tidak berbau. Dan sensasi ketika menggunting jaringan kulit yang sudah menebal itu yang paling aku suka. Saat proses itulah seorang bapak yang sedang menunggu giliran untuk dirawat bertanya.
          “sampean tidak jijik ta, mbak?”
          “tidak, pak. Sudah terbiasa. Luka-luka seperti ini kan tidak bau, jadi biasa saja. Saya sudah pernah merawat luka orang dengan kencing manis. Lebih besar dan bau dari ini.”
          “soalnya kalo di puskesmas tidak mau merawat luka seperti ini.” Jelas si bapak.
          “ya, mbak ini termasuk kendel, cara megang guntingnya beda. Tidak ragu-ragu.”
          “hehe, saya tidak begitu khawatir dengan apa yang akan saya gunting, pak. Bapak kan tidak merasakan sakit, jadi saya lebih berani.” Jawab ku.
          Jika apa yang dikatakan bapak itu benar, sungguh kasihan orang-orang yang tinggal nya jauh dari rumah sakit ini. Dan ketika aku kroscek ke perawat rumah sakit, ternyata memang benar. Ada pasien lama yang dipulangkan setelah luka nya mengecil, dengan harapan di sana ada yang melanjutkan perawatan, eh ternyata dia kembali lagi karena lukanya kembali membesar karena tidak mendapatkan perawatan.
          Padahal beban ini harus dibagi. Tugas menangani penderita kusta tidak hanya di rumah sakit ini. Kasihan penderita kusta yang jauh dari sini. Mereka tidak mendatkan perawatan yang semestinya. Apa susahnya? Semua biaya terkait perawatan penderita ditanggung. Maka tak heran ketika ada yang bilang, “enak kalo di sini, bahan banyak dan alatnya lengkap”. Ya, aku akui. Penderita bebas meminta apa yang mereka perlukan. Minta kasa, plester, mereka akan diberi sesuai permintaannya.
          Aku bersyukur dengan kesempatan ini. Mendengar banyak dari mereka. Harapan, pinta, dan do’a yang mereka tujukan untuk kami sebagai bentuk terimakasihnya. Ini yang aku suka. Selama melayani, aku seringkali mendapatkan do’a dari pasien. Semoga sukses, sering aku dengar. Dan aku sangat berterimakasih untuk itu.

Kamis, 10 Mei 2012

Dialog antara aku dan dia


          Ternyata butuh satu hari dan penjelasan lebih detail untuk aku bisa menemui dan mengajaknya bicara. Melakukan pendekatan untuk kemudian mengajaknya mengobrol demi data yang aku butuhkan untuk mengisi form pengkajian. Seharusnya ini tidak terjadi. Ini bukan pengalaman pertamaku melakukan anamnesa, namun entah mengapa ada keraguan ketika pasien yang aku hadapai adalah pasien lama dengan kejadian berulang, khawatir tidak ada masalah keperawatan yang akan aku dapatkan. Beberapa alasan yang melatarbelakangi, karena sudah sering ditanyai, kedua karena pasien yang sudah masuk rumah sakit untuk kesekian kalinya, mereka sudah pintar tentang penyakitnya. Dan aku akan minder.
          Namun, hari kedua ini aku memberanikan diri untuk menemuinya. Dua kali tidak mendapatkan di tempat tidur, aku bertanya pada teman sekamar, eh ternyata dia ada di tempat tidur yang lain karena suatu urusan. Aku memulai dialog itu.
          “pak, saya Asih mahasiswa praktik yang mulai senin kemarin sampai jum’at praktik di sini. Dan setiap mahasiswa mendapat satu pasien kelolaan, nah pasien saya kelola bapak. Jadi, saya akan menanyakan tentang kondisi bapak, boleh ya?” gaya to the point ku masih aku berlakukan dalam hal ini.
          “ ya, mbak. Silahkan. “ jawabnya.
          Mulailah dialog itu, pertanyaan standard. Mulai asal dari mana, kapan sakit, masuk rumah sakit kapan, hingga  apa yang menyebabkan bapak mengalami reaksi ini sampai kali ketiga. Ya, dia masuk rumah sakit sudah kali ketiga. Pada reaksi ketiga. Nah, disinilah yang penting aku ketahui. Mengapa dia sampai mengalami reaksi untuk ketiga kalinya.
          “bapak sudah menikah?” pertanyaan standard lain aku ajukan.
          “sudah, tapi cerai.”
          “dan itu yang membuat bapak stress lalu mengalami reaksi hingga tiga kali?” 
          “ ya tidak, sudah tidak memikirkan itu lagi. Itu yang menjadi penyebab reaksi pertama, tapi tidak yang kedua dan ketiga.”
          “lalu?”
          Dan berceritalah dia dengan masalah yang tengah di alaminya. Aku tidak mampu bercerita di sini. Tapi, ada pelajaran dari pasien ini. bahwa, walaupun dia memiliki penyakit yang banyak orang jijik dengan dirinya, dia masih memiliki harga diri dan tidak ingin melakukan apa yang Allah telah larang. Ya, dia masih memiliki keimanan itu. aku tidak tahu harus bilang apa. aku hanya tanya apakah dia sudah bercerita dengan orang rumah sakit untuk masalah ini? karena jika tidak, reaksi akan terus berulang. Aku hanya bilang untuk tidak memikirkan itu, ya aku tahu hal itu tidak mudah, apalagi bagi orang yang memang tipe pemikir. Tapi demi kesehatannya, dia harus bisa melakukan itu.
          “susah, mbak. Saya kepikiran terus.”
          “bapak harus bisa.”
          Dia hanya tersenyum. Aku tidak ingin melanjutkannya lagi. Dia kemudia bertanya.
          “mbaknya tidak takut tertular?”
          Aku tersenyum, lalu menjawab “awalnya sebelum ke sini memang pikiran saya jelek. Pasti di sana menakutkan. Eh, ternyata waktu hari pertama, biasa saja. Apalagi setelah dapat penjelasan tentang bagaimana penularannya. Saya kan dalam kondisi sehat, jadi kemungkinan tertular kecil, lagian bapak kan sudah mendapatkan pengobatan, dan orang yang sudah berobat selama dua minggu sudah tidak dapat menulari lagi.”
          “maaf, pak. Saya bisa cek lengan bapak?” aku minta ijin untuk mengecek dan sekaligus menggunakan sarung tangan.
          “ya silahkan.
          “masih terasa, pak?”
          “tidak,”
          “sudah tidak berasa semua”
          Ya, aku hanya merasakan kulit yang menebal dan keras.
          “kita ini orang-orang “sakti”, mbak. Orang yang sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi.” Orang sebelah nyeletuk. Dan pasien depanku hanya tersenyum. Aku pun ikut tersenyum.
“makanya harus hati-hati biar tidak luka” aku mengingatkan.
          “nanti kalau sudah kembali, jangan lupa kasi penjelasan ke orang-orang, mbak ya.” Pasien di sebelah ku menyela.
          “ya pak, InsyaAllah”
          Sampai saat ini memang informasi itu tidak berimbang. Masih banyak berita yang miring tentang penderita kusta. Begitupun yang aku dapat sebelum ini. dan itulah tugasku untuk meluruskan informasi ini. apalagi pamekasan masih menjadi kota dengan kejadian kusta yang tinggi.
          Aku sudahi dialog kali ini. aku beruntung karena pasien ini kooperatif. Yang menjadi penyebab dia mengalami reaksipun aku ketahui. aku sangat bersyukur.


Senin, 07 Mei 2012

Senyum, keramahan, dan kebahagiaan mereka


            Pekan ini aku menjalankan praktik profesi di Pacet, mojokerto. Tepatnya di rumah sakit kusta sumber glagah. Ehm, apa yang terlintas dipikiran kalian ketika mendengar kata kusta? Mengerikan, menjijikkan, dan harus di jauhi?. Pasti itu yang ada. Karena itu penyakit menular, berbahaya, kutukan, atau karena guna, hal itu yang masih ada sampai saat ini. Penyakit menular, memang iya. Berbahaya hanya ketika kusta tidak diobati. 
Lesi pada Pasien dengan kusta
Salah besar ketika kusta dikatakan penyakit kutukan atau karena guna-guna. Penyakit kusta murni karena bakteri yang bernama mycobacterium leprae, yang dapat sembuh dengan pengobatan dalam jangka waktu tertentu. Pernyataan atau pendangan semacam itu wajar-wajar saja bagi orang yang tidak pernah mengetahui secara langsung bagaimana penderita kusta dengan penyakitnya. Dan hal itu juga aku alami sebelum menginjakkan kaki di RSK ini. Wah, di sana pasti mengerikan, menjijikkan, alat perlindungan diri harus maksimal. Tapi, ketika mobil yang membawa kami memasuki halaman rumah sakit....., kesan asri dan sejuk yang tertangkap.  Memasuki tiap ruangan dalam orientasi yang dilakukan, kesan awal itu tidak ada sama sekali. Pasien-pasien dengan keadaan seperti penyakit pada umumnya. Senyum mereka menyambut kami, mayoritas dari mereka terbuka akan kedatangan orang baru.
salah satu sudut lingkungan RSK
            Keramahan itu aku dapatkan saat aku dan salah seorang teman berkeliling paska orientasi resmi bersama pembimbing klinik. Menyapa satu-persatu pasien di tiap ruangan. Kedekatan yang ingin kami bangun dengan mereka. Dan mereka menyambut kami. “masih baru, ya nak?” begitu tanya mereka. Dan mengalirlah obrolan kami. Menanyakan sejak kapan mereka di sini, sejak kapan ketahuan sakit kusta, hingga mereka membuka sendiri dari mana sebelumnya mereka berasal sebelum akhirnya di rawat di rumah sakit ini. Selesai dengan ruangan yang berisi ibu-ibu, kami berpindah ke ruangan khusus bapak. Di sana kami bertemu dengan pasien yang sudah 25 tahun tinggal di sini. Kakek itu bercerita sudah tinggal di RSk sejak tahun 1987 (bahkan aku belum lahir), saat itu masih minim informasi tentang kusta, hingga kakek itu sembuh, tetap tinggal dan membantu di RSK, walaupun sudah disediakan tempat tinggal dan sawah untuk digarap. Dari sana juga muncul celetukan, “gimana mbk?. Kalo orang yang belum tahu pasti jijik, eh ternyata rumah sakitnya resik kayak ngene”. Kami hanya tersenyum, ya apa yang bapak sampaikan tidak salah, bahkan hal itu ada dalam pikiranku. Kakek menanyakan dari mana asal daerah kami, ketika saya sebut “pamekasan”. Beliau langsung menyambut dengan pernyataan yang –aslinya tidak ingin aku dengar- di pamekasan banyak kasusnya, mbak”. Aku tersenyum kecut, “ya, pak” jawabku. Disana kejadian penyakit kustanya masih tinggi”. Lanjutku. “ya, nanti kalo sudah selesai sekolahnya,, jangan lupa balik. Sampai sekarang pandangan orang tentang penyakit kusta masih negative, masih mengucilkan karena takut tertular. Padahal tidak seperti itu kalau tahu ilmunya.
sudut ruangan RSK
            “Penjelajahan” kami akhiri saat melihat perawat ruangan yang sedang melakukan perawatan luka. Kami mengikuti mereka. Melayani satu persatu pasien yang mengalami luka akibat tusukan benda tajam yang tidak mereka rasakan karena kematian saraf perifer. Kecil besar luka tergantung keparahannya. Ada juga luka paska amputasi. Saat mengikuti perawatan luka itulah aku merasakan kebahagiaan mereka. Satu dengan yang lain saling bercanda. Mengejek luka temannya. Jika masih jelek, mereka akan membanggakan luka miliknya yang sudah mulai bagus. Mereka saling memotivasi untuk melakukan perawatan tanpa bosan. Ya, mereka saling mendukung satu sama lain.
Kusta dengan luka pada kaki
Leaflet tentang kusta
            Jika tidak merasakan pengalaman langsung, aku akan tetap dengan pikiran jelekku. Tapi semua itu hilang ketika menemui mereka secara langsung. Senyum hangat saat menyambut kami, keramahan mereka, dan kebahagiaan yang mereka rasakan bersama teman-teman yang memiliki nasib yang sama. Dan tugasku sekarang adalah menginformasikan ke orang luas, bahwa kusta tidak semengerikan yang mereka pikirkan.