This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 07 September 2014

Produk UU bernama BPJS

Akhir bulan agustus dan awal bulan september ini aku memiliki kesempatan untuk berinteraksi dg produk UU satu ini. Ya...fasilitas kesehatan untuk seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Karena berupa UU, maka tiap warga negera wajib terdaftar sebagai anggotanya.
Dan aku salah satu orang yang diberikesempatan mamanfaatkan fasilitas itu. Hikmah di balik sebuah musibah,bisa dikatakan seperti itu. Jika tidak ada takdir bahwa aku harus menjalani prosedur medis, tulisan ini hanya akan sekedar teori, pengamatan tanpa pengalaman secara langsung.
Dengan menuliskan ini, aku harap bisa memberikan kabar baik untuk orang di luar sana yg masih belum tahu, memberikan apresiasi terhadap pelayanan yang aku terima, dan tanggapan terhadap produk pemerintah yang satu ini.
Baik, kita mulai dari BPJS. Apa itu? BPJS (Badan penyelenggara Jaminan sosial) adalah sistem yang dibuat pemerintah untuk menggantikan sistem perlindungan kesehatan masyarakat yang sudah ada sebelum2 nya. Seperti jamkesmas, jamkesda, atau ASKES bagi pegawai negeri. Dengan adanya kebijakan ini, maka dua perusahaan asuransi sebelumnya yaitu ASKES dan JAMSOSTEK mentransformasikan diri menjadi BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan.
Bagiku, dg adanya BPJS
sekarang akan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk perlindungan kesehatan masyarakat. Jika dulu hanya orang yang tdk mampu secara ekonomi yang terfasilitasi dan para PNS, dg sistem yang sekarang, semua bisa terlayani. Alhamdulillah...
Tanggapannya... Aku cukup puas dg sistem yang sekarang ada. Memang, harus ada antrian,dsb. Tapi bagiku wajar mengingat yang membutuhkan pelayanan RS tidaklah sedikit. Tapi, tempat untuk mengantri nyaman kok, sehingga ga akan terasa.
Bagaimana dengan tindakan medis yang akan kita terima, lab,radiologi,bukankah juga mengantri? Ya...memang juga mengantri. Pahamilah, karena negara masih terus melakukan pembenahan terhadap fasilitas kesehatannya. Kita sabar saja. Tapi, bagiku yang mendapatkan pelayanan di RSUD slamet martodidjo, cukup puas dg pelayanan yang ada. Ya..memang ini yang RSUD mampu. Pelayanan di ruangan juga sudah baik, walaupun di zal, tapi tiap tidur sudah disekat dengan tirai dan yang paling menyenangkan adalah pelayanan perawatnya yang ramah. Bagi pasien yang belum memiliki BPJS disarankan untuk segera mendaftar, agar biaya yang ditanggung tidak serta merta membludak, tapi masih bisa dicicil.
Semoga RSUD ku ini semakin baik kedepannya. Terkenal dg pelayanannya yang optimal.
Dan...aku pikir tidak perlulah ada yang namanya kartu indonesia sehat atau apapun. Benahi apa yang sudah ada. Sistem BPJS sudah cukup bagus. Tinggal fasilitas, tunjangan tenaga kesehatan dan jumlah tenaga kesehatan terus ditingkatkan untuk kebaikan bersama. Kebaikan bagi masyarakat yang dilayani, juga tenaga kesehatan yang melayani. Hingga pelayan kesehatan, dokter,perawat, ataupun bidan tidak lagi dikenal sebagai orang-orang yang tidak ramah dalam pelayanan.
Mari berasama-sama melakukan perbaikan untuk negara kita tercinta.

*ditulis saat tengah mengantri di BPJS Center RSUD H. Slamet Martodirdjo. Ruangan yang adem.

Selasa, 26 Agustus 2014

Hal Kecil tapi Penting yang Sering diabaikan. Kenapakah?

Aku bersyukur, selalu bersyukur bahwa aku pernah merasakan pendidikan di salah satu universitas unggulan di jawatimur. Bahkan hingga tuntas. Banyak hal yang aku dapatkan, termasuk dapat merasakan praktik di Rumah Sakit yang menjadi rujukan seluruh rumah sakit di Indonesia bagian timur. Bagaimana tidak bangga?
Karena pengalaman yang aku dapat dari rumah sakit tersebut sungguh amat berharga bagi perjalananku selanjutnya. Namun di sisi lain aku memiliki standard tinggi terhadap pelayanan di rumah sakit lain. Ya... RS tempat aku menjalankan praktik profesi setahun ini benar-benar berusaha untuk melaksanakan pelayanan yang sesuai teori ilmu yang kami dapat di kuliah, tidak kaget karena rumah sakit ini memang diperuntukkan sebagai rumah sakit pendidikan. Jangankan hal besar, hal kecil namun memiliki dampak yang cukup penting tidak luput dari perhatian manajemen rumah sakit.
Dan jadilah aku membanding-bandingkan rumah sakit yang dikemudian hari aku datangi. Apakah hal kecil namun penting itu?
Yup, sarana cuci tangan. Ada dua cara melakukan cuci tangan. Pertama dengan air mengalir dan sabun cair, dan yang kedua adalah dengan menggunakan alkohol gliserin. Yang kedua biasa dipakai jika tangan dalam kondisi tidak terkena noda. Dan disinalah yang menjadi perhatianku.
Beberapa rumah sakit -bisa dikatakan semua- yang pernah aku kunjungi tidak menyediakan sarana mencuci tangan yang memadai terlebih penyediaan alkohol gliserin di tiap bed pasien atau minimal di nurse station. Padahal, mencuci tangan adalah hal pertama yang harus dilakukan untuk mencegah penularan infeksi atau infeksi nasokomial yang terjadi di rumah sakit. Yang lucu lagi adalah himbauan mencuci tangan terpampang tapi sarana tidak disediakan. Kenapakah?
Apakah karena masalah anggaran? Ok... Jika hal ini terjadi di RS swasta yang menganut prinsip ekonomi 'modal seminimal mungkin,hasil maksimal' aku bisa memahami,tapi ini terjadi di rumah sakit yang pembiayaannya berasal dari pemerintah, apakah tidak ada anggaran pencegahan infeksi nasokomial ini? Terlebih aku menemui ini di rumah sakit khusus penyakit infeksi. Aku masih belum paham. Apakah karena belum menjadi rumah sakit pendidikan? Entahlah.... Aku hanya berharap kedepannya lebih baik. Jika suatu saat aku bergabung di dalamnya, aku bisa melakukan perubahan ke arah yabg lebih baik. Semoga.

Kamis, 24 Juli 2014

Hadiah

Sebuah hadist dari Anas menyatakan bahwa:"Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena hadiah itu mewariskan rasa cinta dan menghilangkan kekotoran hati." (Thabrani)

Hingga usiaku yang menyentuh seperempat abad ini...aku bisa mengingat beberapa hadiah yang pernah aku dapatkan dari teman-temanku. Baik yang kecil dan sifatnya biasa-biasa saja seperti gantungan kunci yang dibeli ketika berkunjung kesuatu daerah, hingga yang sifatnya sangat berkesan dan memang aku sukai.
Hadiah yang paling aku sukai adalah buku, buku pertama yang aku dapat adalab buku kumpulan cerpen karya sinta yudisia dan fahri azisa. Yang menbuat hadiah ini spesial adalah karena diberikan langsung oleh bu sinta, dan moment ini masih sangat aku ingat dan terus aku ingat. Karena sejak mendapatkan buku itu... aku jadi bersemangat untuj mengoleksi buju yang lain, dab alhandulillah... buku-buku setelahnya berdatangan. Bahkan awal-awal buku koleksiku mayoritas adalah pemberian, ini termasuk dua buku yang diberikan dua sahabatku (Imroatul qoni'ah dan nuur raafi) saat miladku yang ke 21... dan di usia itu, untuk pertama kalinya aku mendapatkan hadiah ulang tahun... dan hadist yang mengatakan bahwa memberi hadiah akan mewariskan rasa cinta, itu aku rasakan dalam bentuk persahabatan kami yang masih jalan hingga hari ini.
Hadiah buku memang sangat bermakna, terlebih jika itu diberikan langsung oleh penulisnya. Selain dari bunda sinta, aku juga pernah dapat buku dari mbak Eni  (shabrina WS). Beliau memberiku buku karyanya sebagai ucapan terimakasih karena aku sudah mereview Novelnya yang lain. Sungguh pengalaman yang berharga. Penulis lain yang pernah memberikan bukunya adalah setiyono...kami bertemu dalam sebuah pelatihan, dan ketika dipertemukan lagi dalam sebuah forum, dia membagikan bukunya secara gratis untuk teman-temannya saat pelatihan dulu...salah satunya aku. Selain dari penulis, buku memiliki makna ketika kita memang menginginkannya. Hal ini aku dapat dari adik angkatanku, Gading, dia memberikan buku yg temanya pergerakan yang saat itu memang pengen aku beli. Awalnya nitip, tapi diakhir ternyata diberikan secara gratis. Dan yang terbaru adalah hadiah dari Dian yang memberikanku novel karya penulis favoritku yaitu TASARO GK. Sungguh suatu hal yang sangat menyenangkan. Terimakasih sudah memberi hadiah buku... Mencomot kata-kata dari Tere Liye... Hadiah buku selalu spesial :)
Hadiah lain yang aku dapat adalah pembatas buku, uniknya adalah pembatas buku ini adalah pembatas buku magnetic, jadi resiko jatuh dan hilang lebih kecil dibandingkan pembatas buku biasa. Suka dapat hadiah ini... Karena seringkali buku yang aku beli atau baca tidak ada pembatas bukunya, jadi hadiah ini sangat bermanfaat.
Lalu, bagaimana dengab diriku,apakah aku juga suka memberikan hadiah?
Pada moment tertentu dab pada teman yang dekat, aku juga memberikan hadiah...dab hadiah yang aku pilih adalah juga buku, pun ketika ada teman yang menikah, pasti aku hadiahkan buku untuknya.
Semoga dimasa mendatang lebih sering memberi hadiah dengan lebih banyak orang. Aamii ....

Sabtu, 01 Maret 2014

Bukan (Hanya) Masalah Materi

Menjadi tenaga medis bagiku awalnya seperti terperangkap. Pilihan di akhir masa pendaftaran PMDK ketika SMA sudah memasuki masa akhir. Walaupun aku masih memiliki pilihan untuk melanjutkan ke jurusan yang akan mengantarkanku lebih dekat pada mimpi masa kecilku menjadi ahli tanaman, aku tidak mengambil kesempatan itu. Masalahnya klise, tidak mendapatkan ijin dari Ramah.
Menjalani kuliah selama lima tahun, pilihan untuk tidak berkecimpung dalam dunia medis masih ada jika aku berani mengambilnya. Mengajar di sekolahswasta sebagai guru umum, bekerja diperbankan seperti yang banyak dipilih teman seprofesi, atau menjadi bagian administrasi di sebuah yayasan. Namun, aku tidak memilih itu. Aku pernah mencobanya dan aku mengalami kebosanan. Stagnan dan kurang penuh dengan tantangan. Lagi pula, waktu lima tahun yang aku lalui sebagai mahasiswa keperawatan telah memberiku banyak hal untuk mengenal dan memahami dunia medis yang awalnya aku benci ini.
Dokter, salah satu tenaga kesehatan yang aku benci (awalnya). Entah apa yang membuatku tidak menyukai dokter, mungkin karena mereka yang irit memberikan penjelasan ketika kami menggunakan jasanya. Periksa, menulis resep, lalu sudah. Apalagi, pernah Ramah menjadi semakin parah setelah memeriksakan diri dan mendapatkan obat yang diresepkan. Aku tahu, hal ini tidak bisa digeneralisir. Maka, ketika aku mendapatkan kesempatan kuliah di fakultas kedokteran Prodi Keperawatan (yang kemudian menjadi fakultas keperawatan) perlahan penilaian itu berubah. Pengalaman Belajar Praktika (PBP) di ruang resusitasi Instalasi rawat darurat (IRD) RS. Dr. Soetomo telah merubah kesan itu. Di ruangan itu, aku melihat langsung bagaimana dokter dan juga para perawat bahu membahu, berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa pasien. Obat, RJP (resusitasi jantung paru), dan tindakan lain dilakukan dengan cepat. Mereka berpacu dengan waktu dalam hitungan menit bahkan detik. Aku terpesona dengan tindakan yang mereka lakukan. Pengambilan keputusan dengan cepat terhadap suatu tindakan penyelamatan nyawa yang resikonya tinggi. Dan pemandangan itu sukses membuatku takjub, terpesona, dan menghapus kebencianku pada profesi dokter. Beda lagi dengan pemandangan di ruang ICU, keramahan PPDS anastesi manambah kesan baik itu. Walaupun yang mereka hadapi adalah pasien tidak sadar, di ruangan yang tanpa kehadiran keluarga pasien, tapi cara memperlakukan mereka ramah. Dan kerasionalan dalam penggunaan obat, memberikanku banyak pelajaran tentang hal itu. Aku tahu, memang tidak semua dokter bersikap ramah, namun itu tidak lantas disamaratakan, masih banyak yang bersikap baik dan mau memberikan penjelasan.
Perawat, profesi yang identik dengan marah-marah. Sebelum aku terjun dalam dunia ini, aku tidak paham mengapa mereka kebanyakan bersikap begitu, namun setelah aku menjadi bagian dari mereka, aku paham dan memaklumi. Walaupun aku berharap mereka bisa menahan diri untuk tidak begitu, kita harus tahu bahwa tiap orang tidaklah sama. Perawat banyak yang suka marah, hal tersebut dikarenakan tekanan pekerjaan yang tinggi sedangkan kompensasi dari beban itu tidak memadai.
Dan ketika aku kini menjadi bagian dari dunia yang aku benci dengan sesungguhnya, aku semakin tahu dunia yang sekarang aku geluti tidak seindah yang selalu mereka katakan. “menjadi dokter enak, banyak uangnya”, “kalau mau kaya jadilah dokter”, “menjadi perawat di desa itu kaya, ya”, dan perkataan lain yang identik dengan materi. Tapi bagiku, enaknya menjadi tenaga kesehatan bukan pada materi. Serius. Jika kalian ingin kaya, ambillah kuliah tehnik, lalu bekerjalah  di perusahan tambang, listrik, atau industri. Gaji di tempat-tempat itu jauh lebih besar dari pendapatan para tenaga medis. Apalagi jika dibandingkan dengan waktu yang habis untuk itu. Jika ada dokter kaya, aku yakin banyak waktu juga yang telah meraka luangkan untuk itu. Beda dengan para teknisi yang memiliki waktu tetap. Tenaga medis harus bersedia hari libur, yang bisa untuk keluarga diambil demi pelayanan di RS. Terlebih bagi mereka yang bergelut di dunia kritis. Dituntut mengambil keputusan dengan cepat, resiko pekerjaan yang tinggi, dan terkadang harus berhadapan dengan orang yang tidak paham dan hanya berpatokan para sebuah aturan hitan di atas putih untuk menjerat tenaga medis. Enaknya menjadi tenaga medis adalah amal dan kenikmatan karena telah membantu orang lain. Bahagia rasanya ketika orang yang kita layani, kembali sehat dan ucapan “terimakasih” menambah rasa bahagia untukku.
Menjadi tenaga medis berarti harus bersiap waktunya untuk orang lain. Tidak bisa kita egois. Dan menjadi tenaga medis, berarti kira memiliki banyak simpanan kebaikan karena telah menolong orang lain.

Kamis, 30 Januari 2014

Menikah itu...

Menikah itu adalah takdir yang sudah tertulis bahkan ketika kita belum terlahir ke dunia. Saat usia kandungan ibu kita 4 bulan, roh ditiupkan, maka saat itu pula takdir kita sudah digoreskan Nya. Lahir, rejeki, mati, dan jodoh. Tidak akan ada yang melenceng, tugas kita hanyalah dengan sabar menjalani prosesnya. Proses untuk terus memperbaiki diri hingga kita dipertemukan dengan pasangan hidup kita. Apakah waktu itu cepat atau lama?, tidak ada yang tahu kecuali Dia yang sudah menuliskan takdir hidup untuk kita.
Menikah itu tidak berhubungan dengan seberapa menarik fisik kita menurut penilaian orang. apakah orang cantik/tampan, kaya, memiliki derajat sosial yang tinggi memiliki jaminan untuk menikah cepat? Tidak sama sekali. Bisa saja orang yang secara fisik tidak menarik, secara materi dalam batas cukup, derajat sosial di masyarakat dipandang tidak penting, justru ditakdirkan menikah dalam usia muda. Apakah orang dengan fisik sehat dan sempurna akan lebih cepat menikah dibandingkan dengan seseorang yang memiliki keterbatasan fisik?
Suatu sore di sebuah rumah sakit bersalin. Seorang ibu mengantarkan anaknya untuk memeriksakan diri. Wanita berusia 30 tahun dalam kondisi lumpuh layuh dari dada hingga kaki, dibopong oleh seorang laki-laki yang ternyata suaminya. Sang ibu bercerita bahwa anaknya pernah menderita TBC tulang belakang, dan hal itulah yang menyebabkan putri tercintanya perlahan lumpuh sejak 8 tahun lalu. Dan kapankah dia dipertemukan jodohnya? masyaAllah... jika Allah berkehendak memang tidak akan ada yang bisa mengalihkannya. Pasutri itu telah menjalani pernikahan sejak 4 tahun lalu, yang dalam arti mereka menikah ketika wanita itu dalam kondisi lumpuh. Betapa luarbiasanya laki-laki yang bersedia menikah dengan wanita itu, dan wanita tersebut sungguh sangat beruntung. Dengan setia sang suami membopong istrinya, meskipun hasil akhir tidak seperti yang diharapkan, aku berharap mereka tetap dalam keberkahan bingkai pernikahan.
Menikah itu adalah rahasia Nya. Maka ketika ada yang bertanya “kapan menikah?” jawaban yang sering aku sampaikan adalah “yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya”. Apakah cantik/tampan akan mempercepat datangnya jodoh? Ternyata aku temukan orang yang secara fisik menarik namun juga tak kunjung diberikan jodohnya. Apakah kemapanan akan mempercepat datangnya jodoh? Ternyata aku menemukan bahkan yang tidak bekerja pun sudah menikah. Apakah yang sholeh/sholehah lebih cepat didatangkan jodohnya? Kadang aku bertemu dengan seseorang sholeh/sholehah yang tak kunjung dipertemukan dengan jodohnya. Lalu apa?
Menikah itu seperti mati. Siap tidak siap, jika sudah ditakdirkan untuk menikah maka kita akan menikah. Bedanya dengan kematian, jika mati pasti dialami semua orang, sedangkan menikah belum tentu semua orang akan mengalaminya. Namun satu hal yang harus kita pegang, penyiapan diri yang terus menerus hingga masa itu tiba. Rawat tubuh kita agar ketika jodoh itu datang, fisik kita sehat. Masalah cantik/tampan, itu adalah pemberian Nya, dan hanyalah penilaian dari manusia. Siapkan diri kita secara ilmu karena menikah adalah peristiwa sekali seumur hidup yang butuh ilmu untuk mengarunginya. Sholel/sholehah kan diri kita, karena bagaimana jodoh kita nantinya, itu tergantung bagaimana kita sekarang.

Menikah itu... harus sabar menjalani prosesnya. Jangan sampai kita melakukan hal-hal yang melanggar aturan Nya. Bagaimanapun sulitnya, kita harus kuat-kuat untuk tetap kukuh dengan aturan yang ada.

Kamis, 16 Januari 2014

Tentang Kopi

Kopi, jenis minuman yang tidaklah asing bagiku. Ramah ku (alm) adalah kopiholic, dalam sehari beliau bisa habis 4 cangkir besar, bahkan lebih jika ada tamu yang bertandang ke rumah, dan kejadian itu bisa terjadi setiap hari. Namun, walaupun beliau adalah seorang kopiholic, tidak sembarang kopi beliau minum, hanya kopi buatan ibuklah yang sangat beliau sukai. Dan jika ibuk tidak membuatkan, aku yang memiliki tugas untuk itu. Jika ibuk kemudian menjadi orang yang juga setiap hari harus mengkonsumsi cairan hitam ini, beda denganku yang enggan bahkan tidak ingin mengkonsumsi secara khusus kecuali sebatas mencicip saat menyeduhnya untuk beliau.

Kopi, jenis minuman yang sifatnya deuretic dan memberikan sifat addictive bagi yang mengkonsumsinya. Makanya aku tidak heran saat ramahku sulit meninggalkan kebiasaannya ini, bahkan meningkat dari hari ke hari. Karena sifat addective inilah, seorang ulama dari mesir menghimbau jamaahnya untuk menghindari minuman ini, walaupun beliau melakukan dakwahnya di warung-warung kopi.
Kopi, jenis minuman yang sebagian orang mengatakan memiliki manfaat jika dikonsumsi dalam jumlah tertentu, menguatkan jantung – katanya – sedangkan jika dikonsumsi dalam jumlah berlebihan akan berefek sebaliknya. Dan aku berpikir bahwa hipotesa itu akan menghasilkan sebuah kebenaran. Bukankah rumus yang baku adalah “apa-apa yang berlebihan akan tidak baik”? kopi juga memang tidak akan baik bagi lambung karena sifatnya yang asam. Bagi penderita penyakit kelebihan asam lambung, jangan lupa makan sebelum minum kopi, jika tidak ingin lambung anda “berlubang” lebih cepat.

Kopi, ada yang pernah bertanya padaku “lebih berbahaya mana kopi instan dengan kopi tubruk?” saat mendapat pertanyaan ini aku bingung harus menjawab apa. Apakah kopi instan lebih aman karena kadar kafein yang rendah? Atau justru lebih bahaya karena pengawet? Lebih dari itu karena aku bukan pengamat dan penikmat kopi (waktu itu).

Kopi, jenis minuman yang kini aku sukai. Berawal dari sebuah novel tentang kopi. Dan kata-kata ini yang menghubunganku dengan masa-masa aku membuatkan kopi untuk Ramah dan “kebersamaan” dengan seseorang yang pernah mengajukan pertanyaan itu.

“secangkir kopi adalah jembatan kenangan dan komunikasi yang paling hangat. Dan, bersamanya, kita bisa menciptakan momen-momen special dalam secercah perjalanan hidup”

Kopi, entahlah. Bagiku minuman ini menunjukkan suatu keajaiban penciptaan. Hanya satu jenis minuman, tapi lidah kita bisa mengidentifikasi rasa dan aroma yang berbeda dari tiap merk, jenis biji kopi berasal, dan bagaimana biji itu diolah. Bukankah itu luar biasa?

Senin, 06 Januari 2014

Because life is never flat

          Selama ini, aku merasa hidupku datar-datar saja. Apa yang aku inginkan bisa aku dapatkan dengan mudah. Apalagi jika berurusan dengan prestasi di sekolah. Tapi, akhir-akhir ini aku berpikiran bahwa datarnya hidupku karena keinginanku yang memang tidak terlalu “spesial” dan sikapku yang easy going dalam menghadapi sesuatu. Ya, aku tidak pernah memiliki ambisi yang muluk dalam kehidupanku selama ini. ketika TK, aku meraih prestasi sebagai bintang pelajar di akhir masa pendidikanku. Sebuah prestasi pertama yang aku punya, disini pulalah aku mendapatkan hadiah pertamaku. Ketika SD, juara kelas dan menjadi perwakilan sekolah dalam mata pelajaran di kabupaten aku dapatkan. SMP, aku mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di sekolah tervaforit dikota kabupaten, begitu pula dengan SMA.
            Dan ketika lintasan pikiran itu ada “apakah hidupku akan sedatar ini? sekolah, kuliah, bekerja lalu menikah?” siklus hidup yang rata-rata dilalui setiap orang. ya, bagi orang yang memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi, mereka akan menikah ketika sudah lulus kuliah dan mendapat pekerjaan yang “mapan”. Haruskah begitu? Bagaimana jika siklus hidup yang kita lalui tidak seperti kebanyakan orang?
            Lulus sekolah, lalu kuliah, selepas kuliah dihadapkan pada persaingan dengan ribuan bahkan jutaan para pencari kerja. Lalu, takdir untuk menikah ternyata tidak secepat yang kita bayangkan. Oh, ternyata hidup tidak sedatar itu. Tidak selamanya apa yang kita bayangkan sesuai dengan kenyataan. Tidak selamanya apa yang kita inginkan akan tercapai dengan mudah.
            “kalah kadang perlu agar kita tahu dunia bukan milikmu”
            Ikhtiar yang tiada henti, do’a yang tiada putus tetaplah penting untuk dilakukan dalam tiap keinginan yang kita pinta pada Nya. Jangan pernah meninggalkan Nya dalam tiap keputusan yang kau buat sekecil apapun. Dan ketika hidup tidak lagi terasa datar, ya memang begitulah adanya.


*sebuah nasihat untuk pribadi

Tempat Membaca yang Asyik

            Di mana sebaiknya kita membaca buku? Oh, pertanyaan ini lebih baik jika diganti dengan “dimana kita nyaman membaca buku?” karena nyaman menurut kita belum tentu baik, namun kita enjoy melakukannya.
            Dari beberapa tempat yang pernah saya gunakan membaca buku, ternyata saya lebih menyukai tempat yang ramai daripada tempat yang sunyi senyap. Kenapa?sederhana saja sebenarnya. Tempat yang sunyi senyap membuat saya mudah mengantuk, tapi sebenarnya hal ini tergantung dari buku yang dibaca juga sich, jika buku yang dibaca membosankan, di manapun cenderung mengantuk J.
            Lalu, tempat-tempat itu di mana saja? Saya sebutkan dari yang lazim hingga yang – mungkin – aneh bagi sebagian orang. berikut tempat-tempat yang saya pernah pergunakan membaca buku.
1.     Perpustakaan
Waktu SMP SMA, tempat ini adalah favorit untuk membaca. Batasan jumlah buku yang harus di pinjam, adalah salah satu alasan menggunakan tempat ini untuk membaca buku yang diincar. Rata-rata memang buku pelajaran yang besar dan berat yang dibaca di sini, saat ada tugas tentunya. Sehingga tidak repot-repot untuk membawanya keluar dari perpus.
Pergi ke perpustakaan saat jam istirahat dapat menghemat uang saku, dan selain itu bisa mensurvei buku apa yang paling banyak di baca oleh para siswa.
Suvei, untuk apa? Bukan untuk apa-apa sebenernya, hanya untuk menambah jenis bacaan saja. Misal saat SMP yang selalu saya pinjam adalah serial lima sekawan, nah pas lihat ada adik kelas baca lupus sambil senyum-senyum dan cekikikan sendiri, saya penasaran. Akhirnya saya pinjam Lupus, eh.... ternyata saya ketagihan. J
Tapi akhir-akhir ini saya sering mengantuk kalo baca di perpus. Padahal tempatnya enak banget. Ber AC, kursinya nyaman. Atau mungkin karena buku yang dibaca? Entah...
2.    Kamar
Baca buku sambil rebahan di tempat tidur, adalah posisi membaca yang tidak di sarankan. Tapi, cara ini nyaman banget. Apa lagi jika hanya membaca buku fiksi yang ringan. Posisi ini adalah posisi enak untuk dipilih. Asal, siap saja dengan minus mata yang akan terjadi atau mungkin saja bertambah.
Tentu saja, membaca di kamar adalah dengan duduk tegak di meja belajar yang tersedia (kalau saya kadang sambil mendengarkan musik). Posisi badan tidak salah, mata juga tidak terancam kekurangan kelenturan ototnya. J
3.    Taman
Membaca dengan ditemani semilir angin sejuk, dengan wangi daun dan bunga, ehmmm sungguh senangnya. Ya, jika taman dekat tempat tinggalmu menyediakan fasilitas yang mendukung untuk kamu betah berlama-lama duduk disitu dengan membawa buku kesukaan, sungguh menyenangkan. Refreshing dengan dua kegiatan sekaligus. Membaca dan menghirup udara segar. Apalagi yang hidup di kota besar seperti surabaya dan jakarta, tentu hal ini akan sangat menyenangkan. Dari pada setiap hari terpapar ruangan ber AC terus, mending keluar menghirup udara segar.
4.    Kafe
Punya uang lebih, atau ada club buku yang tengah diikuti, biasanya menggunakan tempat ini untuk menikmati buku. Saya sendiri jarang sekali menggunakan tempat yang satu ini. sederhana saja alasannya, karena harus mengeluarkan uang lebih untuk menikmati tempat yang nyaman ini. eh, tapi sekarang banyak kafe yang juga punya perpustakaan. Jadi semakin memanjakan para pecinta buku. Silahkan di coba bagi yang mampu (yang sekarang masih ada kelasnya tinggi). Suatu saat juga ingin punya kafe yang juga menyediakan buku-buku bacaan. Mohon do’a nya J
5.    Foodcourt mall
Ramai, ruwet, tapi ini asyiknya. Ketika kita sudah konsen dengan buku yang kita baca, kita seperti “ditengah keramaian aku merasa sepi” J yap, entah. Beberapa kali saya melakukan ini. dan asyik banget. Ga terasa buku yang dibaca sudah halaman seratus. Jika haus atau lapar, tinggal pesan saja. Jika tidak ada budget, ga akan diusir kok. So, kita bisa selama yang kita pingin. Ga kayak di kafe yang harus memesan menu yang ada. Silahkan dicoba.
6.    Pantai
Membaca buku ditemani deburan ombak dan semilir angin pantai, betapa mengasyikkan. Khayalan kita juga akan melayang dan mungkin akan menemukan ide baru untuk ditulis. Sambil menyelam minum air J
7.    Kapal feri
Tempat ini dipakai karena saya yang perantau. Dari pada bengong selama 30 menit untuk menyebrang, mending digunakan untuk membaca. Walaupun ramai, itu ga akan ngaruh
8.    Mobil
Ga pusing? Kalo lagi jalan nya rata, tidak akan. Saya sering melakukan ini. perjalanan Pamekasan surabaya, 1 jam pertama biasanya saya pakai untuk membaca.
9.    Motor
Emang bisa? Saking ngebetnya sama satu buku, saya pernah nekat baca buku itu di motor. Terutama saat lampu merah. Lumayankan waktu 90 detik digunakan untuk baca. Apalagi jika perjalanan cukup jauh, lampu merah di surabaya kan cukup banyak. Dapat satu bab lho.... J


Nah, selamat berekplorasi dengan tempat-tempat yang menurut kamu menyenangkan untuk menghabiskan buku yang tengah kamu baca. Walaupun masih sulit bagi saya untuk meninggalkan membaca sambil tiduran, ini benar-benar tidak baik. Jangan ditiru.