Sabtu, 01 Maret 2014

Bukan (Hanya) Masalah Materi

Menjadi tenaga medis bagiku awalnya seperti terperangkap. Pilihan di akhir masa pendaftaran PMDK ketika SMA sudah memasuki masa akhir. Walaupun aku masih memiliki pilihan untuk melanjutkan ke jurusan yang akan mengantarkanku lebih dekat pada mimpi masa kecilku menjadi ahli tanaman, aku tidak mengambil kesempatan itu. Masalahnya klise, tidak mendapatkan ijin dari Ramah.
Menjalani kuliah selama lima tahun, pilihan untuk tidak berkecimpung dalam dunia medis masih ada jika aku berani mengambilnya. Mengajar di sekolahswasta sebagai guru umum, bekerja diperbankan seperti yang banyak dipilih teman seprofesi, atau menjadi bagian administrasi di sebuah yayasan. Namun, aku tidak memilih itu. Aku pernah mencobanya dan aku mengalami kebosanan. Stagnan dan kurang penuh dengan tantangan. Lagi pula, waktu lima tahun yang aku lalui sebagai mahasiswa keperawatan telah memberiku banyak hal untuk mengenal dan memahami dunia medis yang awalnya aku benci ini.
Dokter, salah satu tenaga kesehatan yang aku benci (awalnya). Entah apa yang membuatku tidak menyukai dokter, mungkin karena mereka yang irit memberikan penjelasan ketika kami menggunakan jasanya. Periksa, menulis resep, lalu sudah. Apalagi, pernah Ramah menjadi semakin parah setelah memeriksakan diri dan mendapatkan obat yang diresepkan. Aku tahu, hal ini tidak bisa digeneralisir. Maka, ketika aku mendapatkan kesempatan kuliah di fakultas kedokteran Prodi Keperawatan (yang kemudian menjadi fakultas keperawatan) perlahan penilaian itu berubah. Pengalaman Belajar Praktika (PBP) di ruang resusitasi Instalasi rawat darurat (IRD) RS. Dr. Soetomo telah merubah kesan itu. Di ruangan itu, aku melihat langsung bagaimana dokter dan juga para perawat bahu membahu, berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa pasien. Obat, RJP (resusitasi jantung paru), dan tindakan lain dilakukan dengan cepat. Mereka berpacu dengan waktu dalam hitungan menit bahkan detik. Aku terpesona dengan tindakan yang mereka lakukan. Pengambilan keputusan dengan cepat terhadap suatu tindakan penyelamatan nyawa yang resikonya tinggi. Dan pemandangan itu sukses membuatku takjub, terpesona, dan menghapus kebencianku pada profesi dokter. Beda lagi dengan pemandangan di ruang ICU, keramahan PPDS anastesi manambah kesan baik itu. Walaupun yang mereka hadapi adalah pasien tidak sadar, di ruangan yang tanpa kehadiran keluarga pasien, tapi cara memperlakukan mereka ramah. Dan kerasionalan dalam penggunaan obat, memberikanku banyak pelajaran tentang hal itu. Aku tahu, memang tidak semua dokter bersikap ramah, namun itu tidak lantas disamaratakan, masih banyak yang bersikap baik dan mau memberikan penjelasan.
Perawat, profesi yang identik dengan marah-marah. Sebelum aku terjun dalam dunia ini, aku tidak paham mengapa mereka kebanyakan bersikap begitu, namun setelah aku menjadi bagian dari mereka, aku paham dan memaklumi. Walaupun aku berharap mereka bisa menahan diri untuk tidak begitu, kita harus tahu bahwa tiap orang tidaklah sama. Perawat banyak yang suka marah, hal tersebut dikarenakan tekanan pekerjaan yang tinggi sedangkan kompensasi dari beban itu tidak memadai.
Dan ketika aku kini menjadi bagian dari dunia yang aku benci dengan sesungguhnya, aku semakin tahu dunia yang sekarang aku geluti tidak seindah yang selalu mereka katakan. “menjadi dokter enak, banyak uangnya”, “kalau mau kaya jadilah dokter”, “menjadi perawat di desa itu kaya, ya”, dan perkataan lain yang identik dengan materi. Tapi bagiku, enaknya menjadi tenaga kesehatan bukan pada materi. Serius. Jika kalian ingin kaya, ambillah kuliah tehnik, lalu bekerjalah  di perusahan tambang, listrik, atau industri. Gaji di tempat-tempat itu jauh lebih besar dari pendapatan para tenaga medis. Apalagi jika dibandingkan dengan waktu yang habis untuk itu. Jika ada dokter kaya, aku yakin banyak waktu juga yang telah meraka luangkan untuk itu. Beda dengan para teknisi yang memiliki waktu tetap. Tenaga medis harus bersedia hari libur, yang bisa untuk keluarga diambil demi pelayanan di RS. Terlebih bagi mereka yang bergelut di dunia kritis. Dituntut mengambil keputusan dengan cepat, resiko pekerjaan yang tinggi, dan terkadang harus berhadapan dengan orang yang tidak paham dan hanya berpatokan para sebuah aturan hitan di atas putih untuk menjerat tenaga medis. Enaknya menjadi tenaga medis adalah amal dan kenikmatan karena telah membantu orang lain. Bahagia rasanya ketika orang yang kita layani, kembali sehat dan ucapan “terimakasih” menambah rasa bahagia untukku.
Menjadi tenaga medis berarti harus bersiap waktunya untuk orang lain. Tidak bisa kita egois. Dan menjadi tenaga medis, berarti kira memiliki banyak simpanan kebaikan karena telah menolong orang lain.


0 komentar:

Posting Komentar