Judul
Buku : 12 Menit
Penulis :
Oka Aurora
Penerbit :
Noura Books
Terbit :
Mei 2013
Halaman :
XIII+343 halaman
Novel
bersampul biru gelap, bermotif rak lengkap dengan satu dua perlengkapan marching band. Saat pertama kali
menyentuh sampulnya, serasa memegang rak asli, ada tekstur kasar dari sampul
novel ini, cukup unik. Nilai tambah yang lain adalah adanya pembatas buku yang bertekstur sama dengan sampulnya.
Tara, Lahang, Elaine, dan Rene.
Merekalah tokoh sentral dalam kisah yang dibingkai dalam novel 12 menit karya
Oka Aurora. Kisah perjuangan tim marching
band daerah untuk dapat menjadi juara dalam ajang bergengsi tahunan
marching band, Grand Prix Marching Band
di Istora Senayan Jakarta. Mereka berusaha untuk memberikan pembuktian bahwa
tim marching band daerah tidak kalah
dengan tim marching band dari kota
besar seperti jakarta. Dengan segala permasalahan yang melingkupi tiap tokohnya,
akankah mimpi untuk menjadi juara dalam ajang bergengsi akan terwujud?
Tara, gadis yang kehilangan
pendengarannya paska kecelakaan yang juga merenggut nyawa ayah yang
dicintainya. Kecelakaan itu menimbulkan trauma bagi Tara, apalagi setelah
mengetahui bahwa pendengarannya hanya bersisa 10-20%. Mimpi untuk menjadi
bagian dalam tim marching band,
seperti menjauh. Walaupun, kemampuan bermain musik, khususnya snare drum, tidak bisa disanksikan.
Tara, merasa minder ketika harus menyeimbangkan diri dengan teman-temannya yang
lain, yang tidak memiliki masalah sepertinya.
Lahang, seorang pemuda suku dayak yang
harus menempuh perjalanan puluhan kilo demi latihan yang harus dia jalani dalam
tim marching band. Kesukaannya
menari, mengantarkannya ikut dalam tim ini. Walaupun dia harus dihadapkan pada
pilihan sulit ketika ayahnya sakit, apakah dia akan mengalami hal serupa ketika
ibunya meninggal? dengan berat hati dia berusaha untuk mewujudkan mimpi bapak
dan ibunya untuk bisa membawa prestasi, melihat dunia baru yang selama ini
belum ditemuinya. Dan marching band lah
jalan yang dia pilih untuk mewujudkan mimpi tersebut.
Elaine, gadis blasteran Indonesia-Jepang
yang jenius. Memiliki ayah yang keras, membuat Elaine tidak mudah menjalankan
kecintaannya dalam bermain musik. Ayahnya ingin Elaine menjadi seorang ilmuan,
bukan musisi. Maka, ketika mereka pindah dari Jakarta ke Bontang, ayah Elaine tidak
lagi mengijinkan putrinya bergabung dalam tim marching band. Beruntung, Elaine memiliki ibu yang lembut hati yang
membantunya menghadapi ayah yang keras. Dengan kemampuan yang Elaine miliki,
tidak sulit baginya memenuhi syarat yang diminta sang ayah agar Elaine tetap
bisa menajalankan kesukaannya tersebut.
Rene, pelatih marching band yang sudah memiliki banyak pengalaman dalam menangani
tim marching band. Tiga kali tim yang dipimpinnya meraih juara dalam ajang
bergengsi tersebut. Bergabung dalam tim marching
band tingkat internasional, juga pernah dirasakannya. Namun, melatih
anak-anak Bontang, baru kali pertama dia alami. Kondisi yang jauh berbeda dia
temukan. Tidak hanya sebagai pelatih, dia juga harus menjadi seorang motivator
untuk anak didiknya.
Pemilihan kata sederhana, petuah-petuah
yang tidak menggurui, cukup memberikan motivasi untuk terus berjuang demi
sebuah mimpi yang sudah dicanangkan. Istilah-istilah dalam marching band, tidak akan membuat bingung karena sudah ada
penjelasannya di glosarium bagian belakang buku. Beberapa kalimat motivasi juga
menambah semangat yang dibawa oleh novel ini.
“when
you have nothing, you’ve got nothing to lose”
“Keberuntungan adalah kesiapan dalam kesempatan. Kesempatan sebenarnya
selalu ada, tetapi hanya orang2 yg siap jasmani dan rohani yg bisa cpat
mendeteksi kesempatan”
Namun, dalam penceritaan, ada yang
mengganggu.
1.
Kisah tentang tokoh bernama Rob, yang
hanya ada pada satu bab, kemudian menghilang hingga akhir cerita. Tokoh Rob
seperti hanya sebagai penambah halaman novel ini.
2.
Bab “konser di atas perahu” agak aneh,
karena disitu diceritakan bahwa Rene tidak mengenal Tara, padahal di bab
sebelumnya, Rene baru saja memarahi Tara habis-habisan. Jikapun itu adalah flash back, tapi tidak ada kalimat yang
menunjukkan nya. Sangat janggal.
3.
Ending cerita yang klise. Mengapa? Dengan
konflik yang ada, penjelasan yang kurang terasa prosesnya, tiba-tiba sudah
jadi.
Terlepas dari beberapa kekurangan itu,
novel ini memberikan pengetahuan baru bagi saya. Dunia marching band yang seperti identik dengan hura-hura, menunjukkan
bahwa kesuksesan selalu harus diimbangai dengan kerja keras. Istilah-istilah
dalam marching band memberikan
wawasan baru bagi pembaca yang awam dengan dunia ini. Kisah tentang Lahang
dengan kehidupannya, memberikan sedikit gambaran bagaimana suku Dayak dengan
kehidupannya. Melalui dialog, prosesi adat, dan keyakinan yang dianutnya.
Akhirnya, novel ini cukup berhasil
memberikan semangat pantang menyerah pada apa yang kita ingini. Karena sukses,
itu di tangan kita. Seperti ayat al qur’an yang dikutip di awal buku “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan sebuah bangsa sampai mereka mengubah keadaan meraka sendiri” (Ar’d:
11)
0 komentar:
Posting Komentar