This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 30 Mei 2013

KEBERSAMAAN ITU, TIDAK HARUS BERSAMA SECARA FISIK


          Dalam masa menunggu kejelasan sebuah acara, saya pergunakan untuk menonton film dan menuliskan ide yang terlintas selama perjalanan menuju tempat acara ini. Dalam kurun waktu empat jam, saya sudah menyelesaikan satu film, satu tulisan, dan hampir satu film dan satu tulisan yang terinspirasi dari film kedua yang ditonton.
          The lake house, film kedua yang saya tonton setelah menyelesaikan film ada apa dengan cinta, film indonesia yang tidak bosan-bosan saya tonton meskipun sudah berkali-kali ditonton. The lake house, adalah film lama yang sangat ingin sekali saya tonton setelah menonton review nya beberapa tahun lalu dalam sebuah acara TV, namun sampai saat ini belum juga bisa menonton. Saat melihat laptop teman saya sedang menganggur, maka saya manfaatkan untuk menyelesaikan film tersebut.
          The lake house menceritakan tentang kebersamaan yang dijalani alex dan kate dalam sebuah surat yang memiliki rentang waktu dua tahun. Kate, yang hidup di tahun 2006, dan alex di tahun 2004. Mereka melakukan korespondesi satu dengan yang lain dalam waktu masing-masing. Dan dari sinilah hubungan itu terjalin.

          Dari cerita ini, saya menyimpulkan, bahwa kebersamaan tidak menuntut pertemuan secara fisik. Kita bisa saling memahami, bisa saling memiliki walaupun kita tidak pernah bertemu. Yang menjadi point penting dalam sebuah hubungan adalah intensitas. Semakin sering sebuah hubungan, semakin kuat jalinan kebersamaan itu terbentuk.

JAKARTA OH JAKARTA


  Pekan terakhir di bulan mei ini  saya berkesempatan mengunjungi ibu kota jakarta. Ini adalah kunjungan ke dua, selama hampir 25 tahun saya hidup. Kunjungan kali ini berbeda. Jika pada kunjungan pertama saya dan rombongan hanya di bus, menghadiri seminar akbar, lalu pulang tanpa melakukan hal lain. namun, pada kunjungan kali ini saya bersama seorang teman memiliki waktu selama sepekan dengan agenda-agenda yang sudah terjadwal dengan baik.
  Karena perjalanan  yang selama kurang lebih 12 jam, ketika sampai di jakarta, saya masih bisa menikmati pemandangan jakarta yang kumuh. Masih ada rasa kaget ketika melihat pemandangan itu, ya jelas saja. Karena selama ini saya hanya mendengar melalui media tanpa mengetahui secara langsung. Pemandangan yang saya temui membuat saya tidak habis pikir, karena selama enam tahun di surabaya saya tidak pernah mendapatkan pemandangan yang seperti itu. Tidak ada ceritanya rumah padat, berbahan seng berderet dipinggiran sungat dan di bawah jembatan. Namun di jakarta, pemandangan itu bisa kita temui sepanjang jalur kereta api, mulai dari bekasi hingga jakarta kota.
Setibanya di stasiun pasar senen, hal lain terpikirkan. Tata stasiun yang semrawut, bangunan dan lingkungan yang kotor. Padahal, bangunan stasiun adalah bangunan lama yang akan sangat indah jika dirawat dan menjadi cagar budaya. Namun sayang, kerusakan di mana-mana, sampah, dan bau pesing merebak ketika mengikuti alur keluar stasiun.
Perjalanan berlanjut ke terminal lebak bulus. Rute-rute yang dilewati tidak lepas dari padatnya kendaraan yang tengah beradu dengan kendaraan lain demi menuju ke tempat tujuan. Macet, tentu saja. Namun hawa panas kota jakarta belum saya rasakan karena saya memilih menggunakan kopaja executive AC, sehingga perjalanan bisa nyaman dinikmati tanpa sibuk dengan asap kendaraan dan asap rokok penumpang. Tidak dapat membayangkan jika perjalanan semala hampir dua jam saya lalui dengan kondisi asli jakarta.

Alhamdulillah, setelah menunggu dalam waktu cukup panitia yang menjemput kami, akhirnya tibalah kami di daerah tangerang selatan yang merupakan tempat acara. Daerah pinggiran kota yang masih hijau, dan udara cukup segar. Terlebih kamar yang dilengkapi fasilitas AC, sehingga tidak merasakan panasnya megapolitan.

Minggu, 26 Mei 2013

Ukhuwah itu... Aku Merasakan Cintanya...



            Umur kami hanya berjarak 1,5 tahun. Tapi secara angkatan, beliau tiga tahun di atas ku. Mungkin karena jarak angkatan itu, aku selalu seperti anak kecil di depannya, selalu gagal untuk bersikap dewasa. Aku seperti anak SD dengan kakak yang sudah SMA. Maklum, aku juga tidak punya kakak perempuan, jadinya mendapati dirinya di awal masa perkuliahan, ada rasa tersendiri yang tidak bisa aku ungkapkan.
            Pertemuan kami berawal dari depan cermin di tempat wudhu’ masjid fakultas di mana aku dan beliau, Allah pertemukan. Saat sama-sama memperbaik kerudung sehabis wudhu’, obrolan ringan terjadi. Dari obrolan itu, berlanjut ke pertemuan-pertemuan formal dan informal. Kos-kosan kami yang tidak jauh, menambah intensitas pertemuan kami. Hingga akhirnya kami dipertemukan dalam forum melingkar dengan teman-teman seangkatan yang lain, makin dekatlah aku dengan dirinya.
            Sifat ngemong nya, membuatku nyaman. Perhatian, ungkapan sayang yang tidak segan beliau sampaikan ke padaku, membuatku nyaman dan diperhatikan. Meskipun di awal aku risih karena tidak terbiasa dari rumah, perhatian, ungkapan sayang itu sering kali aku rindukan. Terlebih, ketika aku bertanya ke pada temanku yang lain apakah mereka mendapatkan SMS yang sama?, mereka menjawab tidak. Di spesialkan, adalah salah satu sisi lemahku.
            Sebagai orang yang “bertanggung jawab” terhadapku, tidak hanya perhatian yang beliau berikan, namun juga memiliki hak untuk keinginanku aktif dalam  organisasi kampus. Dari awal aku tergabung dalam kelompok lingkaran ini, aku menyerahkan sepenuhnya di mana aku akan beramanah... untuk urusan ini, sikap yang sangat berbeda beliau tunjukkan padaku. Jika teman yang lain dibiarkan sesuai keinginannya, aku tidak. Ketika di awal aku ingin aktif dalam depertemen syiar, tanpa mengatakan apa-apa padaku, beliau meminta sekdep KD untuk memasukkanku dalam departemennya. Saat aku menolak untuk mendapat binaan di tahun ke dua aku kuliah, dia mengatakan kalimat yang membuatku cukup kaget: “biarkan saja dia “mati” jika tidak mau membina”... dan akhirnya aku berusaha untuk menerima amanah itu.
            Dan baru akhir-akhir aku sadari, itulah cara beliau membentukku. Ketika sekarang aku ada pada posisinya dulu, aku masih mengingat bagaimana cara beliau. Namun, aku sadari tidak bisa sama seperti yang beliau terapkan padaku. Karena aku dengan beliau beda, dan aku dengan adik-adik yang aku tangani juga beda.
            Ketika ada kesempatan yang sekiranya masih dapat mempertemukanku dengan dirinya, aku selalu mengaharapkannya. Maklum, sejak tidak lagi menjadi anak didiknya, beliau pindah keluar kota. Pertemuan yang walaupun sebentar, sangat aku harapkan. Seperti halnya kemarin, dalam sebuah forum yang sangat istimewa.
            Aku selalu berterimakasih pada Allah telah mempertemukan aku dengan mu,,, sebuah nikmat yang sangat luar biasa. Terlebih, efek dari pertemuan itu yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata. Terimakasih untuk bimbinganmu selama tiga tahun pertama masa kuliahku, untuk SMS perhatian, dan telponmu dalam dua situasi sulitku...

Minggu, 19 Mei 2013

INDONESIA SELALU MEMILIKI SISI YANG MENAKJUBKAN

Hari Sabtu, 18 Mei 2013 saya berkesempatan berkunjung ke kota paling timur Provinsi JATIM. yup,, tepatnya ke Pacitan. Kota yang merupakan asal Presiden RI sekarang, Susilo Bambang Yudhoyono. Perjalanan yang ditempuh kurang lebih selama tujuh jam, menyuguhkan pemandangan yang menakjubkan, namun juga miris. Track yang berliku, karena harus melewati lereng tebing, memberikan pemandangan yang indah, namun disisi lain juga menyedihkan. Sepanjang perjalanan, kami bertemu dengan para penambang batu, ibu-ibu pemecah batu, jalanan yang tertimbun longsor, juga jembatan yang ambrol belum juga selesai perbaikannya.
Bekas longsoran tanah
Pemandangan yang indah, tidak dapat dipungkiri. Secara kami melalui perbukitan yang masih dominan hijau. Namun, warna air yang coklat susu tidak dapat menutupi bahwa ada masalah di hulu sungai, belum lagi Daerah aliran sungai yang sangat terlihat jelas pengendapan di kanan kiri sisi sungai.


Terlepas dari apa yang ditemui selama perjalanan, saya bersyukur, dapat mengetahui sisi bumi Indonesia yang lain. Mengetahui aktivitas warganya, dan mengetahui kondisi alamnya....


Selasa, 14 Mei 2013

Apa Mahar yang Ingin diminta dari Calon Suami Kelak?



           
Tiba-tiba terpikir untuk menulis tentang Mahar. Suatu hal yang harus diberikan pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. Dalam diskusi-diskusi ringan dengan teman-teman, selalu saja tidak mendapatkan jawaban yang pas ketika ditanya “dirimu ingin minta mahar apa ketika menikah nanti?” adanya selalu ditanya balik “anti minta mahar apa?”
            Dalam lingkungan dimana aku lahir dan tumbuh, mahar yang diminta calon istri adalah uang, seperangkat alat sholat, atau paling banter perhiasan. Dan bagiku itu suatu hal yang biasa. Sedangkan aku sendiri ingin suatu hal yang jarang diminta sebagai mahar dalam pernikahan-pernikahan yang selama ini aku temui di lingkungan rumah. Namun, ketika tinggal di Surabaya, dan menghadiri beberapa pernikahan senior, ada hal baru yang aku temui. Mahar tidak lagi “hanya” uang atau perhiasan, tapi buku. Sepaket buku.
            Mahar buku? Ada yang mengatakan berat ketika menerima mahar berupa buku, terlebih bukan buku sembarang buku, tapi kitab tafsir misalnya. Berat karena jika kita tidak memanfaatkan buku tersebut, atau minimal tidak membacanya. Memang mahar harus begitu ya? Sama halnya ketika mendapat seperangkat alat sholat plus al qur’an, akan menjadi suatu beban ketika istri tidak menggunakan mahar itu dengan sebaik-baiknya. Lalu, bagaimana jika mahar berbentuk uang? Bukankah biasanya uang tersebut hanya disimpan?
            Terserahlah, apapun alasannya. Tapi mahar buku tetaplah menarik buatku. Sebagai seorang pencinta buku, aku sangat senang ketika mendapat hadiah buku – apapun – dibandingkan mendapatkan hadiah yang lain, pun ketika memberi hadiah, sedapat mungkin aku akan memberikan hadiah buku. Akan lebih bermanfaat. Karena buku apapun itu, selama isinya tidak menyimpang, akan memberikan ilmu bagi yang membaca isinya. Namun buku sebagai mahar, ada makna lain yang aku temukan.
            Saat membaca lagi tulisan ustadzah Robi’ah al ‘adawiyah dalam buku “Diary Pengantin”, mahar yang beliau minta adalah cincin dan sepaket buku. Tapi bagiku, buku yang diminta sebagai mahar akan lebih bermakna ketika itu berasal dari koleksi sang calon suami. Kenapa? karena dari sana kita bisa mengenal lebih jauh bagaimana karakter dan pemikiran yang dimiliki suami kita. Bagaimana bisa?
            Teringat tulisan Mohammad Afifuddin, mahasiswa Pascasarjana Sosiologi FISIPOL UGM Jojakarta dalam rubrik di balik buku yang berjudul PEMIMPIN DAN BUKU SASTRA YANG MEREKA BACA, ketika Yann Martel ditanya mengapa Martel susah-susah mengirim copy an buku sastra beserta komentar singkat tentang buku itu pada seorang Perdana Mentri, jawabannya sangat brilian “karena saya ingin tahu bagaimana imajinasi PM tersebut”.
            Ya, bagaimana karakter seseorang, bagaimana dia mengambil kebijakan, bagaimana pemikirannya, bisa kita lihat apa yang menjadi bahan bacaannya. Baik fiksi maupun non fiksi. Nah, ketika yang diminta menjadi mahar adalah buku yang selama ini menjadi koleksinya, bahkan ada buku yang menjadi favoritnya yang mempengaruhi dirinya dalam berpikir dan bertindak. Dari sana, dapat dijadikan sarana untuk mengenal pasangan kita lebih jauh. Apalagi ketika menikah dengan orang yang benar-benar belum pernah kita kenal sebelumnya. Buku-buku yang dia miliki dapat kita jadikan sarana untuk mengenalnya secara lebih jauh.

Kamis, 02 Mei 2013

Ragam Kuliner Indonesi

Hari Kamis, ketika memiliki kesempatan berkunjung ke Lamongan aku mendapatkan suasana baru. Perjalanan dengan becak dari stasiun ke tempat yang dituju, aku bertemu dengan deretan ibu-ibu dengan bakul jualannya. Setelah ditanya, ternyata mereka adalah penjual Nasi Boran, nama yang masih asing di telinga. Baru kali ini aku mendengar jenis kuliner ini, apalagi didapatnya di Lamongan, kota yang sebenarnya tidak asing karena banyak teman kuliah yang berasal dari daerah ini.
Setelah menyapa ahlul bait, kami pamit untuk jalan-jalan menyusuri kota Lamongan dan berkunjunga ke alun-alunya. Tujuan utama dari jalan-jalan ini adalah menikmati nasi boran, lumayan sekalian untuk sarapan. Sesampai di alun-alun, agak bingung memutuskan untuk membeli nasi boran yang mana, maklum penjualnya berderet dengan jarak tidak terlalu jauh. Akhirnya kami memutuskan membeli di ibu penjual yang paling sepi, biar cepat. itu saja alasannya.
tidak menunggu lama, seporsi nasi boran, dengan lauk ceker dan ikan kutok, kuah kental warna merah membalut dua lauk tersebut. Jika dilihat, seperti bumbu bali, tapi setelah dirasakan, rasanya sama sekali tidak sama. Agak takut-takut pada awalnya untuk menyantapnya, maklum aku tidak suka pedas. Tapi setelah mengunyah satu sendok, tidak ada pedas sama sekali. yummy,,,, nasi boran satu porsi habis.
Dengan porsi sedang dan lauk yang tidak hanya satu, harga jual 4.000 rupiah adalah ukuran yang murah untuk satu porsi nasi boran yang lezat tersebut. ehm,, enaknya kalau tinggal di daerah, makanan serba murah.

Rabu, 01 Mei 2013

Cerpen Madre Vs Serial Baker King Kim Tak Goo


Berkunjung ke kontrakan senior akhwat, menjelajahi deretan koleksi buku yang tidak seberapa di bawah TV,, mataku tertuju pada buku tipis berwarna orange. Madre, begitu judul yang disematkan. Karya - yang entah keberapa - dari seorang Dee. Judul ini sedang ramai diperbincangkan karena baru saja Film yang diangkat dari cerita ini tayang di bioskop.
Untukku, membaca karya dari seorang Dee adalah kali ke dua setelah Perahu Kertas. Komentar terhadap karya ini, bagus, ringan, dan dapat menambah pengetahuan tentang dunia roti yang selama ini hanya aku tahu itu-itu saja. setelah membaca buku ini, aku jadi tahu kenapa roti memiliki ke khasannya sendiri. Tiap-tiap perusahaan memiliki ciri khas roti masing-masing. dan hal itu terletak di biang roti tersebut. Jadi ingat pada serial korea yang berkisah tentang perusahaan roti. di mana ada bakery yang tetap mempertahankan cara membuat roti secara tradisional untuk menjaga kekhasan dari roti tersebut.
Setelah baca buku ini, jadi penasaran untuk belajar membuat biang roti hingga menghasilkan roti yang enak. selama ini, jika ada roti enak,, mesti harganya mahal. dan yang masih dapat dirogoh kantong,, rasanya standard. masih lebih enak buatan ibuk.
Ini yang dinamakan karya fiksi berkualitas, tidak hanya indah dalam bahasa, tapi juga penuh informasi. dan inilah mengapa saya sangat menyukai karya sastra.... khususnya novel dan cerpen....