This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 26 Oktober 2015

Mengetahui karakter manusia

Aku bukanlah seorang psikolog, atau mahasiswa yang sedang kuliah di jurusan psikologi. Aku hanya seorang perawat yang menyenangi dunia psikologi, dunia yang – katanya- bisa membaca pikiran orang lain. Sesekali, membaca buku atau artikel yang membahas tentang psikologi, lebih khusus yang membahas tentang karakter seseorang.
Maka, ketika aku seringkali sensitive dengan tatapan, bahasa tubuh, gaya bicara, tulisan atau gaya berbusana dari seseorang, hal itu tidak terlepas dari kegemaranku tentang dunia yang satu ini. Bukankah karakter seseorang dapat dilihat dari poin-point tersebut? Terlebih, kegiatan sehari sehari-hari ku yang mewajibkan berinteraksi dengan banyak orang, melakukan pelayanan kepada pasien-pasien yang beragam dan memiliki karakter yang berbeda pula.
Salah satu kegemaranku adalah menatap punggung seseorang. Menurutku, punggung seseorang mencerminkan bagaimana kedalaman jiwa dari orang tersebut. Seberapa stabilnya dia ketika menghadapi masalah, atau seberapa tegas dia dalam mengambil keputusan dalam hidupnya. Apakah asumsiku benar? Entahlah. Karena ketika aku mencoba mencari artikel –karena jika itu buku, aku tidak tahu harus mencari judul buku yang bagaimana- aku belum menemukan yang membahas tentang punggung sebagai penanda karakter seseorang.
Tentang punggung, aku tidak dapat mendeskripsikan secara spesifik jenis punggung dengan karakter seseorang. Tapi satu yang dapat aku jelaskan adalah…. Ketika aku bertemu dengan seseorang, aku lihat punggungnya, kemudian aku memberi penilaian bahwa orang ini begini dan begini.
Valid? Tidak selalu. Ini lebih kepada insting, naluriku yang memang tidak bisa aku pertanggung jawabkan kebenarannya. Walau begitu, seringkali aku menaruh kegaguman pada seseorang karena punggung. Untuk membuktikan kecenderunganku –yang kata teman dekatku, aneh- aku sering melakukannya kepada seseorang yang memang aku sudah kenal. Hal ini untuk memperkuat insting yang tidak berdasar ini agar tidak membuatku sesat dengan asumsiku.
Kenapa?
Hal ini tidak lain karena aku sering tertarik, dan bisa akrab dengan seseorang, baik laki-laki atau perempuan karena tiga hal; pertama, karena mata, kedua, suara, ketiga, punggung.
“mata adalah tanda seberapa luas keilmuan seseorang yang ada dalam kepala, sedangkan punggung adalah tanda seberapa luas jiwa seseorang yang ada dalam dada”
Ini adalah prinsip yang aku pahami.
Dan suara…adalah pembuktian dua hal tersebut.
Bukan pada cempreng atau renyah suara tersebut, tapi charisma yang terpancar ketika dia berbicara. Sama halnya tentang wajah, bukan pada tampan atau biasanya wajah itu, tapi rona charisma yang terpancar dari pemilik wajah itu.
Dan bukankah suara juga termasuk aurat? Dan kelemahan wanita terletak pada telinga. Jadi…ketertarikanku terhadap hal tersebut adalah suatu fitrah kemanusianku. Dan aku baru tahu, rahasia dari suara yang berkharisma adalah, suara yang pemiliknya mempergunakan untuk membaca ayat-ayat Nya.
Selain mata, suara, dan punggung, tulisan adalah saranaku untuk mengenal bagaimana orang tersebut. Ada seseorang yang berusia tua, namun ketika menulis status saja tidak ubahnya seperti anak SMA yang baru menapaki usia-usia pubertas. Sebaliknya, ada anak yang baru berusia remaja, namun bisa menuliskan layaknya orang dewasa.

Jadi, untuk mengenal bagaimana seseorang itu tidak harus butuh waktu yang lama. Kenali apa yang penting dan menurutmu prinsip di awal-awal, selanjutnya…seiring berjalannya waktu lakukan terus komunikasi untuk mengenal seseorang lebih dekat. Agar penilaianmu tidak hanya sebatas asumsi.

Kamis, 04 Juni 2015

Kesyukuranku #1: Ketika Diri Telah Mampu Menerima Dengan Sepenuh Hati

            Perawat. Profesi yang –walau tak sepenuhnya asing- namun tidak juga familiar denganku. Keluarga besar yang rata-rata pegawai PEMDA, dan bapak yang seorang guru SD, otomatis dunia masa kecil dan remajaku habis bersama dengan profesi itu. Perawat, hanya aku kenal ketika aku atau saudaraku sakit selama tiga hari tak kunjung sembuh, Rama dan Ibuk akan membawa kami ke puskesmas pembantu yang –Alhamdulillah- dekat dengan rumah untuk kami mendapatkan obat. Puskesmas yang dilayani oleh dua orang tenaga kesehatan, yang dulu aku kira satu dari mereka adalah dokter, baru-baru ini saja aku tahu bahwa tidak pernah ada dokter jaga di puskemas pembantu dekat rumahku –rumah dinas SD lebih tepatnya-.
            Perawat. Pilihan studi yang ditawarkan salah satu guru BP ketika kami dalam suatu waktu berjalan bersama menuju sekolah.
            “jika tidak jijik dengan hal-hal kotor, kenapa tidak masuk keperawatan saja?” tawar beliau. Tawaran itu aku hanya jawab dengan senyuman, sambil menjawab “akan saya pertimbangkan nanti, bu. Terimakasih sarannya”.
            Aku yang belum mengetahui passion ku apa, aku yang masih gamang dengan pilihan dan rasa nyaman yang aku hadapi ketika belajar biologi, dengan idealisme yang aku bangun dari kecil, impian untuk menjadi cahaya bagi sekitar. Aku meyakini, dengan mengambil studi pertanian, impian ini bisa terwujud. Menyediakan makanan sehat untuk masyarakat Indonesia.
            Namun impian itu sulit terwujud, sekolah yang letaknya jauh dari asalku, dan biaya yang mahal untuk menempuh studinya, membuatku urung menekuni dunia pertanian. Biologi murni menjadi pelarianku akhirnya, walau tak sepenuh hati aku barengi pilihan itu dengan jurusan keperawatan di PT lain. Dan alasan mengapa dua PT itu yang aku pilih adalah karena biaya yang cukup terjangkau untuk penghasilan Rama yang seorang PN Guru SD.
            Singkat cerita, aku memilih keperawatan sebagai studi lanjutan setelah lulus SMA. Tak sepenuh hati, namun penuh dengan gengsi. Gengsi sebagai salah satu peserta OSN saat SMA, diterima di dua PT ternama lewat jalur khusus dengan biaya yang murah, tapi dihadapkan pada pilihan untuk tak memilih dua-dua nya.
            Dengan ijin setengah hati dari Rama, dan kebahagiaan seorang ibuk karena melihat kebahagiaan putrinya, akhirnya aku resmi sebagai mahasiswa keperawata Universitas Airlangga, Surabaya. Salah satu PTN terbaik di Indonesia. Bersyukur, tentu saja. Siapa yang tak bangga menjadi bagian dari PTN keren satu ini. Keren dan termurah se Indonesia Raya.
            Namun, dunia kampus yang berbeda dengan dunia SMA membuatku mengalami culture shock. Hal ini sebenarnya sudah aku antisipasi, kembali teori tak sama dengan kenyataan. Culture shock  ini gagal aku atasi dalam waktu cepat. Jadilah aku tak menemukan diriku seperti saat SMA. Jiwa belajar yang tinggi, jiwa kompetisi yang tak pernah mati, hilang entah kemana. Aku jalani masa kuliahku layaknya air. Kubiarkan mengalir, asal masih dalam batas aman. Aku alihkan aktifitasku pada organisasi untuk tetap bisa menguatkan dan mengembalikan niat awal ku memilih jurusan ini.
            Syukur kembali aku ucap ketika masa yang bagi sebagai mahasiswa tidak menyenangkan, tapi aku justru menemukan nyawaku disini. Praktik di Rumah sakit. Bertemu dengan pasien, memberikan pelayanan pada mereka. Semangat hidupku untuk mendalami ilmu yang aku pilih dengan setengah hati –awalnya- kembali muncul. Semangat untuk memberikan yang terbaik untuk mereka. Membuat mereka kembali seperti keadaan semula. Menjadi cahaya bagi mereka yang kebanyak putus asa ketika sakit mendera.
            Dan masa profesi satu itu, membuatku mantap, akan apa yang akan aku tekuni dimasa mendatang. Perawat pelaksana. Baik di Puskesmas atau di rumah sakit. Bertemu dengan orang-orang sakit, memberikan pelayanan pada mereka, memberikan edukasi agar mereka lebih paham setelah mereka sembuh dari sakit yang diderita. Dan semua itu membuatku kembali merasa berharga.
            Dan kini, setelah beberapa waktu gagal mengabdi, kesempatan itu hadir. Mendedikasikan diriku untuk mereka di RSUD dimana aku berasal. Bertemu mereka, dunia yang dulu aku pilih dengan setengah hati, kini aku ingin menjalaninya dengan sepenuh hati. Ucapan terimakasih dari mereka dan mengantarkan mereka pulang dalam kondisi sehat adalah obat lelah paling mujarab bagi kelelahan setelah seharian melayani pasien yang seringkali over load.
            Banyak hikmah, kisah, baik yang lucu, sedih, menggembirakan, bahkan yang membuat hati miris karena fakta yang jauh berbeda dari apa yang aku dapat dia bangku kuliah adalah ilmu yang sangat berharga yang aku dapat di tempatku mengabdi. Dan aku memilih jalan ini untuk meraih ridho Nya, mencapai syurga Nya, dan sebagai amal jariahku. Dengan ilmu yang aku miliki. Menjadi cahaya bagi mereka. Terimakasih pada Ya Allah, untuk kesempatan ini. Alhamdulillah.


Selasa, 27 Januari 2015

LUKA

Tentang luka. Ada dua jenis luka yang aku ketahui. Luka fisik, dan luka hati. Jika yang pertama penyebab jelas dan bentuknya juga jelas, sedangkan yang kedua sebab jelas namun wujudnya seperti apa, tak bisa kita definisikan dengan pasti.
Namun satu hal yang pasti…penyembuhan kedua luka itu, sama.
Jangan lagi terlalu percaya dengan ungkapan “biarkan waktu yang menyembuhkan”. Ya,,,memang waktu yang akan menyembuhkan, tapi kita punya hak untuk berapa banyak waktu yang kita butuhkan. Sehari, sepekan, sebulan, setahun, atau bahkan selamanya luka itu tak tersembuhkan.
Jika itu luka fisik, lama penyembuhan akan semakin memperburuk kondisi luka. Pun dengan luka hati. Hanya beda keduanya adalah yang satu terlihat yang satu tak terlihat. Hanya bisa dirasa, bagi yang bisa merasa.
Mobilisasi, itu hal yang mendukung untuk penyembuhan luka. Mengalirkan darah penyuplai oksigen untuk memberi makan sel-sel sekitar luka agar segera menutup kembali kulit yang terbuka.
Pada luka jiwa, mobilisasi dapat memberikan semangat, agar tak terus larut dalam kedukaan. Sama hal nya seperti oksigen yang memberikan kehidupan bagi sel di sekitar luka, pengalaman yang kita dapat selama proses bergerak itu, memberikan nyawa baru untuk jiwa yang tengah terluka.
Bagaimana caranya?
1.     Bergeraklah. Patah hati memang sakit, tapi tidak lantas rasa sakit itu membuat kita hanya berdiam diri tak melakukan apapun dengan diri dan dunia sekitar kita. Menurut ilmu psikologi, berdiam diri hanya akan menambah berat tekanan yang ada pada diri. Terlebih jika kita berdiam di kamar yang gelap. Stress kita akan bertambah tambah.
2.    Lakukan perjalanan. Perjalanan akan selalu memberikan pelajaran bagi pelakunya. Akan banyak hikmah tercecer yang bisa kita dapatkan. Bahwa ada yang mendapatkan ujian lebih dari kita, bahwa Allah masih menyayangi kita.
3.    Temui orang-orang berilmu dan sholeh. Dari mereka kita akan mendapatkan ilmu, pesan hidup. Bahwa apa yang kita alami tak lepas dari rencana Nya. Bahwa masih banyak yang bisa kita lakukan untuk dapat lebih bermanfaat bagi sekitar. Dan juga, kita belajar bagaimana orang-orang sholeh jaman dahulu bertahan dalam ujian yang mungkin tak tertahan.
4.    Yang terpenting dari semua itu adalah… bergeraklah menemui Tuhan mu. Mentadaburi apa yang sudah Ia Firmankan untuk mu melalui kitab Nya. Karena darisanalah kita akan mendapatkan jawaban, mengapa luka itu Dia berikan untuk mu. Karena membaca kitab Nya adalah obat paling mujarab yang bisa kamu gunakan.

Jika air akan busuk jika dia tak mengalir, begitupun lukamu. Akan busuk jika kau tak bergerak. Apapun yang terjadi, seburuk apapun kondisi, teruslah bergerak, jangan pernah berhenti.

Minggu, 07 September 2014

Produk UU bernama BPJS

Akhir bulan agustus dan awal bulan september ini aku memiliki kesempatan untuk berinteraksi dg produk UU satu ini. Ya...fasilitas kesehatan untuk seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Karena berupa UU, maka tiap warga negera wajib terdaftar sebagai anggotanya.
Dan aku salah satu orang yang diberikesempatan mamanfaatkan fasilitas itu. Hikmah di balik sebuah musibah,bisa dikatakan seperti itu. Jika tidak ada takdir bahwa aku harus menjalani prosedur medis, tulisan ini hanya akan sekedar teori, pengamatan tanpa pengalaman secara langsung.
Dengan menuliskan ini, aku harap bisa memberikan kabar baik untuk orang di luar sana yg masih belum tahu, memberikan apresiasi terhadap pelayanan yang aku terima, dan tanggapan terhadap produk pemerintah yang satu ini.
Baik, kita mulai dari BPJS. Apa itu? BPJS (Badan penyelenggara Jaminan sosial) adalah sistem yang dibuat pemerintah untuk menggantikan sistem perlindungan kesehatan masyarakat yang sudah ada sebelum2 nya. Seperti jamkesmas, jamkesda, atau ASKES bagi pegawai negeri. Dengan adanya kebijakan ini, maka dua perusahaan asuransi sebelumnya yaitu ASKES dan JAMSOSTEK mentransformasikan diri menjadi BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan.
Bagiku, dg adanya BPJS
sekarang akan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk perlindungan kesehatan masyarakat. Jika dulu hanya orang yang tdk mampu secara ekonomi yang terfasilitasi dan para PNS, dg sistem yang sekarang, semua bisa terlayani. Alhamdulillah...
Tanggapannya... Aku cukup puas dg sistem yang sekarang ada. Memang, harus ada antrian,dsb. Tapi bagiku wajar mengingat yang membutuhkan pelayanan RS tidaklah sedikit. Tapi, tempat untuk mengantri nyaman kok, sehingga ga akan terasa.
Bagaimana dengan tindakan medis yang akan kita terima, lab,radiologi,bukankah juga mengantri? Ya...memang juga mengantri. Pahamilah, karena negara masih terus melakukan pembenahan terhadap fasilitas kesehatannya. Kita sabar saja. Tapi, bagiku yang mendapatkan pelayanan di RSUD slamet martodidjo, cukup puas dg pelayanan yang ada. Ya..memang ini yang RSUD mampu. Pelayanan di ruangan juga sudah baik, walaupun di zal, tapi tiap tidur sudah disekat dengan tirai dan yang paling menyenangkan adalah pelayanan perawatnya yang ramah. Bagi pasien yang belum memiliki BPJS disarankan untuk segera mendaftar, agar biaya yang ditanggung tidak serta merta membludak, tapi masih bisa dicicil.
Semoga RSUD ku ini semakin baik kedepannya. Terkenal dg pelayanannya yang optimal.
Dan...aku pikir tidak perlulah ada yang namanya kartu indonesia sehat atau apapun. Benahi apa yang sudah ada. Sistem BPJS sudah cukup bagus. Tinggal fasilitas, tunjangan tenaga kesehatan dan jumlah tenaga kesehatan terus ditingkatkan untuk kebaikan bersama. Kebaikan bagi masyarakat yang dilayani, juga tenaga kesehatan yang melayani. Hingga pelayan kesehatan, dokter,perawat, ataupun bidan tidak lagi dikenal sebagai orang-orang yang tidak ramah dalam pelayanan.
Mari berasama-sama melakukan perbaikan untuk negara kita tercinta.

*ditulis saat tengah mengantri di BPJS Center RSUD H. Slamet Martodirdjo. Ruangan yang adem.

Selasa, 26 Agustus 2014

Hal Kecil tapi Penting yang Sering diabaikan. Kenapakah?

Aku bersyukur, selalu bersyukur bahwa aku pernah merasakan pendidikan di salah satu universitas unggulan di jawatimur. Bahkan hingga tuntas. Banyak hal yang aku dapatkan, termasuk dapat merasakan praktik di Rumah Sakit yang menjadi rujukan seluruh rumah sakit di Indonesia bagian timur. Bagaimana tidak bangga?
Karena pengalaman yang aku dapat dari rumah sakit tersebut sungguh amat berharga bagi perjalananku selanjutnya. Namun di sisi lain aku memiliki standard tinggi terhadap pelayanan di rumah sakit lain. Ya... RS tempat aku menjalankan praktik profesi setahun ini benar-benar berusaha untuk melaksanakan pelayanan yang sesuai teori ilmu yang kami dapat di kuliah, tidak kaget karena rumah sakit ini memang diperuntukkan sebagai rumah sakit pendidikan. Jangankan hal besar, hal kecil namun memiliki dampak yang cukup penting tidak luput dari perhatian manajemen rumah sakit.
Dan jadilah aku membanding-bandingkan rumah sakit yang dikemudian hari aku datangi. Apakah hal kecil namun penting itu?
Yup, sarana cuci tangan. Ada dua cara melakukan cuci tangan. Pertama dengan air mengalir dan sabun cair, dan yang kedua adalah dengan menggunakan alkohol gliserin. Yang kedua biasa dipakai jika tangan dalam kondisi tidak terkena noda. Dan disinalah yang menjadi perhatianku.
Beberapa rumah sakit -bisa dikatakan semua- yang pernah aku kunjungi tidak menyediakan sarana mencuci tangan yang memadai terlebih penyediaan alkohol gliserin di tiap bed pasien atau minimal di nurse station. Padahal, mencuci tangan adalah hal pertama yang harus dilakukan untuk mencegah penularan infeksi atau infeksi nasokomial yang terjadi di rumah sakit. Yang lucu lagi adalah himbauan mencuci tangan terpampang tapi sarana tidak disediakan. Kenapakah?
Apakah karena masalah anggaran? Ok... Jika hal ini terjadi di RS swasta yang menganut prinsip ekonomi 'modal seminimal mungkin,hasil maksimal' aku bisa memahami,tapi ini terjadi di rumah sakit yang pembiayaannya berasal dari pemerintah, apakah tidak ada anggaran pencegahan infeksi nasokomial ini? Terlebih aku menemui ini di rumah sakit khusus penyakit infeksi. Aku masih belum paham. Apakah karena belum menjadi rumah sakit pendidikan? Entahlah.... Aku hanya berharap kedepannya lebih baik. Jika suatu saat aku bergabung di dalamnya, aku bisa melakukan perubahan ke arah yabg lebih baik. Semoga.

Kamis, 24 Juli 2014

Hadiah

Sebuah hadist dari Anas menyatakan bahwa:"Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena hadiah itu mewariskan rasa cinta dan menghilangkan kekotoran hati." (Thabrani)

Hingga usiaku yang menyentuh seperempat abad ini...aku bisa mengingat beberapa hadiah yang pernah aku dapatkan dari teman-temanku. Baik yang kecil dan sifatnya biasa-biasa saja seperti gantungan kunci yang dibeli ketika berkunjung kesuatu daerah, hingga yang sifatnya sangat berkesan dan memang aku sukai.
Hadiah yang paling aku sukai adalah buku, buku pertama yang aku dapat adalab buku kumpulan cerpen karya sinta yudisia dan fahri azisa. Yang menbuat hadiah ini spesial adalah karena diberikan langsung oleh bu sinta, dan moment ini masih sangat aku ingat dan terus aku ingat. Karena sejak mendapatkan buku itu... aku jadi bersemangat untuj mengoleksi buju yang lain, dab alhandulillah... buku-buku setelahnya berdatangan. Bahkan awal-awal buku koleksiku mayoritas adalah pemberian, ini termasuk dua buku yang diberikan dua sahabatku (Imroatul qoni'ah dan nuur raafi) saat miladku yang ke 21... dan di usia itu, untuk pertama kalinya aku mendapatkan hadiah ulang tahun... dan hadist yang mengatakan bahwa memberi hadiah akan mewariskan rasa cinta, itu aku rasakan dalam bentuk persahabatan kami yang masih jalan hingga hari ini.
Hadiah buku memang sangat bermakna, terlebih jika itu diberikan langsung oleh penulisnya. Selain dari bunda sinta, aku juga pernah dapat buku dari mbak Eni  (shabrina WS). Beliau memberiku buku karyanya sebagai ucapan terimakasih karena aku sudah mereview Novelnya yang lain. Sungguh pengalaman yang berharga. Penulis lain yang pernah memberikan bukunya adalah setiyono...kami bertemu dalam sebuah pelatihan, dan ketika dipertemukan lagi dalam sebuah forum, dia membagikan bukunya secara gratis untuk teman-temannya saat pelatihan dulu...salah satunya aku. Selain dari penulis, buku memiliki makna ketika kita memang menginginkannya. Hal ini aku dapat dari adik angkatanku, Gading, dia memberikan buku yg temanya pergerakan yang saat itu memang pengen aku beli. Awalnya nitip, tapi diakhir ternyata diberikan secara gratis. Dan yang terbaru adalah hadiah dari Dian yang memberikanku novel karya penulis favoritku yaitu TASARO GK. Sungguh suatu hal yang sangat menyenangkan. Terimakasih sudah memberi hadiah buku... Mencomot kata-kata dari Tere Liye... Hadiah buku selalu spesial :)
Hadiah lain yang aku dapat adalah pembatas buku, uniknya adalah pembatas buku ini adalah pembatas buku magnetic, jadi resiko jatuh dan hilang lebih kecil dibandingkan pembatas buku biasa. Suka dapat hadiah ini... Karena seringkali buku yang aku beli atau baca tidak ada pembatas bukunya, jadi hadiah ini sangat bermanfaat.
Lalu, bagaimana dengab diriku,apakah aku juga suka memberikan hadiah?
Pada moment tertentu dab pada teman yang dekat, aku juga memberikan hadiah...dab hadiah yang aku pilih adalah juga buku, pun ketika ada teman yang menikah, pasti aku hadiahkan buku untuknya.
Semoga dimasa mendatang lebih sering memberi hadiah dengan lebih banyak orang. Aamii ....

Sabtu, 01 Maret 2014

Bukan (Hanya) Masalah Materi

Menjadi tenaga medis bagiku awalnya seperti terperangkap. Pilihan di akhir masa pendaftaran PMDK ketika SMA sudah memasuki masa akhir. Walaupun aku masih memiliki pilihan untuk melanjutkan ke jurusan yang akan mengantarkanku lebih dekat pada mimpi masa kecilku menjadi ahli tanaman, aku tidak mengambil kesempatan itu. Masalahnya klise, tidak mendapatkan ijin dari Ramah.
Menjalani kuliah selama lima tahun, pilihan untuk tidak berkecimpung dalam dunia medis masih ada jika aku berani mengambilnya. Mengajar di sekolahswasta sebagai guru umum, bekerja diperbankan seperti yang banyak dipilih teman seprofesi, atau menjadi bagian administrasi di sebuah yayasan. Namun, aku tidak memilih itu. Aku pernah mencobanya dan aku mengalami kebosanan. Stagnan dan kurang penuh dengan tantangan. Lagi pula, waktu lima tahun yang aku lalui sebagai mahasiswa keperawatan telah memberiku banyak hal untuk mengenal dan memahami dunia medis yang awalnya aku benci ini.
Dokter, salah satu tenaga kesehatan yang aku benci (awalnya). Entah apa yang membuatku tidak menyukai dokter, mungkin karena mereka yang irit memberikan penjelasan ketika kami menggunakan jasanya. Periksa, menulis resep, lalu sudah. Apalagi, pernah Ramah menjadi semakin parah setelah memeriksakan diri dan mendapatkan obat yang diresepkan. Aku tahu, hal ini tidak bisa digeneralisir. Maka, ketika aku mendapatkan kesempatan kuliah di fakultas kedokteran Prodi Keperawatan (yang kemudian menjadi fakultas keperawatan) perlahan penilaian itu berubah. Pengalaman Belajar Praktika (PBP) di ruang resusitasi Instalasi rawat darurat (IRD) RS. Dr. Soetomo telah merubah kesan itu. Di ruangan itu, aku melihat langsung bagaimana dokter dan juga para perawat bahu membahu, berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa pasien. Obat, RJP (resusitasi jantung paru), dan tindakan lain dilakukan dengan cepat. Mereka berpacu dengan waktu dalam hitungan menit bahkan detik. Aku terpesona dengan tindakan yang mereka lakukan. Pengambilan keputusan dengan cepat terhadap suatu tindakan penyelamatan nyawa yang resikonya tinggi. Dan pemandangan itu sukses membuatku takjub, terpesona, dan menghapus kebencianku pada profesi dokter. Beda lagi dengan pemandangan di ruang ICU, keramahan PPDS anastesi manambah kesan baik itu. Walaupun yang mereka hadapi adalah pasien tidak sadar, di ruangan yang tanpa kehadiran keluarga pasien, tapi cara memperlakukan mereka ramah. Dan kerasionalan dalam penggunaan obat, memberikanku banyak pelajaran tentang hal itu. Aku tahu, memang tidak semua dokter bersikap ramah, namun itu tidak lantas disamaratakan, masih banyak yang bersikap baik dan mau memberikan penjelasan.
Perawat, profesi yang identik dengan marah-marah. Sebelum aku terjun dalam dunia ini, aku tidak paham mengapa mereka kebanyakan bersikap begitu, namun setelah aku menjadi bagian dari mereka, aku paham dan memaklumi. Walaupun aku berharap mereka bisa menahan diri untuk tidak begitu, kita harus tahu bahwa tiap orang tidaklah sama. Perawat banyak yang suka marah, hal tersebut dikarenakan tekanan pekerjaan yang tinggi sedangkan kompensasi dari beban itu tidak memadai.
Dan ketika aku kini menjadi bagian dari dunia yang aku benci dengan sesungguhnya, aku semakin tahu dunia yang sekarang aku geluti tidak seindah yang selalu mereka katakan. “menjadi dokter enak, banyak uangnya”, “kalau mau kaya jadilah dokter”, “menjadi perawat di desa itu kaya, ya”, dan perkataan lain yang identik dengan materi. Tapi bagiku, enaknya menjadi tenaga kesehatan bukan pada materi. Serius. Jika kalian ingin kaya, ambillah kuliah tehnik, lalu bekerjalah  di perusahan tambang, listrik, atau industri. Gaji di tempat-tempat itu jauh lebih besar dari pendapatan para tenaga medis. Apalagi jika dibandingkan dengan waktu yang habis untuk itu. Jika ada dokter kaya, aku yakin banyak waktu juga yang telah meraka luangkan untuk itu. Beda dengan para teknisi yang memiliki waktu tetap. Tenaga medis harus bersedia hari libur, yang bisa untuk keluarga diambil demi pelayanan di RS. Terlebih bagi mereka yang bergelut di dunia kritis. Dituntut mengambil keputusan dengan cepat, resiko pekerjaan yang tinggi, dan terkadang harus berhadapan dengan orang yang tidak paham dan hanya berpatokan para sebuah aturan hitan di atas putih untuk menjerat tenaga medis. Enaknya menjadi tenaga medis adalah amal dan kenikmatan karena telah membantu orang lain. Bahagia rasanya ketika orang yang kita layani, kembali sehat dan ucapan “terimakasih” menambah rasa bahagia untukku.
Menjadi tenaga medis berarti harus bersiap waktunya untuk orang lain. Tidak bisa kita egois. Dan menjadi tenaga medis, berarti kira memiliki banyak simpanan kebaikan karena telah menolong orang lain.