Perawat. Profesi yang –walau tak sepenuhnya asing- namun
tidak juga familiar denganku. Keluarga besar yang rata-rata pegawai PEMDA, dan
bapak yang seorang guru SD, otomatis dunia masa kecil dan remajaku habis
bersama dengan profesi itu. Perawat, hanya aku kenal ketika aku atau saudaraku
sakit selama tiga hari tak kunjung sembuh, Rama dan Ibuk akan membawa kami ke
puskesmas pembantu yang –Alhamdulillah- dekat dengan rumah untuk kami mendapatkan
obat. Puskesmas yang dilayani oleh dua orang tenaga kesehatan, yang dulu aku
kira satu dari mereka adalah dokter, baru-baru ini saja aku tahu bahwa tidak
pernah ada dokter jaga di puskemas pembantu dekat rumahku –rumah dinas SD lebih
tepatnya-.
Perawat. Pilihan studi yang ditawarkan salah satu guru BP
ketika kami dalam suatu waktu berjalan bersama menuju sekolah.
“jika tidak jijik dengan hal-hal kotor, kenapa tidak
masuk keperawatan saja?” tawar beliau. Tawaran itu aku hanya jawab dengan
senyuman, sambil menjawab “akan saya pertimbangkan nanti, bu. Terimakasih
sarannya”.
Aku yang belum mengetahui passion ku apa, aku yang masih gamang dengan pilihan dan rasa
nyaman yang aku hadapi ketika belajar biologi, dengan idealisme yang aku bangun
dari kecil, impian untuk menjadi cahaya bagi sekitar. Aku meyakini, dengan
mengambil studi pertanian, impian ini bisa terwujud. Menyediakan makanan sehat
untuk masyarakat Indonesia.
Namun impian itu sulit terwujud, sekolah yang letaknya
jauh dari asalku, dan biaya yang mahal untuk menempuh studinya, membuatku urung
menekuni dunia pertanian. Biologi murni menjadi pelarianku akhirnya, walau tak
sepenuh hati aku barengi pilihan itu dengan jurusan keperawatan di PT lain. Dan
alasan mengapa dua PT itu yang aku pilih adalah karena biaya yang cukup
terjangkau untuk penghasilan Rama yang seorang PN Guru SD.
Singkat cerita, aku memilih keperawatan sebagai studi
lanjutan setelah lulus SMA. Tak sepenuh hati, namun penuh dengan gengsi. Gengsi
sebagai salah satu peserta OSN saat SMA, diterima di dua PT ternama lewat jalur
khusus dengan biaya yang murah, tapi dihadapkan pada pilihan untuk tak memilih
dua-dua nya.
Dengan ijin setengah hati dari Rama, dan kebahagiaan
seorang ibuk karena melihat kebahagiaan putrinya, akhirnya aku resmi sebagai
mahasiswa keperawata Universitas Airlangga, Surabaya. Salah satu PTN terbaik di
Indonesia. Bersyukur, tentu saja. Siapa yang tak bangga menjadi bagian dari PTN
keren satu ini. Keren dan termurah se Indonesia Raya.
Namun, dunia kampus yang berbeda dengan dunia SMA
membuatku mengalami culture shock.
Hal ini sebenarnya sudah aku antisipasi, kembali teori tak sama dengan
kenyataan. Culture shock ini gagal aku atasi dalam waktu cepat. Jadilah
aku tak menemukan diriku seperti saat SMA. Jiwa belajar yang tinggi, jiwa
kompetisi yang tak pernah mati, hilang entah kemana. Aku jalani masa kuliahku
layaknya air. Kubiarkan mengalir, asal masih dalam batas aman. Aku alihkan
aktifitasku pada organisasi untuk tetap bisa menguatkan dan mengembalikan niat
awal ku memilih jurusan ini.
Syukur kembali aku ucap ketika masa yang bagi sebagai
mahasiswa tidak menyenangkan, tapi aku justru menemukan nyawaku disini. Praktik
di Rumah sakit. Bertemu dengan pasien, memberikan pelayanan pada mereka.
Semangat hidupku untuk mendalami ilmu yang aku pilih dengan setengah hati
–awalnya- kembali muncul. Semangat untuk memberikan yang terbaik untuk mereka.
Membuat mereka kembali seperti keadaan semula. Menjadi cahaya bagi mereka yang
kebanyak putus asa ketika sakit mendera.
Dan masa profesi satu itu, membuatku mantap, akan apa
yang akan aku tekuni dimasa mendatang. Perawat pelaksana. Baik di Puskesmas
atau di rumah sakit. Bertemu dengan orang-orang sakit, memberikan pelayanan
pada mereka, memberikan edukasi agar mereka lebih paham setelah mereka sembuh
dari sakit yang diderita. Dan semua itu membuatku kembali merasa berharga.
Dan kini, setelah beberapa waktu gagal mengabdi,
kesempatan itu hadir. Mendedikasikan diriku untuk mereka di RSUD dimana aku
berasal. Bertemu mereka, dunia yang dulu aku pilih dengan setengah hati, kini
aku ingin menjalaninya dengan sepenuh hati. Ucapan terimakasih dari mereka dan
mengantarkan mereka pulang dalam kondisi sehat adalah obat lelah paling mujarab
bagi kelelahan setelah seharian melayani pasien yang seringkali over load.
Banyak hikmah, kisah, baik yang lucu, sedih,
menggembirakan, bahkan yang membuat hati miris karena fakta yang jauh berbeda
dari apa yang aku dapat dia bangku kuliah adalah ilmu yang sangat berharga yang
aku dapat di tempatku mengabdi. Dan aku memilih jalan ini untuk meraih ridho
Nya, mencapai syurga Nya, dan sebagai amal jariahku. Dengan ilmu yang aku
miliki. Menjadi cahaya bagi mereka. Terimakasih pada Ya Allah, untuk kesempatan
ini. Alhamdulillah.
Titanium Frame Hammer from T-Shirt - Titanium Frame Shaving
BalasHapusIn titanium vs stainless steel stock · Suit · titanium connecting rod Priced Frame · In titanium anodizing stock titanium easy flux 125 at www.titanium-arts.com columbia titanium boots