Rabu, 04 September 2013

Kisah Menyentuh dari Para Pengejar Layangan

                 “Sesuatu yang terjadi dalam beberapa hari, kadang-kadang bahkan dalam sehari bisa mengubah jalan hidup seseorang” ~Khaled Khosseini dalam The Kite Runner~
 
            Begitulah kalimat pembuka dari novel luar biasa ini. Novel dengan judul “The Kite Runner” adalah novel afghan pertama yang diutulis dalam bahasa inggris oleh penulis kelehiran Afghanistan yang tinggal di AS.
            The Kite Runner berkisah tentang persahabatan dua anak laki-laki, Amir dan Hassan yang dipenuhi dengan suka cita, kesedihan, dan pengalaman hidup sarat makna dari keduanya. Amir dan Hassan adalah dua sahabat yang tumbuh bersama sejak mereka kecil. Setiap hari meraka habiskan dengan bermain bersama. Permainan yang mereka sukai adalah perlombaan layangan yang menjadi tradisi turun menurun penduduka Kabul, tempat mereka tinggal. Amir dan Hassan adalah para pemain layangan yang sangat jago, dan satu lagi keunggulan yang dimiliki oleh Hassan adalah dia mampu mengejar layangan tanpa melihat kemana arah layangan akan jatuh. Persahabatan mereka berjalan sangat menyengankan. Hingga pada suatu sore musim dingin, hubungan mereka berubah drastis dan membawa beban selama sisa hidup seorang amir.
            Kisah persahabatan, pengkhianatan, kebahagiaan, dan kesedihan digambarkan secara apik oleh sang penulis. Detil dari tiap bagian novel ini tidaklah ada yang sia-sia. Jika umumnya sebuah novel dengan penggambaran dan uraian yang detil seringkali membuat para pembaca bosan. Namun tidak dengan novel ini. Hikmah, pengetahuan dan budaya tentang Negara dan bangsa afghan tergambar dari setiap kisahnya. Hingga tiap bagian dari novel ini sayang untuk dilewatkan sedikitpun.
            Sebagai karya sastra terjemahan, tentu yang tidak lupa untuk diberikan apresiasi adalah sang penerjemah. The Kite Runner dalam versi Indonesia terbitan Qanita ini diterjemahkan oleh Berliani M. Nugrahani berhasil menterjemahkan novel ini tanpa kehilangan nilai sastra yang begitu kental dalam novel ini. Editor juga berhasil melakukan tugasnya, sehingga tidak ada kesalahan ketik satu pun pada kisah sepanjang 490 halaman.
            Beberapa kata mutiara menghiasi halaman-halaman dalam novel ini tanpa terkesan menggurui.
            “lebih baik disakiti oleh kenyataan daripada dinyamankan oleh kebohongan” (hal. 85)
            “meresahkan memang, tapi rasanya cukup nyaman memiliki seseorang yang selalu mengetahui kebutuhanmu” (hal. 90)
            “kehilangan sesuatu yang kita miliki selalu lebih menyakitkan daripada tidak memiliki samasekali.” (hal. 286)
            “tapi waktu sungguh serakah – kadang-kadang ia mengambil semua detil tanpa menyisakan apapun.” (289)       
            “seseorang yang tidak memiliki kesadaran, tidak memiliki kebaikan, tidak akan pernah menderita” (hal. 399)

            Novel yang sangat menyentuh dan syarat hikmah. Jika dibandingkan dengan filmnya, jauh bisa merasakan penderitaan seorang amir, dan perjuangan seorang Hassan dengan membaca buku. Walaupun, dari menonton film kita bisa terbantu tentang suasana afghanista (walaupun hanya sedikit).  Akhirnya, tidak ada komentar lain tentang novel ini. Saya kutip komentar dari the Washington post book world

            “kisah yang sangat kuat…tidak ada yang sia-sia, tidak ada omong kosong, semuanya disajikan dengan keras dan apa adanya…tentang keluarga dan persahabatan, pengkhianatan, dan penebusan dosa…”

0 komentar:

Posting Komentar