This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 26 Oktober 2015

Mengetahui karakter manusia

Aku bukanlah seorang psikolog, atau mahasiswa yang sedang kuliah di jurusan psikologi. Aku hanya seorang perawat yang menyenangi dunia psikologi, dunia yang – katanya- bisa membaca pikiran orang lain. Sesekali, membaca buku atau artikel yang membahas tentang psikologi, lebih khusus yang membahas tentang karakter seseorang.
Maka, ketika aku seringkali sensitive dengan tatapan, bahasa tubuh, gaya bicara, tulisan atau gaya berbusana dari seseorang, hal itu tidak terlepas dari kegemaranku tentang dunia yang satu ini. Bukankah karakter seseorang dapat dilihat dari poin-point tersebut? Terlebih, kegiatan sehari sehari-hari ku yang mewajibkan berinteraksi dengan banyak orang, melakukan pelayanan kepada pasien-pasien yang beragam dan memiliki karakter yang berbeda pula.
Salah satu kegemaranku adalah menatap punggung seseorang. Menurutku, punggung seseorang mencerminkan bagaimana kedalaman jiwa dari orang tersebut. Seberapa stabilnya dia ketika menghadapi masalah, atau seberapa tegas dia dalam mengambil keputusan dalam hidupnya. Apakah asumsiku benar? Entahlah. Karena ketika aku mencoba mencari artikel –karena jika itu buku, aku tidak tahu harus mencari judul buku yang bagaimana- aku belum menemukan yang membahas tentang punggung sebagai penanda karakter seseorang.
Tentang punggung, aku tidak dapat mendeskripsikan secara spesifik jenis punggung dengan karakter seseorang. Tapi satu yang dapat aku jelaskan adalah…. Ketika aku bertemu dengan seseorang, aku lihat punggungnya, kemudian aku memberi penilaian bahwa orang ini begini dan begini.
Valid? Tidak selalu. Ini lebih kepada insting, naluriku yang memang tidak bisa aku pertanggung jawabkan kebenarannya. Walau begitu, seringkali aku menaruh kegaguman pada seseorang karena punggung. Untuk membuktikan kecenderunganku –yang kata teman dekatku, aneh- aku sering melakukannya kepada seseorang yang memang aku sudah kenal. Hal ini untuk memperkuat insting yang tidak berdasar ini agar tidak membuatku sesat dengan asumsiku.
Kenapa?
Hal ini tidak lain karena aku sering tertarik, dan bisa akrab dengan seseorang, baik laki-laki atau perempuan karena tiga hal; pertama, karena mata, kedua, suara, ketiga, punggung.
“mata adalah tanda seberapa luas keilmuan seseorang yang ada dalam kepala, sedangkan punggung adalah tanda seberapa luas jiwa seseorang yang ada dalam dada”
Ini adalah prinsip yang aku pahami.
Dan suara…adalah pembuktian dua hal tersebut.
Bukan pada cempreng atau renyah suara tersebut, tapi charisma yang terpancar ketika dia berbicara. Sama halnya tentang wajah, bukan pada tampan atau biasanya wajah itu, tapi rona charisma yang terpancar dari pemilik wajah itu.
Dan bukankah suara juga termasuk aurat? Dan kelemahan wanita terletak pada telinga. Jadi…ketertarikanku terhadap hal tersebut adalah suatu fitrah kemanusianku. Dan aku baru tahu, rahasia dari suara yang berkharisma adalah, suara yang pemiliknya mempergunakan untuk membaca ayat-ayat Nya.
Selain mata, suara, dan punggung, tulisan adalah saranaku untuk mengenal bagaimana orang tersebut. Ada seseorang yang berusia tua, namun ketika menulis status saja tidak ubahnya seperti anak SMA yang baru menapaki usia-usia pubertas. Sebaliknya, ada anak yang baru berusia remaja, namun bisa menuliskan layaknya orang dewasa.

Jadi, untuk mengenal bagaimana seseorang itu tidak harus butuh waktu yang lama. Kenali apa yang penting dan menurutmu prinsip di awal-awal, selanjutnya…seiring berjalannya waktu lakukan terus komunikasi untuk mengenal seseorang lebih dekat. Agar penilaianmu tidak hanya sebatas asumsi.

Kamis, 04 Juni 2015

Kesyukuranku #1: Ketika Diri Telah Mampu Menerima Dengan Sepenuh Hati

            Perawat. Profesi yang –walau tak sepenuhnya asing- namun tidak juga familiar denganku. Keluarga besar yang rata-rata pegawai PEMDA, dan bapak yang seorang guru SD, otomatis dunia masa kecil dan remajaku habis bersama dengan profesi itu. Perawat, hanya aku kenal ketika aku atau saudaraku sakit selama tiga hari tak kunjung sembuh, Rama dan Ibuk akan membawa kami ke puskesmas pembantu yang –Alhamdulillah- dekat dengan rumah untuk kami mendapatkan obat. Puskesmas yang dilayani oleh dua orang tenaga kesehatan, yang dulu aku kira satu dari mereka adalah dokter, baru-baru ini saja aku tahu bahwa tidak pernah ada dokter jaga di puskemas pembantu dekat rumahku –rumah dinas SD lebih tepatnya-.
            Perawat. Pilihan studi yang ditawarkan salah satu guru BP ketika kami dalam suatu waktu berjalan bersama menuju sekolah.
            “jika tidak jijik dengan hal-hal kotor, kenapa tidak masuk keperawatan saja?” tawar beliau. Tawaran itu aku hanya jawab dengan senyuman, sambil menjawab “akan saya pertimbangkan nanti, bu. Terimakasih sarannya”.
            Aku yang belum mengetahui passion ku apa, aku yang masih gamang dengan pilihan dan rasa nyaman yang aku hadapi ketika belajar biologi, dengan idealisme yang aku bangun dari kecil, impian untuk menjadi cahaya bagi sekitar. Aku meyakini, dengan mengambil studi pertanian, impian ini bisa terwujud. Menyediakan makanan sehat untuk masyarakat Indonesia.
            Namun impian itu sulit terwujud, sekolah yang letaknya jauh dari asalku, dan biaya yang mahal untuk menempuh studinya, membuatku urung menekuni dunia pertanian. Biologi murni menjadi pelarianku akhirnya, walau tak sepenuh hati aku barengi pilihan itu dengan jurusan keperawatan di PT lain. Dan alasan mengapa dua PT itu yang aku pilih adalah karena biaya yang cukup terjangkau untuk penghasilan Rama yang seorang PN Guru SD.
            Singkat cerita, aku memilih keperawatan sebagai studi lanjutan setelah lulus SMA. Tak sepenuh hati, namun penuh dengan gengsi. Gengsi sebagai salah satu peserta OSN saat SMA, diterima di dua PT ternama lewat jalur khusus dengan biaya yang murah, tapi dihadapkan pada pilihan untuk tak memilih dua-dua nya.
            Dengan ijin setengah hati dari Rama, dan kebahagiaan seorang ibuk karena melihat kebahagiaan putrinya, akhirnya aku resmi sebagai mahasiswa keperawata Universitas Airlangga, Surabaya. Salah satu PTN terbaik di Indonesia. Bersyukur, tentu saja. Siapa yang tak bangga menjadi bagian dari PTN keren satu ini. Keren dan termurah se Indonesia Raya.
            Namun, dunia kampus yang berbeda dengan dunia SMA membuatku mengalami culture shock. Hal ini sebenarnya sudah aku antisipasi, kembali teori tak sama dengan kenyataan. Culture shock  ini gagal aku atasi dalam waktu cepat. Jadilah aku tak menemukan diriku seperti saat SMA. Jiwa belajar yang tinggi, jiwa kompetisi yang tak pernah mati, hilang entah kemana. Aku jalani masa kuliahku layaknya air. Kubiarkan mengalir, asal masih dalam batas aman. Aku alihkan aktifitasku pada organisasi untuk tetap bisa menguatkan dan mengembalikan niat awal ku memilih jurusan ini.
            Syukur kembali aku ucap ketika masa yang bagi sebagai mahasiswa tidak menyenangkan, tapi aku justru menemukan nyawaku disini. Praktik di Rumah sakit. Bertemu dengan pasien, memberikan pelayanan pada mereka. Semangat hidupku untuk mendalami ilmu yang aku pilih dengan setengah hati –awalnya- kembali muncul. Semangat untuk memberikan yang terbaik untuk mereka. Membuat mereka kembali seperti keadaan semula. Menjadi cahaya bagi mereka yang kebanyak putus asa ketika sakit mendera.
            Dan masa profesi satu itu, membuatku mantap, akan apa yang akan aku tekuni dimasa mendatang. Perawat pelaksana. Baik di Puskesmas atau di rumah sakit. Bertemu dengan orang-orang sakit, memberikan pelayanan pada mereka, memberikan edukasi agar mereka lebih paham setelah mereka sembuh dari sakit yang diderita. Dan semua itu membuatku kembali merasa berharga.
            Dan kini, setelah beberapa waktu gagal mengabdi, kesempatan itu hadir. Mendedikasikan diriku untuk mereka di RSUD dimana aku berasal. Bertemu mereka, dunia yang dulu aku pilih dengan setengah hati, kini aku ingin menjalaninya dengan sepenuh hati. Ucapan terimakasih dari mereka dan mengantarkan mereka pulang dalam kondisi sehat adalah obat lelah paling mujarab bagi kelelahan setelah seharian melayani pasien yang seringkali over load.
            Banyak hikmah, kisah, baik yang lucu, sedih, menggembirakan, bahkan yang membuat hati miris karena fakta yang jauh berbeda dari apa yang aku dapat dia bangku kuliah adalah ilmu yang sangat berharga yang aku dapat di tempatku mengabdi. Dan aku memilih jalan ini untuk meraih ridho Nya, mencapai syurga Nya, dan sebagai amal jariahku. Dengan ilmu yang aku miliki. Menjadi cahaya bagi mereka. Terimakasih pada Ya Allah, untuk kesempatan ini. Alhamdulillah.


Selasa, 27 Januari 2015

LUKA

Tentang luka. Ada dua jenis luka yang aku ketahui. Luka fisik, dan luka hati. Jika yang pertama penyebab jelas dan bentuknya juga jelas, sedangkan yang kedua sebab jelas namun wujudnya seperti apa, tak bisa kita definisikan dengan pasti.
Namun satu hal yang pasti…penyembuhan kedua luka itu, sama.
Jangan lagi terlalu percaya dengan ungkapan “biarkan waktu yang menyembuhkan”. Ya,,,memang waktu yang akan menyembuhkan, tapi kita punya hak untuk berapa banyak waktu yang kita butuhkan. Sehari, sepekan, sebulan, setahun, atau bahkan selamanya luka itu tak tersembuhkan.
Jika itu luka fisik, lama penyembuhan akan semakin memperburuk kondisi luka. Pun dengan luka hati. Hanya beda keduanya adalah yang satu terlihat yang satu tak terlihat. Hanya bisa dirasa, bagi yang bisa merasa.
Mobilisasi, itu hal yang mendukung untuk penyembuhan luka. Mengalirkan darah penyuplai oksigen untuk memberi makan sel-sel sekitar luka agar segera menutup kembali kulit yang terbuka.
Pada luka jiwa, mobilisasi dapat memberikan semangat, agar tak terus larut dalam kedukaan. Sama hal nya seperti oksigen yang memberikan kehidupan bagi sel di sekitar luka, pengalaman yang kita dapat selama proses bergerak itu, memberikan nyawa baru untuk jiwa yang tengah terluka.
Bagaimana caranya?
1.     Bergeraklah. Patah hati memang sakit, tapi tidak lantas rasa sakit itu membuat kita hanya berdiam diri tak melakukan apapun dengan diri dan dunia sekitar kita. Menurut ilmu psikologi, berdiam diri hanya akan menambah berat tekanan yang ada pada diri. Terlebih jika kita berdiam di kamar yang gelap. Stress kita akan bertambah tambah.
2.    Lakukan perjalanan. Perjalanan akan selalu memberikan pelajaran bagi pelakunya. Akan banyak hikmah tercecer yang bisa kita dapatkan. Bahwa ada yang mendapatkan ujian lebih dari kita, bahwa Allah masih menyayangi kita.
3.    Temui orang-orang berilmu dan sholeh. Dari mereka kita akan mendapatkan ilmu, pesan hidup. Bahwa apa yang kita alami tak lepas dari rencana Nya. Bahwa masih banyak yang bisa kita lakukan untuk dapat lebih bermanfaat bagi sekitar. Dan juga, kita belajar bagaimana orang-orang sholeh jaman dahulu bertahan dalam ujian yang mungkin tak tertahan.
4.    Yang terpenting dari semua itu adalah… bergeraklah menemui Tuhan mu. Mentadaburi apa yang sudah Ia Firmankan untuk mu melalui kitab Nya. Karena darisanalah kita akan mendapatkan jawaban, mengapa luka itu Dia berikan untuk mu. Karena membaca kitab Nya adalah obat paling mujarab yang bisa kamu gunakan.

Jika air akan busuk jika dia tak mengalir, begitupun lukamu. Akan busuk jika kau tak bergerak. Apapun yang terjadi, seburuk apapun kondisi, teruslah bergerak, jangan pernah berhenti.