Akhirnya saat ini datang juga. Setelah selama empat hari menjalani pembekalan, senin tanggal 27 Februari 2012 akhirnya tibalah saat ini. menjalankan profesi untuk mendapatkan gelas ners dan memperdalam ilmu dan skill mahasiswa keperawatan Unair. Salah satu yang membuatku semangat untuk menjalani profesi ini adalah aku akan menemukan banyak hal yang menarik yang bisa aku tulis, dan keinginan itu benar-benar aku rancang. Kira-kira apa saja yang akan aku temui dan yang menarik untuk ditulis. Namun, selalu saja ada alasan untuk tidak menuliskannya diakhir hari, dan akhirnya standart itu aku turunkan menjadi satu pekan sekali. Ya… itung-itung sebagai resum selama di ruangan. Entah dari segi kasus, manajemen ruangan, tenaga medis, dan lain-lain.
Pengalaman pertama aku jalani di ruang palem I atau ruang paru laki. Sesuai namanya, ruangan ini merawat semua kasus yang berkaitan dengan masalah paru-paru pada pasien laki-laki. – ini yang aku suka dari RS. Dr Sutomo, kamar pasien sudah terpisah, walaupun penunggunya tetap laki-laki dan perempuan -. Yup, dari nama ruangan ini, kita bisa menebak apa yang ada di dalamnya. Penyakit paru dan segala permasalahannya. Jangan heran jika di ruangan ini banyak menemukan pasien dengan selang oksigen (O2 nasal), atau terpasang drainage water seal (selang yang dihubungkan kedalam rongga pleura untuk mengeluarkan udara atau cairan yang menumpuk di cavun pleura). Dan disinilah aku menjalani lima hari pertamaku di RS. Sutomo bersama lima orang lain dari angkatan B13. Karena ini resume, maka aku akan mengelompokkannya.
1. kelompok yang menyenangkan
Awalnya aku sedikit merasa tidak nyaman, kenapa kami berempat yang berasal dan angkatan A tidak dijadikan satu saja? Namun, setelah beberapa jam bertemu, kami sudah mulai akrab. Bu diah yang merupakan perawat Ruang Observasi Intensis IRD lt.3 RS Sutomo, secara otomatis di kenal oleh banyak perawat di ruangan, Pak junaid yang merupaka kepala OK RS di Bontang, Kak Yanti perawat bedah dari RS. Di NTT, dan dua mahasiswa yang baru lulus D3, mbak sindhi dan Mas Arto (secara angkatan masih senior mereka ^_^). Banyak enaknya satu kelompok dengan mereka. Aku yang tidak begitu terampil bisa belajar dari bu diah dan pak junaid. Masih bisa nyambung dengan mbak sindhi dan mas Arto, dan kak yanti dengan logatnya yang – khas orang timur-. Aku menikmati masa-masa lima hari di awal ini. saling melengkapi satu sama lain. Kekhawatiran di awal tidak terbukti sama sekali. Dan selain itu, dari bu diah aku belajar bagaimana membagi waktu antara pekerjaan dan urusan rumah. Dari beliau aku banyak mendapat cerita. Ketika mengeluh kecapekan, maka aku akan diingatkan tentang tanggungan ku yang hanya kuliah, tidak keluarga seperti beliau. Belajar bagaimana membagi tugas dengan suami dan berinteraksi dengan anak dengan jadwal kita sebagai perawat. Dan sempat terlontar pernyataan “bisa-bisa pandanganku akan berubah setelah satu tahun”.
2. Bukan salah RS
Beberapa bulan yang lalu, kira-kira bulan November 2011 sebuah Koran nasional memberitakan tentang orang miskin yang tidak akan diterima berobat di Sutomo. Beritanya sangat provokativ, jika hanya membaca judul, maka orang akan mengira yang salah adalah pihak rumah sakit yang tidak memiliki “hati nurani”. Sebagai orang yang pernah ada di dalamnya –walaupun hanya sebagai mahasiswa praktik - , aku tidak lantas mempercayai berita itu. Apa lagi saat ini, pasien yang dirawat di ruang paru, dengan masa rawat yang lama, - minimal 7 hari – 90% pasiennya adalah pasien jamkesmas. Dan sering kali mengalami ekstra bed, karena prinsip RS Sutomo – yang aku dapat dari pembekalan – adalah tidak menolak pasien. Dan aku melihat sendiri. Hari kedua, ekstra bed terjadi. Yang miris adalah, hal tersebut terjadi di ruang khusus TB. Ah, ternyata masih ada saja penderita TB di negeri ini. ancaman kesakitan ganda benar-benar sudah di depan mata.
Melihat fakta ini, aku lebih percaya apa yang sudah dilakukan RS untuk masyarakat dari pada pemberitaan yang sering kali membawa kepentingan tertentu. Karena fakta ini pula aku kadang tidak mempercayai bahwa dirawat di RS sutomo susah. Bukan, tapi memang prosedur untuk pasien kuota ribet. Mesti mengurus ini itu. Dan pasien yang ditangani banyak, se indonesia bagian timur. Maka, jika pelayanannya lama, itu adalah efek dari banyaknya pasien yang harus diurus.
3. suasana RS yang menyenangkan
Kondisi sekarang berbeda dengan dahulu. Banyak perbaikan disana disini. Kebersihan benar-benar diperhatikan, kecuali memang saat ini sedang mengalami pemasangan ubin yang membuat suasana bising. Namun selebihnya sudah standard. Setelah mencuci tangan kalau dahulu pakai handuk, sekarang sudah ganti tisu – yang dulu yang aku temukan di VK dan ROI - . selain suasan ruangan, tenaga medis di palem I juga menyenangkan. Mereka ramah-ramah. Aku banyak belajar dari mereka. Ah, yang jelas suasana ruangan di Palem I hampir sesuai teori. Walaupun terkadang aku anggap terlalu boros. Tapi hal itu dilakukan untuk mencegah penularan penyakit.
4. Subhanallah… luar biasa ibuk ini
Saat orientasi pada hari jum’at, kami sudah di bagi kasus untuk dibahas. Aku sendiri mendapat pasien dengan efusi pleura dan haemoragis. Karena otak yang sudah lama tidak terasah, aku tidak menganggap serius kasus ini. aku pikir sama seperti yang lain-lain. Tapi ternyata, efusi dengan pendarahan adalah salah satu tanda terjadi malignansi paru. Ah, benar saja. Ketika aku coba untuk auskultasi, paru kanan tidak terdengar suara nafas sama sekali. Setelah membuat laporan pendahuluan, aku tahu penyakit bapak ini serius. Maka, ketika aku ditanya “parah tidak, bu? Karena yang lainkan cairannya jernih, lha kok suami saya ada darahnya?’ maka aku tidak mampu untuk menjawab yang sebenarnya. Secara hasil dari dokter belum keluar, maka aku hanya bisa mengatakan tergantung dari penyebab penyakit yang mengakibatkan keluar darah. Dan parah atau tidak tergantung hasil dari lab. Itu yang mampu aku sampaikan.
Keesokan harinya, ketika aku berpapasan dengan istri pasien ku, ibu itu bilang dengan sangat tenang :”suami saya kena kanker katanya” dia memulai pembicaraan. “lalu?” aku yang kaget tiba-tiba di todong pernyataan seperti itu hanya keluar pertanyaan tolol itu. “ya, katanya kanker” ibuk itu mempertegas. “oh, lalu ibuk?” aku yang masih dengan kekagetan melihat ekspresi tenang itu. “bagaimana lagi, Sus. Katanya kanker. Kan kemarin suster tanya, suami saya sakit apa? tadi dokternya bilang kena kanker. Kira-kira kenapa ya? Padahal suami saya tidak aneh-aneh”. Sebagai seorang perawat, aku mencoba menjelaskan dengan cara sederhana yang tidak akan membuat susah ibu itu dan dia mengerti. Namun, hari berikutnya aku melihat matanya memerah. Berbagai pemeriksaan yang mula dijalankan suaminya membuat dia tidak tega melihat semuanya. Dan saat aku pamit pulang itulah aku tahu penyebabnya. Dia tidak ingin suaminya tahu tentang sakit yang sudah diderita. Kanker paru stadium IV yang sudah bermetastase pada tulang. Sederhana permintaan ibu itu, mereka bisa pulang. Jika memang akan dilakukan tindakan lagi, mereka bersedia kembali. Heran sekaligus kagum dengan ibu itu. Bertahan untuk tidak memberitahukan suami tentang penyakit yang dideritanya.
Lima hari yang berkesan, dalam lima hari itu aku mendapatkan “kenang-kenangan” berupa titik darah di lengan baju dan di saku jas lab. Ditambah cipratan genangan air pada rok akibat jalan kaki ketika baru selesai hujan. Ya, lima hari pertama dengan segudang pelajaran yang tidak bisa aku tulis semua.
0 komentar:
Posting Komentar