Jika takdir Allah tertulis bahwa kebersamaan antara aku dan dirimu sampai detik ini, ijinkan aku mengucapakan:
“selamat ulang tahun, semoga keberkahan Allah selalu menyertaimu. lindunganNya selalu menyertaimu, hingga engkau tidak jatuh pada perbuatan nista yang akhirnya menjelekkan dirimu dan keluargamu”
Sangat beralasan mengapa aku memanjatkan do’a ini untukmu. Aku tahu bagaimana pergaulanmu, aku, yang menjadi orang di luar lingkaran, yang berada pada posisi yang selalu memberikan penilaian negative terhadap lingkunganmu, sangat tidak ingin pengaruh lingkungan yang negative itu mewarnai pribadimu. Pribadi yang dibesarkan dalam keluarga hangat yang sangat menjunjung kesopanan dalam berbicara dan berinteraksi. Engkau tentu tidak lupa apa pesan yang selalu disampaikan ayahmu. “jangan berkata kotor, jangan mennggambar di pakaian, kulit, dan jangan mewarnai rambut”.
Namun ternyata takdir Allah menuliskan lain, kita dipisahkanNya + 2 tahun yang lalu. Namun itulah yang semakin membuatku ingin mengucapkannya. Tidak hanya ucapan selamat ulang tahun, tapi juga permintaan maaf terhadap semua yang pernah aku lakukan dan tidak aku penuhi padamu. Masa 19 tahun kebersamaan kita, banyak kesempatan yang sudah aku sia-siakan. Aku tidak pernah bisa menerima dirimu dengan semua “kekurangan” yang engkau miliki. Aku tidak menyadari bahwa memilikimu adalah suatu anugrah terindah yang Allah berikan untukku.
“maafkan aku, Ikhwan. Maafkan aku untuk fungsi yang tidak pernah aku jalankan dengan sempurna sebagai seorang kakak. Maafkan aku yang selalu menuntutmu menjadi seperti apa yang baik menurutku. Maafkan aku yang tidak pernah bisa melihat sisi terangmu yang sangat luar biasa itu, maafkan aku yang tidak pintar menunjukkan rasa kasih terhadapmu yang akhirnya berujung pada bentuk kebencian yang biasa engkau terima. Semoga engkau tahu bahwa sifat kerasku, ketidaksukaan terhadap gaya yang engkau pilih, dan marah-marah yang seringkali aku timpakan kepadamu itu adalah bentuk kasih sayangku padamu yang aku sendiri tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Maafkan aku, beginilah aku dengan segala keterbatasanku, yang tidak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya terpendam dalam diriku, hingga sikap yang aku tunjukkan dengan tujuan perubahan dirimu kearah lebih baik menurut pandanganku justru semakin membuat kita semakin jauh.”
“Terimakasih, Ikhwan. Untuk permintaanku yang jarang sekali engkau tolak. Kau tahu betapa bahagianya aku ketika tahu bahwa engkau benar-benar tidak merokok saat aku memintamu sehari saja tidak merokok untuk memperingati hari tanpa tembakau sedunia? Padahala jarak kita jauh saat itu, namun engkau melakukannya untukku. Terimakasih untuk peringatan dan pesan-pesanmu yang tegas yang kau sampaikan secara halus untukku. Ketika aku memaksa untuk ikut dalam permainan sepak bola yang kesemuanya laki-laki, kau melarangku dengan sangat halus, namun ketika aku memaksa untuk ikut, engkau tidak bisa melakukan apa-apa sampai akhirnya aku menyadari sendiri apa yang sudah aku pilih. Ketika aku baru bisa mengendarai motor, pesan-pesanmu menemaniku. Untuk tidak menurunkan gas secara mendadak, tidak grasagrusu ketika berkendara, dan lainnya. Kau sampaikan semua itu dengan sangat halus, kehalusan yang tersembunyi dalam badanmu yang tegap.
Dan hari ini, ketika umur 21 (seharusnya) engkau miliki, aku ingin mengucapkan itu. Aku berharap Allah menyampaikannya padamu. Sebuah ungkapan yang tidak pernah mampu aku ucapkan ketika nikmat Allah masih melingkupiku. Itu semua karena ketidak beranianku untuk melakukannya, berkali-kali aku merancang bagaimana caranya, namun masih belum mampu. Hingga Allah menyentakku dengan caranya. Dan kini, aku harap Allah menyampaikannya kepadamu. Maukah kau menerimanya?
0 komentar:
Posting Komentar